PARBOABOA, Jakarta - Wahana Lingkungan Hidup Indonesia atau WALHI meminta ormas keagamaan menolak pemberian izin urus tambang yang ditawarkan oleh pemerintah.
Menurut WALHI jika izin tersebut tetap diterima, ormas keagamaan rentan menjadi bancakan para pebisnis tambang dengan sumber daya manusia dan kekuatan modal yang dimilikinya.
Ormas keagamaan, tegas WALHI, tidak memiliki fasilitas dan kemampuan yang memadai untuk mengelola bisnis ekstraktif karena memang tidak dibentuk untuk tujuan bisnis.
"Kekosongan kemampuan ini bisa menjadi celah bagi pebisnis lama pemain tambang untuk mengambil alih operasi pertambangan," kata Kepala Divisi Kampanye WALHI, Fanny Tri Jambore dalam keterangan tertulis yang diterima Parboaboa, Jumat (7/6/2024).
Kalau ini yang terjadi, maka bisnis pertambangan tetap mengikuti skema dan pola yang diterapkan selama ini, yaitu merusak lingkungan hidup serta membuka ruang bagi pelanggaran HAM.
Dalam catatan WALHI, selama pemerintahan Presiden Jokowi, telah terjadi 827 kasus kekerasan yang dialami masyarakat di wilayah-wilayah pertambangan atau sering disebut masyarakat lingkar tambang.
Kekerasan, intimidasi dan kriminalisasi ini dialami oleh masyarakat yang berjuang melawan hegemoni pebisnis dan penguasa merusak lingkungan hidup lewat bisnis pertambangan.
Sementara itu, trend kerusakan lingkungan tak kunjung menurun karena pemerintah melalui kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral terus mendorong peningkatan produksi batubara dengan mengubah lahan yang ada jadi kawasan pertambangan.
WALHI mencatat, saat ini ada sekitar 5 juta hektar lahan yang diubah jadi kawasan pertambangan batubara dan 2 juta hektar dari jumlah tersebut menyerobot kawasan hutan.
Tak hanya itu, kontribusi batubara pada sektor energi membuat Indonesia menjadi negara penghasil emisi terbesar ke 9 di dunia dengan jumlah CO2 sebanyak 600 juta ton.
Di samping itu 15 persen lahan yang diperuntukkan untuk budidaya perkebunan juga beresiko dibuka tambang batu bara. Ini berpotensi menimbulkan risiko terbesar bagi ketahanan pangan di masa mendatang.
WALHI juga menilai jika ormas keagamaan menerima tawaran mengurus tambang, itu menjadi pukulan bagi tokoh dan kelompok-kelompok agama yang selama ini getol mendampingi advokasi penyelamatan lingkungan hidup.
WALHI misalnya menyebut perjuangan tokoh-tokoh pesantren di Pandarincang, Banten yang melawan ancaman perusakan sumber-sumber air dari proyek geothermal.
Ketimbang menerima, WALHI mendorong ormas keagamaan menolak tawaran mengurus tambang. Sebab, di tengah tataran kerusakan ekologis dan kepemimpinan politik saat ini dibutuhkan suara kritis para tokoh agama.
Kepemimpinan spiritual dari ormas-ormas keagamaan kata WALHI, "harusnya menjadi salah satu jawaban untuk mempertahankan dan memulihkan ruang hidup dan sumber-sumber penghidupan warga."
Sebelumya ormas keagamaan NU menyatakan apresiasi dan terima kasihnya kepada pemerintah karena diberi kepercayaan mengelola tambang.
Ketua PBNU, Gus Yahya mengatakan melalui kebijakan tersebut negara membuat terobosan penting, memperluas pemanfaatan sumber daya alam untuk kebaikan rakyat.
Ia mengklaim NU sendiri memiliki sumber daya manusia yang mumpuni dan jaringan bisnis yang kuat untuk menunjang bisnis pertambangan.
Majelis Ulama Indonesia (MUI) juga mendukung izin urus tambang diberikan kepada ormas keagamaan. Waketum MUI, Anwar Abbas mengatakan, hal ini mesti diapresiasi untuk memperkuat kemandirian finansial ormas keagamaan.
Apalagi kegiatan-kegiatan ormas keagamaan kata dia, tak lain dan tak bukan adalah mendukung program-program pemerintah, yaitu melindungi, mencerdaskan dan memakmurkan rakyat.
Editor: Gregorius Agung