parboaboa

Tragedi Pilpres Terulang Kembali di Pilkada DKI, Aturan Berubah Demi Kekuasaan

Fika | Politik | 30-05-2024

Ilustrasi konsep catur kekuasaan mengubah aturan demi mempertahankan jabatan. (Foto:PARBOABOA/Fika)

PARBOABOA, Medan – Pelaksanaan Pilkada semakin dekat. Dalam aturannya terdapat beberapa ketentuan yang menjadi persyaratan mencalonkan diri menjadi calon kepala daerah.

Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua Atas UU Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Wali Kota mengatur tentang usia syarat bagi seseorang yang ingin mencalonkan diri sebagai Gubernur dan Wakil Gubernur.

Undang-Undang itu menjelaskan bahwa seorang calon gubernur maupun wakil gubernur harus berusia 30 tahun saat mendaftar.

Sedangkan untuk calon bupati, wakil bupati, calon wali kota dan wakil wali kota harus berusia 25 tahun saat mendaftar. Aturan ini tertera dapat Pasal 7 ayat (2) huruf e UU Nomor 10 tahun 2016.

Akan tetapi, hanya dalam tiga hari Mahkamah Agung (MA) mengabulkan gugatan Partai Garuda terkait batas usia kepala daerah, baik calon gubernur maupun calon wakil gubernur.

Terbaru, seseorang diperbolehkan untuk berusia di bawah 30 tahun saat mendaftar. Dengan catatan, ia akan berusia 30 tahun saat menjabat.

Dikabulkannya gugatan ini memicu kenangan masyarakat Indonesia akan perubahan aturan terkait Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden yang baru saja berlangsung.

Di mana aturan MK berubah oleh gugatan Almas Tsaqibiru yang akhirnya memperbolehkan Gibran Rakabuming Raka menjadi calon Wakil Presiden.

Pasalnya, santer beredar anak bungsu Presiden Joko Widodo yaitu Kaesang Pangarep yang akan maju bertarung dalam Pilkada DKI Jakarta mendampingi Budisatrio Djiwandono.

Bahkan, sudah muncul poster pasangan Budisatrio Djiwandono dengan Kaesang Pangarep sudah beredar di DKI Jakarta.

Dosen Ilmu Komunikasi UINSU Medan, Reviza Putra Syarif mengatakan pemerintah semakin menunjukkan arogansinya dalam menentukan keputusan untuk kepentingan orang tertentu.

Perubahan aturan ini semakin memperlihatkan bahwa pemerintah tidak berpihak lagi kepada rakyat demi kekuasaan.

Keputusan yang dibuat secara ugal-ugalan semakin membuat masyarakat muak pada pemerintah. Menurutnya, belum lepas dari ingat persoalan keputusan MK ketika menentukan batasan usia capres dan cawapres.

Sekarang ini dengan judul yang sama dan kepentingan yang sama sudah terbaca oleh rakyat. “Saya muak melihat situasi perpolitikan saat ini, karena sangat kental dengan nuansa nepotisme,” ujarnya kepada PARBOABOA, Kamis (30/05/2024).

Terburu-burunya Mahkamah Agung mengabulkan gugatan perubahan usia calon gubernur dan wakil gubernur membuat rasa percaya masyarakat kepada konstitusi semakin menipis dan terdegradasi.

“Apa ada yang bisa dipercaya lagi oleh masyarakat untuk meminta keadilan. MK sudah memberi karpet merah untuk Gibran. Sekarang kita tahu lah untuk siapa karpet merah kali ini digelar,” jelasnya.

Warga Medan, Andika Anindita Lubis mengaku sudah mengetahui perubahan aturan ini. Ia menjelaskan, sebagai bagian dari warga Sumatera Utara ia sudah merasakan bagaimana dampak nepotisme terjadi di kotanya.

Mengingat, menantu Joko Widodo saat ini menjabat sebagai Wali Kota Medan. Andhika memberikan tanggapan bahwa perubahan aturan Pilkada kali ini seperti mengulang tragedi Pilpres 14 Februari 2024.

“Kita sekarang ini seperti kembali ke jaman orde baru, cuma sistemnya aja yang berbeda,” katanya.

Sekarang ini, nepotisme di Indonesia seperti dilakukan secara terang-terangan. Etika berpolitik seolah sudah lama musnah. Pilihan masyarakat untuk memahami nepotisme dan ambisi mempertahankan kekuasaan menjadi solusi atas persoalan politik di Indonesia saat ini.

Senada dengan keduanya, seorang Guru di sekolah swasta di Medan, Ferdiansyah Putra ketika ditemui PARBOABOA juga mengaku sudah membaca informasi terkait perubahan aturan Pilkada yang dikabulkan oleh Mahkamah Agung.

Menurutnya, keputusan Mahkamah Agung ini seolah ingin mengakali sistem untuk memuluskan jalannya politik dinasti.

“Kita masyarakat ini seperti dibodoh-bodohi oleh penguasa yang ingin terus berkuasa. Hausnya kekuasaan semakin kental baunya,” tuturnya.

Diakui Ferdiansyah, hak setiap orang untuk mencalonkan diri dan dipilih. Namun, seharusnya itu semua dilakukan sesuai dengan aturan yang ada. Bukan dengan cara merubah aturan.

Perilaku seperti ini akan menjadi contoh yang tidak baik untuk masyarakat ke depannya. Ketika pimpinan tertinggi bermain-main dengan kekuasaan demi mempertahankan kekuasaannya.

“Jadi jangan salahkan kalau nanti ke depannya di Indonesia ini, bukan hanya korupsi yang menjadi budaya tapi juga nepotisme,” tandasnya.

Editor : Fika

Tag : #Pilkada DKI    #Kaesang Pangarep    #Politik    #Mahkamah Agung   

BACA JUGA

BERITA TERBARU