PARBOABOA - Cianjur, sebuah kabupaten di Jawa Barat, dikenal karena keindahan alamnya yang memukau.
Dengan pegunungan hijau, udara sejuk, serta destinasi wisata seperti Kebun Raya Cibodas dan Gunung Gede Pangrango, Cianjur menjadi tempat wisata yang menarik.
Namun, di balik keindahan alamnya, tersembunyi fenomena sosial yang memprihatinkan, yaitu kawin kontrak.
Fenomena ini telah menarik perhatian publik, terutama karena melibatkan pihak asing dan perempuan lokal.
Selain bertentangan dengan Undang-undang No.1 Tahun 1974, kawin kontrak memiliki banyak dampak negatif terhadap perempuan dan anak-anak yang terlibat.
Baru-baru ini, Parboaboa merilis liputan khusus berjudul "Balada Kawin Kontrak: Berebut Cuan di Kocek Pria Timur Tengah".
Liputan tersebut mengisahkan Naya, seorang perempuan yang terjebak dalam praktik kawin kontrak di kawasan Puncak, Bogor.
Kisah Naya dimulai pada tahun 1984 saat ia masih berusia 17 tahun. Ia ditawari kawin kontrak dengan seorang pria dari Timur Tengah selama sebulan, dengan iming-iming bayaran Rp 10 juta, jumlah yang fantastis pada waktu itu.
Karena terdesak oleh kondisi ekonomi, Naya menerima tawaran tersebut.
Dalam bahasa Arab, kawin kontrak disebut nikah mut'ah, yang secara harfiah berarti "pernikahan untuk kesenangan".
Nikah mut'ah adalah pernikahan dengan durasi waktu tertentu yang tidak dimaksudkan untuk berlangsung lama, biasanya hanya beberapa hari atau bulan.
Secara hukum, pernikahan ini melanggar aturan di Indonesia, yang mengharuskan perkawinan bersifat permanen dan diakui secara resmi.
Namun, praktik kawin kontrak tetap berlangsung di beberapa wilayah dengan cara melanggar hukum.
Pengaruh Turis
Cianjur, khususnya kawasan Puncak, menjadi destinasi populer bagi wisatawan Timur Tengah sejak awal 2000-an.
Para turis sering kali menyewa vila mewah untuk berlibur, dan di beberapa vila tersebut terjadi praktik kawin kontrak. Wilayah yang sering menjadi pusat praktik ini adalah Cipanas dan Cisarua.
Faktor ekonomi masyarakat setempat menjadi salah satu penyebab maraknya praktik kawin kontrak.
Beberapa perempuan tergiur oleh bayaran tinggi yang ditawarkan. Tidak hanya itu, adanya perantara atau makelar yang menghubungkan wisatawan asing dengan perempuan lokal turut memfasilitasi praktik ini.
Bahkan, sejumlah tokoh agama terlibat dalam memberikan "legalitas" terhadap pernikahan yang sesungguhnya merupakan bentuk penyalahgunaan agama.
Dampak Psikologis
Praktik kawin kontrak memiliki dampak psikologis yang mendalam, terutama bagi perempuan dan anak-anak yang terlibat. Banyak perempuan yang terjebak dalam lingkaran ini karena masalah ekonomi.
Mengutip jurnal Ijtimaiya : Journal of Social Science Teaching oleh Ayun Nawati (2019), pernikahan antara wanita pribumi dengan warga negara asing membawa pengalaman tersendiri secara psikologis bagi istri kontrak.
Hal ini bisa dilihat dari perubahan yang mereka alami sebelum dan sesudah menikah.
Di satu sisi, mereka merasa bahagia dan lebih tenang karena telah meninggalkan status sebelumnya.
Namun, di sisi lain, ada dampak negatif yang dialami oleh para istri kontrak, yang seringkali menimbulkan kekecewaan. Hal ini dapat berujung pada perceraian dalam pernikahan kontrak.
Pengaruh psikologis yang dirasakan oleh istri kontrak sangat bervariasi, tergantung pada masalah yang mereka hadapi dalam kehidupan sehari-hari.
Perempuan yang terlibat dalam praktik kawin kontrak sering kali merasa dieksploitasi dan kehilangan harga diri.
Perasaan ini muncul karena mereka menyadari bahwa keberadaan mereka dalam hubungan tersebut hanya dianggap sebagai objek pemuas keinginan sementara.
Hal ini menyebabkan trauma emosional yang mendalam, terutama jika perlakuan yang diterima selama kawin kontrak tidak adil.
Trauma tersebut dapat berkembang menjadi depresi berkepanjangan, membuat mereka sulit untuk memulihkan kondisi mentalnya.
Di lingkungan sosial yang konservatif, perempuan yang terlibat dalam kawin kontrak kerap menghadapi stigma negatif.
Masyarakat memandang mereka dengan persepsi buruk, yang bahkan semakin memperburuk kondisi psikologis dan membuat mereka terasing.
Beban sosial ini menjadikan mereka terjebak dalam perasaan malu dan rendah diri, sehingga sulit untuk mendapatkan penerimaan kembali di masyarakat.
Selain itu, anak-anak yang lahir dari kawin kontrak juga sering menghadapi ketidakpastian identitas.
Tanpa adanya pengakuan hukum dari ayah biologis, mereka tumbuh tanpa kejelasan status sosial maupun hukum.
Ketidakpastian ini semakin parah ketika ayah biologis kembali ke negara asal setelah kontrak berakhir, meninggalkan anak-anak ini tanpa dukungan atau pengakuan.
Akibatnya, mereka menjadi korban tersembunyi yang rentan terhadap masalah psikologis di masa depan.
Penelitian dari Journal of Family Psychology menunjukkan bahwa individu yang terlibat dalam kawin kontrak cenderung mengalami ketidakstabilan emosional dan kesejahteraan psikologis yang lebih rendah dibandingkan mereka yang berada dalam pernikahan permanen.
Untuk mengatasi fenomena ini, Pemerintah Kabupaten Cianjur mengeluarkan Peraturan Bupati (Perbub) Nomor 38 Tahun 2021 yang melarang praktik kawin kontrak.
Dalam pasal 4, kawin kontrak didefinisikan sebagai pernikahan yang menyimpang dari tujuan pernikahan yang merugikan masyarakat, terutama perempuan dan anak-anak.
Namun, peraturan ini tidak memberikan sanksi yang jelas bagi para pelanggar, sehingga penerapannya menjadi kurang efektif.
Fenomena kawin kontrak, meskipun dianggap solusi jangka pendek oleh sebagian pihak, memiliki dampak psikologis yang serius, terutama bagi perempuan dan anak-anak.
Ketidakstabilan emosional, trauma, stigma sosial, dan ketidakpastian masa depan adalah beberapa konsekuensi negatif dari praktik ini.
Oleh karena itu, diperlukan langkah lebih konkret dari pemerintah dan masyarakat untuk melindungi individu-individu yang rentan terhadap praktik ini serta meningkatkan kesadaran akan dampak jangka panjangnya.
Editor: Wanovy