Cleansing Guru di Jakarta, DPR RI: Hilangnya Asas Keadilan

Ketua DPR RI Puan Maharani (Foto: Instagram/ @ketua_dprri)

 

PARBOABOA, Jakarta - Kabar pemutusan kontrak atau cleansing terhadap guru honorer di Jakarta menyita perhatian publik.

Berdasarkan laporan Kepala Bidang Advokasi Guru Perhimpunan Pendidikan dan Guru (P2G), Iman Zanatul Haeri, terdapat 107 guru honorer di DKI Jakarta yang mengalami cleansing.

Ia menjelaskan bahwa para tenaga pengajar tersebut berasal dari berbagai jenjang, baik sekolah dasar (SD), sekolah menengah pertama (SMP), maupun sekolah menengah atas (SMA).

Menurut Dinas Pendidikan (Disdik) Jakarta, kata Iman, para guru yang terkena "cleansing" ini tidak memiliki Dapodik (Data Pokok Pendidikan).

"Mereka juga tidak memiliki NUPTK (Nomor Unik Pendidik dan Tenaga Kependidikan)," jelasnya di Jakarta pada Rabu, 17 Juli 2024.

Menanggapi hal tersebut, Plt Kepala Dinas Pendidikan DKI Jakarta, Budi Awaluddin, menyatakan bahwa kebijakan "cleansing" diambil karena pengangkatan guru honorer dianggap dilakukan tanpa seleksi yang jelas.

Dia mengatakan bahwa sejak 2017 hingga 2022, pihaknya telah memberitahu kepala sekolah untuk tidak merekrut guru honorer.

Namun, masih banyak kepala sekolah yang tetap melakukannya.

Ia menjelaskan, guru honorer tersebut diangkat oleh kepala sekolah dan dibayar dengan dana BOS (Bantuan Operasional Sekolah) tanpa seleksi yang jelas.

"Inilah kondisi yang terjadi," jelas Budi pada Rabu, 17 Juli 2024.

Menurut Budi, sebenarnya jumlah tenaga pengajar yang direkrut secara mandiri oleh kepala sekolah tidak banyak, hanya sekitar satu atau dua orang di masing-masing sekolah.

Namun, karena jumlah sekolah yang banyak, maka jumlah guru honorer menjadi banyak.

 Mereka juga, sambungnya, memberikan gaji yang tidak manusiawi.

Dia menjelaskan, tindakan yang dilakukan oleh Dinas Pendidikan DKI Jakarta sebenarnya bertujuan untuk memanusiakan manusia.

Langkah ini disebut sebagai upaya penertiban dan untuk memastikan perekrutan guru honorer yang lebih jelas, termasuk pemberian gaji sesuai standar.

Budi merinci empat kriteria guru honorer yang berhak mendapatkan gaji dari dana BOS.

Diantaranya, bukan aparatur sipil negara (ASN), terdata dalam Dapodik, memiliki NUPTK, dan tidak menerima tunjangan guru.

 Namun, dari keempat kriteria tersebut, yang terdampak oleh kebijakan pembersihan (cleansing) adalah guru honorer yang tidak terdata di Dapodik dan tidak memiliki NUPTK.

Dia menyampaikan, menurut temuan BPK, terdapat setidaknya 400 guru honorer yang tidak memenuhi keempat kriteria tersebut.

Menanggapi temuan BPK pada tahun 2023 tersebut, Dinas Pendidikan DKI Jakarta melakukan kebijakan cleansing.

Namun, Budi mengklarifikasi penggunaan istilah cleansing tersebut.

Menurutnya, guru honorer tidak dipecat, melainkan dilakukan penataan dan penertiban oleh Disdik.

Penertiban ini dilakukan sebagai upaya pencegahan terhadap penyimpangan, seperti calo atau calon guru yang diharuskan membayar sejumlah uang agar bisa mengajar.

Bahkan kata Budi, Dinas Pendidikan sudah memiliki sarananya untuk memenuhi kebutuhan guru.

Budi mengungkapkan bahwa selama ini, pengangkatan guru honorer tidak diketahui oleh Dinas Pendidikan dan sering kali didasarkan pada subjektivitas kepala sekolah atau faktor kedekatan pribadi.

Selain itu, lanjutnya, tidak sesuai dengan kebutuhan. Bahkan Informasi lowongan pengangkatannya juga tidak dipublikasikan.

Lebih lanjut, dia menjelaskan, perekrutan itu juga tidak didasari oleh kontrak yang jelas. Meskipun ada perjanjian, guru honorer bisa saja diberhentikan sewaktu-waktu dan harus menyetujuinya.

Namun, seiring waktu, mereka akan menuntut kejelasan karier.

Budi juga mengklaim bahwa Dinas Pendidikan telah mewadahi guru honorer secara legal dengan mengadakan kontrak kerja individu (KKI) yang gajinya bersumber dari anggaran pendapatan dan belanja daerah (APBD).

Selain itu, ada juga pegawai pemerintah dengan perjanjian kerja (PPPK) dan ASN.

“Itu perekrutannya jelas dipublikasikan, sesuai dengan ketentuan, dan diselenggarakan secara transparan,” ucapnya.

Budi menyarankan agar guru honorer yang terdampak pembersihan (cleansing) mempersiapkan diri untuk mengikuti seleksi PPPK.

Berdasarkan data Kemendikbudristek juga, ada kebutuhan hampir 1.900 orang.  Mereka bisa mengambil kesempatan ini.

Audiensi sebagai Solusi

Menanggapi hal itu, Ketua DPR RI Puan Maharani, mengaku menyayangkan insiden pemutusan sepihak terhadap ratusan guru honorer di Jakarta melalui sistem  cleansing.

Puan meminta pemerintah untuk melakukan audiensi guna mencari solusi yang adil.

Ia menegaskan, harus ada koordinasi yang intensif dari pemerintah untuk memberikan penjelasan dan solusi yang adil terhadap masalah tersebut.

Pemerintah pusat, lanjutnya, bisa menjadi fasilitator demi keadilan bagi semua pihak.

Sebab, menurut Puan, hal ini menyangkut nasib lebih dari 100 orang guru honorer .

“Mereka telah berkontribusi terhadap pendidikan anak,” jelas Puan di Jakarta.

Puan berharap segera ditemukan solusi  yang berkeadilan dan pembicaraan dapat dilakukan secara demokratis agar semua pihak dapat memahami posisi dan peran masing-masing.

Puan mengatakan bahwa guru honorer merupakan tenaga pendidik yang memiliki keistimewaan yang sama dengan guru ASN.

Ketua DPP PDIP tersebut juga mengingatkan agar hal ini tidak berdampak pada kekurangan guru.

Jangan sampai,  jelas Puan, karena pemutusan kerja sama secara mendadak ini, sekolah akhirnya kekurangan tenaga pengajar yang pada akhirnya berdampak pada anak-anak.

Pemecatan guru honorer juga tidak sesuai dengan semangat negara dalam memperbaiki nasib guru honorer.

Selain itu, Puan menambahkan. pemerintah sudah berkomitmen untuk menyelesaikan penataan tenaga non-ASN.

Artinya, sambung Puan, nasib tenaga honorer, termasuk guru honorer, seharusnya bisa membaik, bukan justru mengalami kemunduran.

Editor: Norben Syukur
TAG :
Baca Juga
LIPUTAN KHUSUS