Kontroversi Poster Kiblat: Polemik Keagamaan dan Respons Pegiat Sejarah Indonesia

Poster film Kiblat (Foto: X/@planetcrommer)

PARBOABOA, Jakarta – Belum lama ini rumah produksi Leo Picture merilis poster film terbaru berjudul Kiblat. Ini merupakan film horor yang menggabungkan konsep keagamaan dalam ceritanya. 

Meski belum tayang di bioskop Indonesia, karya yang disutradarai oleh Bobby Prasetyo ini nyatanya menuai kontroversi dikalangan masyarakat dan para Ulama. 

Kontroversi muncul setelah peluncuran posternya pada 21 Maret 2024, karena dianggap berisi materi yang bertentangan dengan ajaran syariat Islam.

Poster tersebut menampilkan seorang wanita yang mengenakan mukena, terlihat sedang berteriak dengan wajahnya yang menengadah ke atas dalam posisi rukuk.

Melalui akun X, dengan handle @Hilmi28, Ustadz Hilmi Firdausi mengatakan, bahwa film yang dibintangi oleh Yasmin Napper hingga Ria Ricis ini membuat sebagian orang menjadi takut untuk beribadah. 

Tak sampai disitu, Majelis Ulama Indonesia (MUI), Cholil Nafis, yang menjabat sebagai Ketua Bidang Dakwah, juga mengecam dengan tegas serta mendesak agar film buatan Leo Pictures tidak diputar di bioskop.

Melalui sebuah unggahan di Instagram @cholilnafis, Cholil menyoroti bahwa sejumlah film seringkali memanfaatkan aspek kontroversial dan sensitif dalam promosinya untuk menarik perhatian serta meningkatkan jumlah penonton.

Namun, ia berpendapat, apabila konten film itu menyentuh isu keagamaan, sebaiknya film tersebut dihindari untuk ditonton.

Disisi lain, dilansir dari laman MUI, KH Asrorun Niam Sholeh, Ketua Bidang Fatwa MUI, menekankan pentingnya penempatan yang tepat dan adil terhadap istilah serta simbol keagamaan.

Asrorun Niam menyatakan bahwa hal-hal tersebut harus diletakkan pada posisi yang sesuai dan benar.

Menuai Kritik dan Polemik Film Kiblat

Banyak tokoh agama di Indonesia yang mengkritik poster Kiblat, menganggap poster tersebut sebagai sesuatu yang tidak pantas terhadap nilai-nilai Islam.

Dilansir dari channel Youtube Ustadz Adi Hidayat Official pada Rabu (27/03/2024), mengatakan bahwa, sah-sah saja membuat judul yang menarik perhatian, namun menjadi tidak sah jika bertentangan dengan nilai dan moral. Jika ada yang baik kenapa harus menyajikan yang tidak baik.

Dalam hal ini, masyarakat diharapkan untuk tetap saling mendukung, memberi semangat, dan memberikan masukan konstruktif untuk meningkatkan kualitas film Indonesia, tutup Ustadz Adi Hidayat.

Disisi lain,  menurut Ustadz Hadi Nur Ramadhan, sebagai wakil sekretaris Lembaga Seni Budaya dan Peradaban Islam mengatakan “mengkritik keras dengan keluarnya poster kiblat yang tampil dengan cara yang menyakitkan,” ujarnya kepada PARBOABOA pada (27/03/2024). 

Dia menyatakan bahwa pada poster tersebut, kiblat yang seharusnya merujuk ke Baitullah malah dirusak oleh kehadiran film tersebut.

Film Kiblat jelas telah mengkhianati Pancasila, khususnya Sila pertama, yang seharusnya menjadi pedoman bagi seniman, budayawan, dan industri perfilman secara keseluruhan. 

Sebuah film yang baik sejatinya menggabungkan kreativitas dan estetika sebagai sarana untuk lebih mendekatkan masyarakat pada nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila. 

Namun, kehadiran film Kiblat dan beberapa film horor lainnya yang menyesatkan telah merugikan prinsip dasar bangsa ini.

Sampai berita ini ditulis, rumah produksi Leo Picture telah menarik poster Kiblat dari sosial media mereka.

Sesuai dengan Undang-Undang (UU) PNPS Nomor 1 Tahun 1965, untuk menjaga kerukunan antar umat beragama, film yang telah melukai umat harus ditindak secara tegas sesuai dengan ketentuan UU tersebut.

Ustadz Hadi juga menekankan bahwa, dari kongres budaya Islam, terdapat kesepakatan penting mengenai penggunaan film sebagai sarana efektif untuk menyebarkan pesan dakwah dan mempererat hubungan spiritual dengan Allah SWT. 

Oleh sebab itu, penting bagi produser film di Indonesia yang ingin mengusung tema-tema keagamaan untuk melibatkan Lembaga Seni Budaya dan Peradaban Islam atau tokoh agama. 

Hal ini dimaksudkan untuk memastikan bahwa film tersebut mengandung panduan yang benar dan menghindari penafsiran yang menyesatkan.

Lebih lanjut, keterlibatan tokoh-tokoh agama seperti Majelis Ulama Indonesia (MUI) dalam pembuatan film dapat meningkatkan nilai dan marwah (martabat) film tersebut. 

Selain itu, kehadiran mereka dapat memastikan bahwa film tersebut mencerminkan nilai-nilai nasionalisme dan religiusitas yang memperkuat identitas dan karakter bangsa Indonesia.

Editor: Beby Nitani
TAG :
Baca Juga
LIPUTAN KHUSUS