PARBOABOA - Dino (28) menghela nafas panjang. Matanya tampak sayu memerah. Pria asal Flores, Nusa Tenggara Timur, itu baru saja melepas sif kerja malam hari.
Sejak tiga bulan lalu, ia menjadi petugas cleaning service pada sebuah rumah sakit swasta di kawasan Jakarta Barat.
Keputusan Dino rupanya bukan tanpa sebab. Ia harus tetap melanjutkan kehidupan di Kota Jakarta, meski dengan separuh harapan yang hampir patah.
Biaya hidup di kota metropolitan memang terbilang tinggi. Ongkos makan minum sehari-hari saja lumayan cekak. Belum lagi biaya sewa kontrakan yang relatif mahal, berkisar Rp800 ribu hingga Rp1,5 juta per bulan.
Dino tak punya pilihan lain. Tawaran pekerjaan itu terpaksa ia terima. Glorifikasi dunia kampus dan sederet ekspektasi yang pernah hidup semasa kuliah, harus ia lepaskan.
"Daripada saya tidak bisa makan di sini," cerita Dino saat ditemui Parboaboa di Tangerang, Senin (9/7/2023).
Suatu ketika di penghujung April. Udara Jakarta terasa menyengat. Jalanan begitu padat. Hari itu Dino harus bertemu HRD (Human Resource Development) untuk diwawancara.
Ia tiba beberapa menit sebelum sesi wawancara dimulai. Beberapa calon karyawan lain menunggu antrian di luar. Dino memasuki ruangan. Langkahnya sedikit gemetar.
HRD menatapnya dengan wajah datar. Ia dipersilahkan duduk. Beberapa lembar berkas curriculum vitae dikeluarkan dari amplop coklat tua yang tergeletak di atas meja.
“Kamu benar mau kerja di sini jadi cleaning service,” cerita Dino mengingat kembali ucapan HRD saat itu.
Dengan gelar sarjana pendidikan dan pengalaman organisasi semasa kuliah, rasanya tak pantas Dino melamar posisi itu. HRD berulang kali memastikan kesungguhannya.
Dino coba meyakinkan HRD. Jebolan salah satu kampus swasta di Jakarta itu hanya butuh pekerjaan demi bertahan di tengah kerasnya kehidupan ibu kota.
"Saya bilang ke HRD: ‘saya tidak lagi peduli dengan ijazah, yang penting bisa dapat makan’," cerita Dino mengenang.
Adu rejeki menjadi guru di Jakarta tak semudah yang dibayangkan. Dulu, di masa-masa awal kuliah, ia begitu gandrung menjadi seorang pendidik.
Selepas wisuda pada 2019 silam, Dino segera mengurus ijazah. Sejumlah berkas administratif kampus ia bereskan, lalu mulai mengirim lamaran ke puluhan sekolah di wilayah Jabodetabek.
Beberapa bulan menunggu, ia sempat mendapat panggilan wawancara pada sebuah sekolah swasta di Kota Tangerang. Dino menemui jalan buntu.
Pengalaman mengajar, sebagai salah satu syarat yang diajukan sekolah, jadi sandungan. Ia hanyalah lulusan sarjana pendidikan tanpa pengalaman.
"Mereka mau rekrut yang sudah berpengalaman, saya kan baru lulus kuliah, mau dapat pengalaman dari mana,” kenangnya.
Lintang-pukang mencari kerja sempat terhenti di penghujung 2019, ketika pandemi Covid-19 menghantam Indonesia. Rumah keluarga jadi tempat berteduh sementara saat itu. Ia tak perlu lagi berpikir keras soal urusan perut.
Putra sulung dari tiga bersaudara ini kembali mengadu rezeki selepas pandemi melandai. Ia mengirim lamaran ke beberapa sekolah.
Hitung-hitungan besaran gaji tak lagi jadi patokan. Diterima mengajar saja sudah cukup, setidaknya menjadi batu loncatan untuk mereguk pengalaman.
Dalam benaknya, pengalaman mengajar jadi modal untuk memudahkan perjalanan karir sebagai seorang pendidik. Sewaktu-waktu, ia bisa melamar ke sekolah lain di Jakarta.
Sialnya, peluang tersebut tak kunjung datang. Mimpi menjadi Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK) Guru 2023, juga ikut kandas. Dino tak memenuhi sejumlah kriteria yang disyaratkan.
Mengacu pada Surat Edaran GTK Kemendikbud Nomor 2901/B/HK.04.01/2023, pelamar PPPK Guru 2023 dibagi ke dalam dua kategori:
Pertama, prioritas pelamar umum, yang mencakup lulusan Pendidikan Profesi Guru (PPG) dan terdaftar dalam database kelulusan pendidikan profesi guru di Kemendikbud, serta guru yang sudah terdaftar di Dapodik Kemendikbud.
Kedua, prioritas pelamar khusus, yakni pelamar yang memenuhi nilai ambang batas seleksi PPPK Guru tahun 2021 dan belum pernah dinyatakan lulus pada seleksi PPPK Guru periode sebelumnya.
Selain itu, eks tenaga honorer kategori dua (eks THK-II) yang terdaftar dalam pangkalan data, eks THK-II BKN dan guru non ASN di sekolah negeri yang terdaftar di Dapodik Kemendikbud dengan masa kerja minimal 3 tahun.
“Terus untuk mulai tes PPPK harus ada pengalaman dan banyak syarat administrasi itu. Itu tidak adil aja gitu,” kesalnya.
Sama seperti Dino, banyak jebolan sarjana keguruan yang berjuang melamar ke sejumlah sekolah, meski dengan upah yang rendah.
Mereka hanya ingin mengecap pengalaman dan memenuhi tuntutan administratif ketika hendak mengikuti seleksi PPPK. Amry (26), salah satunya.
Sejak lulus kuliah pada 2022 lalu, pria kelahiran Kota Pariaman itu melamar ke sejumlah sekolah, baik negeri maupun swasta di Kota Padang.
"Saya sempat mencoba memasukkan lamaran di sekolah negeri maupun swasta sebagai guru honorer. Namun, ujung-ujungnya tidak diterima," cerita Amry kepada Parboaboa.
Ia sebetulnya tak peduli dengan upah murah yang kerap diterima guru honorer. Di wilayahnya, gaji guru honorer memang relatif rendah, sekitar Rp300 ribu sampai Rp1 juta dengan jangka waktu yang tidak menentu.
Amry hanya ingin diterima mengajar saja. Setidaknya bisa bertahan satu atau dua tahun sambil menunggu formasi CPNS PPPK dibuka.
Sekian lama menunggu, kesempatan tersebut tak pernah ia dapatkan. Lulusan Manajemen Pendidikan Islam itu terpaksa memutuskan alih profesi.
Amry menjaga toko pamannya di Kota Pariaman. Sesekali bekerja serabutan seperti kuli bangunan atau buruh tani.
“Yang penting bisa memenuhi kebutuhan sehari-hari, mau kerja apapun itu,” katanya.
Dino dan Amry hanyalah potret kecil dari sekian banyak jebolan sarjana pendidikan yang terancam tidak terserap lapangan kerja. Sementara jumlah lulusan keguruan setiap tahun selalu membludak.
Data Statistik Perguruan Tinggi yang dirilis Kemendikbud Ristek pada 2022, menunjukkan jumlah lulusan perguruan tinggi mencapai 1.842.588 orang setiap tahun. Lebih dari 20% atau sekitar 441.680, merupakan lulusan sarjana pendidikan.
Dengan kebutuhan guru yang diprediksi hanya 150 ribu per tahun, akan terjadi surplus sekitar 300 ribu guru yang tidak terserap lapangan kerja.
Masalah supply and demand yang semakin melebar, juga bisa terbaca dalam akumulasi mahasiswa pendidikan yang relatif tinggi pada sejumlah kampus di Indonesia.
Dari total 9.320.410 mahasiswa di Indonesia, sebanyak 2.111.559 orang atau sekitar 22,66%, terdaftar dalam program studi pendidikan. Setiap tahun, sebagian besar dari mereka akan lulus dan masuk ke pasar kerja.
Sementara ketersediaan lapangan kerja terbatas. Kemendikbud Ristek mencatat, ada 436.707 sekolah di Indonesia pada semester ganjil tahun ajaran 2023/2024. Jumlah tersebut belum tentu mampu menampung semua lulusan.
Menurut Pengamat Pendidikan, Indra Charismiadji, dengan jumlah sekolah yang terbatas, perlu dilakukan rasionalisasi dan pemetaan ulang Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan (LPTK).
Sejak tahun 2015, kata Indra, Organization for Economic Cooperation and Development (OECD) telah merekomendasikan agar LPTK di Indonesia dikaji ulang.
OECD mengidentifikasi sebanyak 374 LPTK di Indonesia yang cenderung tidak mempertimbangkan analisis supply and demand dalam proses perekrutan. LPTK belum mampu membatasi jumlah mahasiswa yang masuk dengan seleksi yang ketat.
“Guru bukanlah buruh pabrik yang bisa direkrut sebanyak-banyaknya. Rasio antara jumlah guru dan jumlah siswa harus dijaga dengan baik,” ungkapnya.
Temuan OECD juga menyinggung soal kualitas mahasiswa keguruan. Mayoritas mahasiswa mengalami kendala dalam aspek pedagogi, seperti pengembangan kurikulum yang relevan, penggunaan teknologi dan teknik penilaian yang efektif.
Kondisi ini akhirnya mempengaruhi kemampuan calon guru dalam menerapkan metode pengajaran yang efektif di ruang kelas.
Selain itu, OECD mendapati banyak mahasiswa LPTK menguasai materi akademik yang mereka ajarkan, tetapi kelimpungan dalam menerapkan strategi pengajaran yang inovatif.
Akibatnya, mereka kesulitan menciptakan iklim belajar yang adaptif dan responsif terhadap kebutuhan siswa saat di lapangan.
Riset Paramadina Public Policy Institute (PPPI) yang berjudul "LPTK dan Harapan Mencetak Guru Berkualitas" pada 2016 lalu, mengungkap kerisauan serupa.
LPTK, dalam temuan PPPI, menghadapi tantangan besar terkait dengan mutu pendidikan, yang disebabkan oleh rendahnya kualitas lulusan LPTK yang menjadi guru.
Sejumlah LPTK belum memiliki standar khusus dalam proses seleksi. Pertimbangkan karakter dan kompetensi setiap calon mahasiswa keguruan belum optimal dilakukan.
Penerimaan mahasiswa baru, mengacu Permen Ristekdikti No 2 tahun 2015, masih menyamaratakan semua jurusan.
Semestinya, demikian catatan PPPI, seleksi penerimaan calon mahasiswa keguruan diperketat (enrollment) untuk yang berasal dari lulusan terbaik sekolah.
Saat ini, syarat-syarat pendirian LPTK diatur oleh Permendiknas No. 52/2010. Namun, pemerintah belum memiliki peraturan khusus yang mengatur seleksi calon guru yang akan masuk ke LPTK.
“Perlu adanya mekanisme kerja sama antara dua institusi untuk merumuskan peraturan baru yang mencakup standar akademik dan non-akademik bagi mahasiswa yang akan diterima di LPTK.”
PPPI juga menemukan masalah kualifikasi akademik dosen. Sejumlah LPTK belum mampu memenuhi tuntutan kualifikasi akademik dosen seperti yang dimandatkan UU RI No. 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen serta PP No. 37 Tahun 2009.
Beleid tersebut menjelaskan, Dosen harus memiliki gelar akademik minimal S2 untuk mengajar di program sarjana atau diploma dan S3 untuk mengajar di program pascasarjana.
Karena itu, PPPI merekomendasikan LPTK perlu mengutamakan syarat bagi dosen, yang mencakup keahlian, linieritas, sertifikasi, partisipasi dalam forum-forum ilmiah, serta evaluasi kurikulum.
Muhadjir Effendy, ketika masih menjabat sebagai Mendikbud pada 2018 silam, pernah menyinggung soal pembenahan di sejumlah LPTK, yang menurutnya over supply.
Ia menantang LPTK untuk berani membatasi jumlah mahasiswa yang diterima. Proses seleksi mesti diperketat. Dengan demikian, kualitas guru yang dihasilkan lebih berdaya saing.
Begitupun Ikatan Alumni Universitas Pendidikan Indonesia (IKA UPI), yang pada 2020 lalu mendesak pemerintah untuk menertibkan keberadaan LPTK abal-abal (unqualified).
Kehadiran LPTK yang unqualified ini, dalam kajian IKA UPI, berdampak serius pada output lulusan.
Data Badan Akreditasi Nasional Perguruan Tinggi (BAN-PT) pada 2019 menunjukkan jumlah LPTK yang terakreditasi A atau unggul hanya 37 (8,5%) dari 433 LPTK yang terdaftar.
Sementara akreditasi C atau cukup hampir menyentuh separuh, yakni 179 LPTK (41,33%). Angka ini menandakan pembenahan kualitas LPTK di Indonesia masih sangat dibutuhkan.
Hingga kini dorongan pembenahan LPTK rupanya belum terekam dalam skema kebijakan Nadiem Makarim. Parboaboa sudah melayangkan surat permohonan wawancara sejak 28 Juni untuk mengkonfirmasi hal tersebut. Belum ada jawaban hingga berita ini ditayangkan.
Kristoforus Bagas, Dosen Pendidikan Sejarah Universitas Tanjung Pura, tak menampik adanya ketimpangan supply and demand tenaga pengajar di Indonesia.
Banyak LPTK yang mengabaikan pemetaan kebutuhan pasar kerja bagi setiap lulusan sarjana pendidikan. Namun problem pendidikan, kata Bagas, bukan semata soal kuantitas lulusan yang dihasilkan.
Meskipun jumlah calon guru yang diluluskan terbilang tinggi, kualitas lulusan harus menjadi agenda prioritas setiap LPTK.
“Sebenarnya jumlahnya banyak pun nggak masalah, tapi dipastikan bahwa dia lulus dengan proses yang layak,” jelas Bagas kepada Parboaboa beberapa waktu lalu.
Bagas merekam sejumlah praktik yang lazim terjadi di dunia kampus, yang justru mengangkangi aspek kualitas dan kompetensi mahasiswa.
Menurutnya, ada beberapa kampus keguruan yang cenderung memberikan kemudahan bagi mahasiswa. Mereka dengan gampang mendapatkan nilai dan diluluskan dengan standar yang kurang ketat.
Nilai yang diberikan, kata Bagas, semestinya merepresentasi kemampuan mahasiswa dalam menguasai materi atau teori yang dipelajari.
Kebijakan ini mungkin mempermudah mahasiswa dalam menyelesaikan studi, tetapi bakal berdampak pada kualitas lulusan itu sendiri ketika terjun ke dunia kerja.
"Bayangkan orang yang sebenarnya dapat nilai C tetapi kemudian dikasih nilai A meskipun sebenarnya belum layak tetapi kemudian dilayakkan, artinya dia diluluskan gitu mas," jelas Bagas.
Ia menduga, kebijakan tersebut bisa saja diterapkan demi kepentingan akreditasi atau untuk mempercepat kelulusan mahasiswa agar mereka segera dapat bekerja.
Namun, jika pola ini menyebar, akan ada risiko bahwa Indeks Prestasi Kumulatif (IPK) tidak lagi menjadi indikator yang andal dari kompetensi seseorang.
Hal ini bisa mengakibatkan keraguan terhadap kualitas lulusan, terutama jika mereka tidak benar-benar memenuhi standar yang diharapkan dalam dunia kerja.
"Demi kompetensi guru memang harus ada sistem yang baik dan evaluasi untuk mengukur kelayakannya," katanya.
Bagi Bagas, persoalan penyerapan tenaga kerja para lulusan sarjana pendidikan, mestinya dilihat dalam kerangka kualitas dan kompetensi.
Dengan semakin banyaknya lulusan keguruan setiap tahun, aspek kualitas menjadi penting jika ingin terserap di dunia kerja.
Upaya-upaya tersebut, menurut Bagas, tentunya harus dimulai dari kesadaran dosen itu sendiri, serta dari sistem yang dibangun oleh program studi atau fakultas.
Reporter: Calvin Vadero Siboro, Ghiyatuddin Yauzar, Rahma Dhoni