parboaboa

Ultimatum Akademisi untuk Jokowi: Suara Moral atau Politik Partisan?

Rian | Politik | 06-02-2024

Ultimatum Presiden Jokowi oleh Akademisi di balik moralitas dan politik partisan. (Foto: Setkab.go.id)

PARBOABOA, Jakarata - Gelombang kritikan dari sejumlah Akademisi dan Guru Besar beberapa kampus di Indonesia untuk Presiden Jokowi terus berdatangan.

Mereka memberikan semacam ultimatum kepada mantan Wali Kota Solo itu agar menghentikan praktik dan sikap politik belakangan yang dinilai cenderung mengabaikan prinsip-prinsip dasar demokrasi.

Dalam catatan PARBOABOA, hingga Senin (5/2/2024) tercatat ada 30 Universitas dan Sekolah Tinggi baik negeri maupun swasta menyampaikan manifesto dan seruan moral kepada presiden.

Mereka meminta agar segera mengembalikan kerja-kerja demokrasi substansial yang berlandaskan rasa keadilan publik, moralitas dan etika bernegara.

Gerakan ini dimulai dari Universitas Gajah Mada (UGM) disusul Universitas Indonesia (UI) hingga kemudian satu per satu dikuti oleh universitas-universitas lain di Indonesia.

Secara garis besar mereka menyayangkan terjadinya keruntuhan hukum dan demokrasi jelang pemilu yang termanifestasi dalam putusan MK bermasalah, ketidaknetralan Jokowi di Pilpres, hingga potensi intimidasi terhadap rakyat yang berbeda pilihan politiknya dengan penguasa.

Para Akadesmi dan Guru Besar ini juga menampik apa yang mereka suarakan sebagai bentuk politik praktis apalagi dikaitkan dengan politik partisan.

Sebaliknya mereka dengan tegas mengatakan, sejumlah kritik, peringatan dan petisi yang disampaikan ke pemerintah sebagai bentuk panggilan moral menjaga kewarasan bernegara jelang pemilu skaligus mencegah polarisasi akibat kesewenang-wenangan penguasa.

Akademisi dan Pakar Politik Prof. TB Massa Djafar bahkan membacanya lebih dari sekedar kritik terhadap potensi kecurangan pemilu melainkan puncak kemarahan terhadap masalah besar bangsa, yaitu korupsi yang kian merajalela, menurunnya daya beli masyarakat, pengangguran yang meningkat serta tidak adanya kepastian hukum. 

"Krisis politik pemerintahan Jokowi adalah puncak dari berbagai krisis melanda di tengah masyarakat. Dan krisis politik ini Juga dialami oleh masyarakat seperti pengangguran meningkat, daya beli semakin menurun, ketidakpastian hukum, tajam ke bawah tumpul ke atas. Korupsi merajalela," kata Djafar kepada PARBOABOA, Selasa (6/2/2024).

Dalam menghadapi situasi krisis politik yang sedemikian rupa, kata Dajafar kampus dianggap sebagai benteng terakhir ketika lembaga politik lainnya, seperti parlemen, partai politik, dan kelompok masyarakat gagal berfungsi secara efektif. 

Menurutnya, suara dari para Guru Besar dan Mahasiswa mencerminkan suara dari kampus itu sendiri. Hal ini telah menjadi hukum sejarah dalam konteks perubahan politik di Indonesia.

"Signal ini juga sudah diberi isyarat oleh suara forum rektor di UGM dua tahun lalu. Dan saya pun sudah mengulas dan menganalisis melalui podcash," kata Djafar.

Djafar mengatakan, tidak relevan untuk mempertanyakan apakah suara dari kampus atau para Guru Besar merupakan gerakan moral atau politik. Baginya, gerakan moral akan membawa pada gerakan politik massal, dan suara mereka adalah bentuk keprihatinan dan cinta terhadap bangsa ini.

"Yang sudah lari dari konstitusi dan prinsip-prinsip demokrasi, yaitu pemilu yang jurdil dan berkualitas," tegasnya.

Kata Djafar, mereka bukanlah mencari kekuasaan, tetapi bertindak sebagai bentuk tanggung jawab sosial sekaligus menjalankan fungsi kontrol sosialnya.

Oleh karena itu, jika suara mereka mengarah pada munculnya gerakan politik massa atau rakyat, maka tidak relevan lagi untuk membedakan antara gerakan moral dan politik. Semua ini adalah hasil dari akumulasi krisis politik yang terjadi.

Partisan

Dalam keterangan terpisah, Akademisi sekaligus Pengamat Politik, Yeftha Yerianto Sabaat meragukan apa yang dilakukan oleh sejumlah akademisi dan Guru Besar sejumlah Universitas sebagai gerakan moral.

Menurutnya, klaim gerakan moral yang muncul di tengah-tengah pemilu seringkali memiliki kecenderungan menjadi alat partisan yang dimanfaatkan untuk tujuan politis tertentu.

Dia menilai gerakan tersebut seringkali menggunakan momentum pemilu untuk menjatuhkan elektabilitas dan menyerang pribadi presiden, serta diduga memiliki keterkaitan dengan kepentingan politis salah satu pasangan calon presiden dan wakil presiden.

"Saya kira kalau bicara soal gerakan moral untuk momentum tertentu misal pemilu saat ini, saya pikir tidak relevan. Menurut saya itu gerakan partisan yang manfaatkan momentum untuk menjatuhkan elektabilitas dan menyerang pribadi presiden," kata Yeftha kepada PARBOABOA.

PARBOABOA mengonfirmasi pihak mana yang diuntungkan dari gerakan tersebut. Yeftha menjawab, dari pernyataan dan isi materi yang disampaikan, kuat dugaan punya keterkaitan dengan pasangan calon (Paslon) nomor 3 di Pilpres.

"Dari pernyataan dan Isi materi yang disampaikan saya kira gerakan itu lebih condong ke paslon nomor 3," tegasnya.

Sebagaimana diketahui, paslon nomor 3 di Pilpres merujuk ke Ganjar-Mahfud yang diusung dan didukung oleh PDIP, PPP, Hanura dan Perindo.

Namun Sekretaris Jenderal (Sekjen) PDIP, Hasto Kristiyanto membantah berbagai klaim yang menuding pihaknya sebagai dalang di balik petisi dan kritikan para akademisi.

Ia mengatakan, kampus tidak bisa diintervensi karena mereka punya dalil, nilai moral dan etika yang harus mereka taati. 

Editor : Rian

Tag : #akademisi    #jokowi    #politik    #kritik akademisi    #pemilu   

BACA JUGA

BERITA TERBARU