KPK Desak DPR Baru Percepat Pembahasan RUU Perampasan Aset

KPK Desak Pengesahan RUU Perampasan Aset kepada DPR Baru.(Foto: Dok.ICW)

PARBOABOA,Jakarta - Desakan untuk mempercepat pembahasan RUU Perampasan Aset kembali meruak di tengah hingar bingar pelantikan anggota DPR 2024-2029.

Kali ini, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menyoroti pentingnya pengesahan Rancangan Undang-Undang (RUU) Perampasan Aset.

Setelah resmi dilantik, KPK berharap legislator baru ini dapat memprioritaskan pembahasan RUU tersebut.

Langkah ini dianggap krusial untuk mempercepat pengembalian aset yang berasal dari tindak pidana korupsi, yang pada akhirnya berkontribusi pada penerimaan negara melalui Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP).

Menurut Juru Bicara KPK, Tessa Mahardhika, penetapan RUU Perampasan Aset menjadi undang-undang adalah salah satu upaya penting dalam memberantas korupsi dan mengembalikan kekayaan negara yang hilang.

"KPK berharap RUU Perampasan Aset segera disahkan, karena ini bisa menjadi langkah efektif untuk memaksimalkan asset recovery dan memperkuat pendapatan negara melalui PNBP," ujar Tessa dalam pernyataannya, Selasa (1/10/2024).

RUU Perampasan Aset telah melalui perjalanan panjang sejak pertama kali diusulkan pada 2008.

Meski sempat masuk dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) 2015-2019, RUU ini gagal dibahas karena tidak dianggap sebagai prioritas.

Pemerintah kemudian kembali mengusulkan RUU tersebut pada Prolegnas 2020-2024, tetapi usulan itu juga ditolak oleh DPR RI.

Baru pada Mei 2023, Presiden Joko Widodo mengirimkan surat kepada DPR agar segera membahas RUU ini.

Presiden menyatakan pentingnya aturan tersebut dalam memperkuat penegakan hukum di bidang korupsi.

Namun, meskipun DPR sempat memasukkan RUU ini dalam Prolegnas 2023, hingga kini belum ada kemajuan berarti dalam pembahasannya.

Selain itu, desakan ini semakin kuat setelah munculnya berbagai kasus kekayaan tidak wajar yang melibatkan Aparatur Sipil Negara (ASN).

Ketidakjujuran dalam pelaporan harta kekayaan melalui Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN) semakin memperkuat urgensi pengesahan RUU ini.

KPK menegaskan bahwa aturan ini akan membantu merampas aset yang terkait dengan tindak pidana korupsi tanpa perlu menunggu putusan pengadilan.

Secara umum, RUU Perampasan Aset bertujuan untuk memberikan dasar hukum yang jelas bagi aparat penegak hukum dalam mengembalikan kerugian negara.

Mekanisme ini menjadi alat penting bagi KPK dan aparat penegak hukum lainnya dalam merampas aset-aset koruptor, terutama yang disembunyikan di luar negeri.

Ada beberapa langkah yang diusulkan untuk memperkuat undang-undang ini. Salah satunya adalah penerapan prinsip "pembuktian terbalik," di mana tersangka korupsi diwajibkan membuktikan bahwa aset yang dimilikinya bukan hasil dari tindak pidana.

Dengan cara ini, beban pembuktian tidak lagi sepenuhnya berada di tangan penegak hukum, yang sering kali kesulitan melacak dan menyita aset para tersangka korupsi.

Selain itu, RUU ini juga mengatur prosedur blokir, sita, dan perampasan aset yang diduga berasal dari hasil tindak pidana.

Dengan adanya aturan ini, penegak hukum memiliki mekanisme yang lebih jelas dalam menangani aset yang terkait dengan kejahatan.

Walau demikian, kendala utama dalam implementasi perampasan aset adalah kurangnya dukungan politik dan kerumitan dalam melacak aset yang disembunyikan di luar negeri.

 Meskipun Indonesia telah meratifikasi United Nations Convention Against Corruption (UNCAC), pelaksanaan perampasan aset masih terhambat oleh birokrasi dan perbedaan hukum internasional.

Namun, dengan kerja sama internasional yang lebih kuat, terutama dengan negara-negara yang menjadi tempat para koruptor menyembunyikan asetnya, proses perampasan aset bisa lebih efektif.

Hal ini menjadi tantangan besar bagi pemerintah Indonesia dalam mengelola dan mengembalikan aset yang disembunyikan di luar negeri.

Seiring dengan meningkatnya perhatian masyarakat terhadap kasus-kasus korupsi, pemerintah dan DPR dituntut untuk segera menyepakati aturan mengenai perampasan aset.

Penundaan dalam pembahasan RUU ini hanya akan memperlambat upaya pemerintah dalam mengembalikan kekayaan negara yang hilang akibat korupsi.

Pentingnya sinergi antara pemerintah dan DPR menjadi kunci dalam menyelesaikan proses legislasi yang berlarut-larut ini.

Jika disahkan, RUU Perampasan Aset tidak hanya akan memberikan kepastian hukum bagi aparat penegak hukum, tetapi juga memberikan jaminan bahwa kekayaan negara yang hilang akibat korupsi dapat dikembalikan dengan cepat.

Selain itu, aturan ini juga diharapkan dapat menciptakan efek jera bagi para pelaku tindak pidana korupsi, karena aset yang diperoleh secara ilegal akan dengan mudah disita tanpa perlu menunggu putusan pengadilan yang berkepanjangan.

Untuk memastikan efektivitas RUU ini, ada beberapa aspek penting yang perlu diatur lebih lanjut. Pertama, perlu ada definisi yang jelas tentang tindak pidana yang menjadi dasar perampasan aset.

Ini penting agar tidak ada kebingungan dalam implementasi undang-undang tersebut.

Kedua, jenis aset yang bisa dirampas juga harus diatur dengan jelas.

Penegak hukum membutuhkan pedoman yang rinci dalam menentukan aset mana yang dapat disita dan bagaimana melacak aset tersebut, terutama jika aset tersebut disembunyikan di luar negeri.

Ketiga, prosedur pengelolaan aset juga harus diatur dengan baik. Negara harus memastikan bahwa aset yang dirampas dikelola dengan baik sehingga tidak mengalami penurunan nilai.

Hal ini penting agar aset yang dikembalikan ke negara tetap memiliki nilai ekonomi yang signifikan.

Terakhir, perlu adanya pengaturan yang jelas mengenai perlindungan bagi pihak ketiga yang mungkin terkena dampak dari perampasan aset.

Negara harus bertanggung jawab untuk memberikan kompensasi kepada pihak yang dirugikan akibat penyitaan aset yang mungkin bukan milik mereka secara langsung.

Editor: Norben Syukur
TAG :
Baca Juga
LIPUTAN KHUSUS