PARBOABOA, Jakarta – Angka kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) di Indonesia mengalami peningkatan signifikan dari waktu ke waktu.
Catatan Tahunan (CATAHU) Komnas Perempuan, misalnya menyebut terdapat 6.480 kasus atau sebanyak 79 % kasus yang terjadi pada 2020.
Dari jumlah tersebut, Kekerasan Terhadap Istri (KTI) menjadi yang paling dominan dengan 3.221 kasus atau setengah dari total kasus.
Sementara itu, Dinas Pemberdayaan, Perlindungan Anak dan Pengendalian Penduduk (PPAPP) DKI Jakarta mencatat sebanyak 323 kasus kekerasan terhadap anak perempuan sejak Januari hingga Juni 2024.
Dari angka tersebut, Jakarta Timur menjadi wilayah dengan jumlah kasus tertinggi, yakni sebanyak 131 kasus, diikuti Jakarta Barat dengan 116 kasus.
Lonjakan angka KDRT menunjukkan lemahnya implementasi Undang-Undang (UU) Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga.
Menanggapi fakta tersebut, Anggota Komisi E DPRD DKI Jakarta, Sholikhah, mengimbau Pemprov DKI Jakarta untuk fokus pada solusi preventif dalam melindungi perempuan korban KDRT.
Menurutnya, sosialisasi mengenai pentingnya keharmonisan keluarga yang saling mencintai dan menghargai adalah langkah awal yang penting.
"Pemerintah harus hadir dengan solusi dari hulu, bukan hanya program kuratif," tegasnya.
Edukasi yang menyeluruh dapat menurunkan angka KDRT secara signifikan dengan mencegah terjadinya kekerasan sejak dini.
Dinas PPAPP DKI Jakarta perlu memainkan peran utama dalam menjalankan solusi preventif melalui berbagai program dan kegiatan yang inovatif.
Program ini bertujuan memberikan edukasi kepada warga Jakarta mengenai pentingnya menjaga keharmonisan keluarga.
Dengan edukasi yang tepat, diharapkan masyarakat dapat mencegah terjadinya kekerasan yang sering kali dilakukan oleh orang terdekat.
Sholikhah juga menekankan pentingnya pemerintah daerah dalam memberikan program edukasi yang mendorong cinta dan pengertian dalam keluarga.
Program edukasi yang inovatif sangat diperlukan untuk menjangkau semua lapisan masyarakat.
Pendekatan yang kreatif dan menarik dapat lebih mudah diterima oleh masyarakat, terutama dalam memberikan pemahaman mengenai pentingnya komunikasi yang baik dalam keluarga.
Dinas PPAPP harus memanfaatkan teknologi dan media sosial untuk menjangkau lebih banyak orang, serta melibatkan tokoh masyarakat dan influencer untuk menyampaikan pesan-pesan positif.
Edukasi yang terus menerus dan berkelanjutan akan membangun kesadaran kolektif mengenai pentingnya mencegah KDRT.
Selain edukasi, Sholikhah juga mengusulkan pembentukan posko-posko pengaduan di tingkat kelurahan dan Rukun Warga (RW) untuk menampung aduan terkait KDRT.
Langkah ini diharapkan dapat menekan kasus kekerasan di Jakarta yang semakin marak terjadi, khususnya terhadap perempuan dan anak.
Lebih lanjut, Sholikhah mendesak Badan Pembentukan Peraturan Daerah (Bapemperda) bersama Pemprov DKI untuk memprioritaskan pembahasan Rancangan Peraturan Daerah (Raperda) mengenai Penyelenggaraan Pembangunan Keluarga pada 2025.
Raperda ini diharapkan dapat menjadi payung hukum dalam menurunkan angka KDRT yang masih tinggi, khususnya terhadap anak.
Pembentukan posko pengaduan di tingkat lokal merupakan langkah strategis untuk memberikan akses mudah bagi korban KDRT dalam melaporkan kejadian.
Hal ini juga memberikan rasa aman dan dukungan kepada korban karena mereka tahu bahwa ada tempat untuk mencari bantuan.
Selain itu, Raperda mengenai Penyelenggaraan Pembangunan Keluarga dapat memberikan landasan hukum yang kokoh untuk program-program pencegahan KDRT.
Dengan adanya peraturan yang jelas, semua pihak terkait akan memiliki pedoman yang lebih konkret dalam menjalankan tugasnya untuk melindungi korban KDRT.
Terpisah, Kepala Subkelompok Pemenuhan Hak Anak Dinas PPAPP DKI Jakarta, Yunita Siska Diniati, menjelaskan laporan kekerasan dapat dilakukan melalui Unit Perlindungan Perempuan dan Anak (PPA).
Korban juga dapat mengadukan laporan kepada pos Sahabat Perempuan dan Anak (SAPA) yang tersedia di 324 Ruang Publik Terbuka Ramah Anak (RPTRA) di DKI Jakarta.
Yunita menambahkan, penyediaan posko pengaduan di RPTRA merupakan langkah yang baik, namun harus dipastikan semua laporan ditangani dengan serius dan mendapatkan tindak lanjut yang memadai.
Dengan demikian, korban merasa didengar dan dilindungi, dan dicarikan jalan keluar agar mengurangi kasus KDRT di waktu-waktu mendatang.
Pengertian KDRT
KDRT merujuk pada tindakan yang menimbulkan penderitaan, baik fisik, seksual, psikologis, maupun penelantaran, terhadap seseorang, terutama perempuan dalam konteks rumah tangga.
Tindakan ini mencakup ancaman, paksaan, atau pembatasan kebebasan yang melanggar hukum.
Menurut UU Nomor 23 Tahun 2004, KDRT merupakan segala bentuk tindakan yang menyebabkan penderitaan atau kesengsaraan dalam rumah tangga, termasuk kekerasan fisik, seksual, psikis, atau penelantaran terhadap seseorang, terutama perempuan.
KDRT umumnya disebabkan oleh rendahnya kemampuan adaptasi antar anggota keluarga, sehingga pihak yang lebih kuat cenderung mendominasi dan mengeksploitasi pihak yang lebih lemah.
Pengaruh lingkungan luar juga bisa mempengaruhi sikap anggota keluarga, terutama orang tua atau kepala keluarga.
Konsekuensinya, perilaku perlakuan eksploitatif terhadap anggota keluarga lainnya tak bisa dihindari dan KDRT pun mudah terjadi.
Bentuk-Bentuk KDRT
Sebagaimana disebutkan sebelumnya, ada lima bentuk umum KDRT, yakni kekerasan seksual, kekerasan, kekerasan fisik, kekerasan psikis, penelantaran, dan kekerasan ekonomi.
a. Kekerasan Seksual
Menurut Pasal 8 UU KDRT, kekerasan seksual mencakup pemaksaan hubungan seksual terhadap seseorang dalam lingkup rumah tangga, termasuk pemaksaan hubungan seksual antara anggota rumah tangga dengan orang lain, baik untuk tujuan komersial maupun lainnya.
b. Kekerasan Fisik
Pasal 6 UU KDRT menjelaskan kekerasan fisik adalah tindakan yang menyebabkan rasa sakit, penyakit, atau luka berat pada seseorang.
c. Kekerasan Psikis
Pasal 7 UU KDRT mendefinisikan kekerasan psikis sebagai tindakan yang menimbulkan rasa takut, hilangnya rasa percaya diri, ketidakmampuan bertindak, perasaan tidak berdaya, dan penderitaan psikis berat pada seseorang.
d. Penelantaran Rumah Tangga
Pasal 9 UU KDRT mengatur penelantaran rumah tangga sebagai tindakan di mana seseorang tidak memenuhi kewajibannya memberikan kehidupan, perawatan, atau pemeliharaan kepada anggota keluarganya, meskipun secara hukum atau persetujuan memiliki tanggung jawab tersebut.
Penelantaran juga mencakup pembatasan atau larangan bekerja secara layak, baik di dalam maupun di luar rumah, sehingga korban menjadi bergantung secara ekonomi dan berada di bawah kendali pelaku.
e. Kekerasan Ekonomi
Menurut penelitian Yeni Huriyani (2008), disebutkan kekerasan ekonomi adalah tindakan yang membatasi seseorang, terutama perempuan untuk bekerja, baik di dalam maupun di luar rumah untuk menghasilkan uang atau barang.
Selain itu, kekerasan ekonomi juga mencakup eksploitasi atau penelantaran anggota keluarga, sehingga mereka cenderung bergantung secara ekonomi dan berada di bawah kendali pelaku.