parboaboa

Bergabung di Aksi Demo Hari Buruh, PRT dan Perempuan Tolak Aturan No Work No Pay

Rini | Metropolitan | 01-05-2023

Para Pekerja Rumah Tangga (PRT) dan buruh perempuan ikut terlibat dalam aksi May Day yang digelar di Jakarta hari ini, Senin (01/05/2023). (Foto: Maesa)

PARBOABOA, Jakarta - Para Pekerja Rumah Tangga (PRT) dan buruh perempuan ikut terlibat dalam aksi May Day yang digelar di Jakarta hari ini, Senin (01/05/2023).

Para buruh dan PRT melakukan aksi dengan membawa ember warna-warni dan gunting. Ember merupakan simbolisasi kerja-kerja PRT, sedangkan gunting merupakan penolakan terhadap pemotongan upah buruh perempuan yang membuat pemiskinan buruh perempuan.

Koordinator JALA PRT, Lita Anggraini mengatakan, pembahasan RUU PRT masih menjadi salah satu sorotan yang akan disuarakan dalam unjuk rasa hari ini. Menurutnya, Hari Buruh merupakan momentum untuk mendorong dan mengingatkan pemerintah dan DPR tetap konsisten untuk membahas RUU PPRT, di tengah gegap gempita isu Pemilu dan pencalonan Capres.

"Aksi hari ini sebagai pengingat bahwa perjuangan RUU PRT harus dituntaskan pasca May Day hari ini," kata Lita dalam keterangan tertulis yang diterima Parboaboa, Senin (01/05/2023).

Sementara itu, Pengurus Perempuan Mahardhika, Vivi Widyawati mengungkapkan, para buruh yang sedang berjuang untuk menolak pasal yang mengatur menolak No Work No Pay dalam UU Ketenagakerjaan.

Kebijakan yang digadang-gadang sebagai solusi untuk meminimalisir PHK itu, kata Vivi sangat merugikan para buruh, terlebih buruh perempuan, karena pengusaha bisa dengan sewenang-wenang menyatakan tidak akan menggaji buruh dengan kondisi tertentu, seperti sedang cuti kehamilan, cuti haid, sakit, dll.

Pasal dalam UU Ketenagakerjaan tersebut menurutnta sangat simplificasy dan bisa disalahartikan yang berujung pada kesewenenang-wenangan.

"Ini seperti jadi pasal karet yang mematikan hak buruh perempuan untuk bekerja. Padahal ada pasal yang mengijinkan cuti haid, cuti melahirkan, sakit, izin, dll yang dilanggar pengusaha dan merugikan buruh perempuan," kata Vivi.

Vivi memaparkan, pihaknya mendata ada ratusan buruh perempuan garmen yang terpuruk dari aturan no work no pay, ada buruh perempuan yang kemudian hanya dipekerjakan sesaat dengan dalih no work no pay.

Selain itu, sejak puasa hingga lebaran hingga hari ini, Vivi mengungkap ada banyak buruh perempuan yang nasibnya terkatung-katung akibat kebijakan no work no pay. Contohnya, para buruh perempuan garmen yang harus bekerja keras sebelum lebaran dan harus memenuhi kebutuhan pasokan di masa lebaran, namun ini dianggap sebagai pekerjaan tambahan tanpa tambahan gaji.

"Jadi para buruh perempuan ini adalah yang harus bekerja memenuhi kebutuhan di hari libur, ini semua harus mereka penuhi sebelum libur, tapi pekerjaan ini tidak dianggap sebagai kerja. Ketika lebaran, mereka lalu diberikan libur, namun ini bukan libur yang digaji, libur lebaran dianggap tidak bergaji atau no work no pay," kata Vivi Widyawati.

Selain itu, PRT dan Buruh Perempuan juga menyoroti kebijakan  Permenaker No.5 Tahun 2023 yang memberikan dampak pemiskinan pada buruh perempuan dan diskriminatif, mulai dari kebijakan penangguhan upah minim perlindungan, upah rendah, lingkungan kerja yang tidak aman dan pengabaikan hak maternitas dan reproduksi.

“Ini adalah cerminan bagaimana Menteri Ketenagakerjaan tidak pernah menjadikan buruh perempuan sebagai pusat/core didalam membuat sebuah kebijakan,” ucapnya.

Alih-alih memberikan perlindungan dan mempertahankan kelangsungan bekerja justru sebaliknya permen ini akan menghilangkan perlindungan, mengabaikan hak reproduksi buruh perempuan seperti cuti haid, cuti hamil dan melahirkan, dan cuti keguguran serta menjadikan buruh tidak memiliki kepastian kerja ditengah kontrak kerja yang semakin pendek.

Penyesuaian waktu kerja yang diatur didalam permen ini pada prakteknya akan menjadikan setiap buruh adalah buruh harian karena waktu kerja dan upah dihitung berdasarkan satuan waktu dan hasil.

Pengurangan upah sebesar 25% adalah pelanggaran hak yang dilegalkan oleh Permenaker dan menjadikan buruh tidak menerima upah yang seharusnya mereka terima sesuai dengan ketentuan upah yang berlaku.

Upah minimum adalah hak dasar yang tidak boleh dilanggar sehingga pengurangan waktu dan jam kerja seharusnya tidak boleh berkonsekuensi terhadap perngurangan upah buruh.

Kebijakan pengurangan upah akan membuat hidup buruh perempuan semakin terpuruk didalam kemiskinan.

Editor : Rini

Tag : #hari buruh    #may day    #metropolitan    #pekerja perempuan    #ruu pprt   

BACA JUGA

BERITA TERBARU