parboaboa

Mokel: Bahasa Gaul di Bulan Puasa dan Hukumnya dalam Islam

Beby Nitani | Islam | 26-03-2024

Ilustrasi orang yang sedang melakukan Mokel (Foto: PARBOABOA/Beby Nitani)

PARBOBOA, Jakarta – Selama Ramadan 2024, istilah 'mokel' tengah populer di kalangan pengguna media sosial.

Namun, bagi sebagian orang, istilah ini mungkin terasa asing karena penggunaannya terbatas pada kelompok-kelompok tertentu.

Menurut penjelasan yang dilansir dalam TikTok @Nona_diksi, kata Mokel bukan bahasa baku sehingga kata tersebut tidak ada di dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) maupun glosarium online manapun.

Mokel didefinisikan sebagai tindakan sengaja berbuka puasa sebelum waktunya tiba, biasanya dilakukan karena ketidakmampuan untuk bertahan dari rasa lapar dan haus selama menjalankan aktivitas.

Dilansir dari video TikTok @Aminkiwi, Istilah ‘mokel’ terbentuk dari gabungan dua suku kata yaitu 'mo' yang berarti tidak mau atau tidak ingin.

Sementara 'kel' merupakan singkatan dari keleson yang dalam Bahasa Indonesia diartikan sebagai rasa lapar.

Dengan demikian, Mokel mengartikan keengganan terhadap rasa lapar. Hal ini sangat relevan dan familiar di bulan Ramadan.

Saat umat Muslim menjalankan ibadah puasa dan harus menahan diri dari makan pada waktu-waktu tertentu, sehingga konsep 'tidak ingin kelaparan' menjadi sangat signifikan.

Enam Golongan yang Diperbolehkan Mokel

Islam menetapkan puasa di bulan Ramadan sebagai salah satu rukun Islam yang harus dijalankan oleh setiap Muslim dewasa yang sehat.

Namun, ada kondisi tertentu yang diakui oleh syariat Islam yang memungkinkan seseorang untuk tidak berpuasa.

Dilansir dari situs Nahdlatul Ulama (NU), terdapat enam kondisi yang memperbolehkan seseorang untuk meninggalkan puasa, namun dengan penjelasan yang lebih mendalam untuk setiap kondisi.

Pertama, musafir atau orang yang sedang dalam perjalanan. Islam memberikan keringanan bagi mereka yang dalam perjalanan jauh yang memenuhi syarat tertentu, seperti jarak yang ditempuh memungkinkan pelaksanaan shalat qashar.

Kedua, orang yang mengalami sakit. Jika seseorang menderita penyakit yang dapat diperburuk oleh puasa atau jika puasa bisa memperlambat proses penyembuhan, maka Islam mengizinkan untuk tidak berpuasa.

Ketiga adalah orang tua yang tidak berdaya atau jompo. Kondisi fisik orang tua yang sudah sangat lemah dan tidak mampu menahan puasa karena bisa berisiko terhadap kesehatan atau bahkan kehidupannya, diperbolehkan untuk tidak puasa.

Keempat, wanita yang sedang hamil. Mengingat kebutuhan gizi yang lebih tinggi untuk mendukung kesehatan ibu dan janin, wanita hamil diberi keringanan untuk tidak berpuasa.

Kelima, orang yang tercekik oleh rasa haus yang tidak tertahankan, yang bisa menimbulkan bahaya serius bagi kesehatan atau bahkan nyawa.

Kondisi ekstrem ini diakui oleh syariat sebagai alasan yang valid untuk tidak berpuasa, dengan penekanan pada pelestarian kehidupan sebagai salah satu prinsip utama dalam Islam.

Terakhir, wanita yang menyusui, baik yang melakukannya sebagai profesi (dibayar) atau secara sukarela.

Karena menyusui membutuhkan asupan nutrisi yang cukup untuk memastikan kesehatan bayi, Islam memberikan keringanan bagi wanita menyusui untuk tidak berpuasa.

Bagi mereka yang tidak termasuk dalam enam kondisi ini, membatalkan puasa dengan sengaja dianggap sebagai pelanggaran serius.

Meskipun puasa yang ditinggalkan dapat diganti (qadha) di hari lain, syariat mengajarkan bahwa nilai spiritual dan keberkahan yang diperoleh selama bulan Ramadan tidak dapat sepenuhnya digantikan.

Hukum Mokel dalam Islam

Hukum membatalkan puasa selama bulan Ramadan terbagi menjadi dua, yaitu membatalkan karena alasan yang diizinkan menurut hukum Islam (uzur syar'i) dan tanpa alasan yang diizinkan.

Uzur syar'i adalah kondisi atau halangan yang diakui oleh ajaran Islam, yang membuat seseorang diperbolehkan untuk tidak melaksanakan atau melanjutkan kewajibannya, termasuk berpuasa.

Dalam hal membatalkan puasa selama Ramadan, hal ini diperbolehkan apabila ada uzur syar'i yang sah.

Contoh dari situasi dimana puasa dapat dibatalkan mencakup masalah kesehatan, seperti sakit tertentu yang memerlukan pembatalan puasa.

Berdasarkan dari laman NU, dijelaskan bahwa salah satu alasan sah (udzur syari) untuk membatalkan puasa adalah untuk menghormati pemilik rumah yang menyajikan makanan kepada tamu yang berpuasa.

Jika berkunjung, sebagaimana tertera dari Kitab Kifayatul Akhyar.

ومن العذر أن يعز على من يضيفه امتناعه من الأكل ويكره صوم يوم الجمعة وحده تطوعا وكذا إفراد يوم السبت وكذا إفراد يوم الأحد والله أعلم

Artinya, “Salah satu udzur syar’i adalah penghormatan kepada orang yang menjamunya yang mencegahnya untuk makan. Makruh juga puasa sunah hari Jum‘at semata. Sama makruhnya dengan puasa sunah hari Sabtu semata atau hari Ahad saja. Wallahu a‘lam,” (Lihat Abu Bakar Al-Hishni, Kifayatul Akhyar, [Beirut, Darul Fikr: 1994 M/1414 H], juz I, halaman 174).

Di sisi lain, pembatalan puasa tanpa alasan yang diakui dalam hukum Islam (tanpa uzur syar'i) dianggap sebagai perbuatan yang dilarang (haram).

Dalam kondisi seperti ini, individu tersebut diharuskan untuk mengganti (qadha) puasanya pada kesempatan lain.

Berkaitan dalam hal ini, Rasulullah bersabda:

 مَنْ أَفْطَرَ يَوْمًا مِنْ رَمَضَانَ فِى غَيْرِ رُخْصَةٍ رَخَّصَهَا اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ لَهُ لَمْ يَقْضِ عَنْهُ وَإِنْ صَامَ الدَّهْرَ كُلَّهُ 

Artinya:

“Barangsiapa tidak puasa satu hari di bulan Ramadhan tanpa adanya keringanan yang Allah 'azza wa jalla berikan kepadanya, maka tidak akan bisa menjadi ganti darinya, sekalipun ia berpuasa selama satu tahun.” (HR Abu Hurairah).

Editor : Beby Nitani

Tag : #motel    #bahasa gaul    #islam    #membatalkan puasa    #hukum batal puasa    #ramadan   

BACA JUGA

BERITA TERBARU