parboaboa

Cerita Warga Kampung yang Terjebak Sengketa Lahan di Jakarta 

Reka Kajaksana | Metropolitan | 13-04-2023

Ilustrasi sengketa lahan antara Pertamina dan warga kampung Pancoran Buntu II, Pancoran, Jakarta Selatan yang terjadi pada 18 Maret 2021 silam. (Foto: Elsam)

Parboaboa, Jakarta – Santi, warga kampung Pancoran Buntu II, Pancoran, Jakarta Selatan masih ingat betul peristiwa sengketa lahan antara Pertamina dan warga di sekitar tempat tinggalnya saat ini.

Puncak bentrok saat itu terjadi pada Rabu, 18 Maret 2021. Saat itu, sengketa lahan tidak lagi bisa diselesaikan dengan cara diskusi bersama warga.

Pertamina, yang mengklaim sebagai pemilik lahan melibatkan aparat Kepolisian, merebut lahan dari warga secara paksa. Salah satunya bangunan yang diklaim milik mereka saat itu, adalah bangunan PAUD Pancoran Buntu II.

Selain klaim sepihak itu, pernah ada gas air mata yang dilemparkan ke kampung Pancoran Buntu II.

“Waktu itu pernah gas air mata dilempar ke arah kampung. Pernah juga, ada satu kejadian setelah gas air mata, satu rumah di-bulldozer, padahal ada anak-anak yang masih tidur di dalam,” cerita Santi, Rabu (12/4/2023). 

Berbagai upaya pun telah dilakukan warga Pancoran Buntu II. Warga bahkan melayangkan gugatan atas nama warga ke Pemerintah Provinsi DKI Jakarta.

Gugatan warga itu, terkait pengenaan Peraturan Gubernur DKI Jakarta Nomor 207 Tahun 2016 Tentang Penertiban Pemakaian/penguasaan Tanah Tanpa Izin Yang Berhak. 

Selain Santi, kejadian penggusuran paksa juga pernah dialami warga Menteng Dalam, Jakarta Pusat dan Sunter Agung, Jakarta Utara.

Koalisi Rakyat Menolak Penggusuran (KRMP) mencatat selain di tiga lokasi tadi, penggusuran paksa juga mengancam 7 kampung lain di Jakarta, dengan pola serupa. 

Pergub Jadi Kunci Tindakan Semena-mena Pemilik Modal

Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta menilai, Pergub Nomor 207 Tahun 2016 kerap menjadi kunci yang bisa digunakan oleh pemilik modal menggunakan tanah demi kepentingan pembangunan. 

Menurut pengacara publik LBH Jakarta, Jihan Fauziah Hamdi, keberadaan Pergub 207 justru lebih berpotensi menjadi fasilitator terjadinya penggusuran, tanpa mediasi terlebih dahulu kepada warga terdampak. 

“Penggunaan Pergub 207 selama ini lebih banyak merampas hak hidup masyarakat kecil. Ini tentu berimbas pada hilangnya hunian warga. Penggusuran semacam ini seperti yang dialami oleh warga pancoran juga bisa mengancam keselamatan jiwa, kesehatan, serta hilangnya akses terhadap kebutuhan dasar warga,” katanya ketika dihubungi, Rabu (12/4/2023). 

Saat ini sedikitnya ada tujuh kampung lain di Jakarta yang terancam tergusur akibat penggunaan Pergub 207, dengan alasan pembangunan. Tujuh kampung tersebut yaitu Kampung Blok Limbah dan Blok Eceng yang rencanaya akan digunakan untuk proyek Jakarta Sewerage System (JSS), Kampung Tembok Bolong untuk proyek jalan tembus ke Pelabuhan Tanjung Priok dan Kampung Gang Lengkong yang dikabarkan akan digunakan untuk untuk perluasan PT Masaji Tatanan Container (PT MTCon).

Kemudian, Kampung Marlina, Elektro dan Kapuk Poglar yang akan dialihkan menjadi zona hijau dan rencana jalan di Rencana Detil Tata Ruang (RDTR) Pemprov DKI, Kebun Sayur di Ciracas untuk Proyek LRT dan kampung Guji Baru yang diklaim sepihak oleh perseorangan.

“Kami sebenarnya sudah pernah menuntut agar Pergub 207 ini dicabut, namun hingga hari ini masih belum ada respon yang positif,” kesalnya. 

Padahal untuk menyelesaikan sengketa tanah masih ada beberapa cara yang bisa digunakan, dan jika dicabut pun, tidak ada kekosongan hukum seperti yang diklaim pemerintah, imbuh Jihan Fauziah Hamid.

Editor : Kurnia Ismain

Tag : #Pertamina    #Sengketa Lahan    #Metropolitan    #Pancoran    #Jakarta Selatan   

BACA JUGA

BERITA TERBARU