Kawin Kontrak dan Dampaknya Terhadap Perempuan: Perspektif Hak Asasi

Kawin kontrak merupakan praktik perkawinan yang diikat dalam jangka waktu tertentu. (Foto:Instagram/@cincinnikahjakarta)

PARBOABOA, Jakarta- Kawin kontrak kerap menjadi sorotan di Indonesia. Apalagi, dalam konteks hukum Islam, terutama di Indonesia, menimbulkan beragam reaksi dan perdebatan, terutama dari perspektif hak asasi perempuan.

Meski praktik ini bukanlah sesuatu yang secara eksplisit diakui oleh hukum di Indonesia, kenyataannya masih sering ditemukan, terutama di wilayah yang terkenal sebagai destinasi turis Timur Tengah.

Seperti dalam Laporan Khusus Parboaboa yang diterbitkan pada, Senin (30/09/2024) terkait kawin Kontrak yang marak terjadi di Kabupaten Cisarua, Bogor, Jawa Barat.

Pada dasarnya, kawin kontrak merupakan praktik perkawinan yang diikat dalam jangka waktu tertentu, yang umumnya disepakati antara pihak pria dan wanita.

Kontrak tersebut bisa berlaku selama beberapa minggu hingga beberapa bulan. Setelah waktu tersebut habis, ikatan pernikahan ini dianggap selesai tanpa ada konsekuensi hukum yang melindungi perempuan dalam jangka panjang.

Praktik ini mengundang kontroversi karena menimbulkan kesan bahwa perempuan hanya dijadikan objek atau komoditas untuk memenuhi hasrat sesaat.

Disisi lain, beberapa pihak menganggap kawin kontrak sebagai bentuk "jalan tengah" yang dianggap sah oleh beberapa golongan karena adanya pernikahan, meskipun hanya sementara.

Padahal, dampak terbesar dari kawin kontrak ini adalah kerentanan yang dihadapi perempuan. Perempuan dalam kawin kontrak seringkali tidak mendapatkan perlindungan hukum yang memadai.

Pasca kontrak berakhir, mereka kerap ditinggalkan tanpa ada kewajiban dari pihak laki-laki untuk bertanggung jawab, baik secara moral maupun finansial.

Hal ini diperburuk dengan kenyataan bahwa banyak dari perempuan yang terlibat dalam kawin kontrak berasal dari latar belakang ekonomi yang kurang mampu, yang membuat mereka lebih rentan untuk dieksploitasi.

Selain itu, dampak sosial juga tidak bisa diabaikan. Dalam banyak kasus, perempuan yang pernah terlibat dalam kawin kontrak seringkali dikucilkan oleh masyarakat.

Stigma yang melekat pada mereka membuat sulit untuk kembali menjalani kehidupan normal, baik dalam aspek sosial maupun ekonomi.

Tidak jarang mereka juga mengalami trauma psikologis akibat perlakuan tidak adil yang mereka terima selama kontrak berlangsung.

Dampak lain yang tidak kalah penting adalah hak-hak anak yang lahir dari kawin kontrak. Anak-anak ini sering kali tidak diakui secara hukum oleh sang ayah, yang membuat mereka kehilangan hak-hak dasar seperti warisan atau nafkah.

Dari sudut pandang hak asasi manusia, kawin kontrak jelas melanggar beberapa prinsip dasar yang seharusnya dilindungi oleh negara.Perempuan yang terlibat dalam kawin kontrak sering kali tidak diperlakukan secara adil, baik dalam aspek hukum maupun sosial.

Mereka tidak memiliki akses yang memadai terhadap hak-hak dasar mereka sebagai perempuan dan individu.

Pasal 28B UUD 1945 menyebutkan bahwa setiap orang berhak membentuk keluarga dan melanjutkan keturunan melalui perkawinan yang sah.

 Kawin kontrak, meskipun terjadi dengan kesepakatan antara kedua belah pihak, kerap tidak memenuhi syarat-syarat perkawinan yang sah menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.

Dalam UU tersebut, perkawinan diakui sebagai ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita dengan tujuan membentuk keluarga yang kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.

Selain itu, dalam konteks hak perempuan, Indonesia telah meratifikasi Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan atau Convention on the Elimination of all Forms of Discrimination Against Women (CEDAW).

Dalam konvensi ini, negara-negara yang berpartisipasi, termasuk Indonesia, berkomitmen untuk menghapus segala bentuk diskriminasi terhadap perempuan, termasuk dalam hal perkawinan dan kehidupan keluarga.

Kawin kontrak, yang cenderung merugikan pihak perempuan, jelas bertentangan dengan prinsip-prinsip CEDAW, di mana perempuan seharusnya diperlakukan dengan adil dan setara.

Selain itu, masalah utama yang dihadapi perempuan dalam kawin kontrak adalah kurangnya perlindungan hukum yang memadai.

UU Perkawinan No. 1 Tahun 1974 tidak secara spesifik mengatur tentang kawin kontrak, dan hal ini menimbulkan celah hukum yang dapat dimanfaatkan oleh pihak-pihak tertentu.

Dalam beberapa kasus, pernikahan ini bahkan tidak dicatatkan secara resmi, yang membuat perempuan tidak memiliki hak hukum sama sekali pasca berakhirnya kontrak.

Dalam konteks ini, perempuan menjadi sangat rentan terhadap berbagai bentuk eksploitasi.

Negara seharusnya memberikan perlindungan yang lebih kuat untuk melindungi perempuan dari praktik-praktik seperti ini.

Termasuk, dengan memberikan akses yang lebih baik terhadap bantuan hukum dan penyuluhan tentang hak-hak mereka dalam pernikahan.

Selain itu, Pasal 2 UU No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga (UU PKDRT) menyatakan bahwa kekerasan dalam rumah tangga termasuk kekerasan fisik, psikis, seksual, dan penelantaran rumah tangga.

Dalam banyak kasus, kawin kontrak dapat digolongkan sebagai bentuk kekerasan seksual dan penelantaran rumah tangga, terutama ketika perempuan tidak diberi hak-hak yang layak pasca kontrak berakhir.

Dalam kenyataannya, upaya perlindungan telah diambil untuk mengatasi masalah ini, meski belum sepenuhnya efektif.

Edukasi menjadi salah satu hal yang sangat penting. Perempuan perlu diberikan pemahaman yang lebih mendalam tentang hak-hak mereka dalam pernikahan dan bagaimana melindungi diri dari eksploitasi.

Selain itu, penegakan hukum juga perlu diperkuat. Negara harus memastikan bahwa semua pernikahan, termasuk yang berbasis kontrak, memenuhi syarat-syarat hukum yang berlaku.

Pencatatan perkawinan harus dilakukan dengan ketat, dan pelanggaran terhadap hak-hak perempuan harus ditindak tegas.

Pendampingan bagi perempuan yang pernah terlibat dalam kawin kontrak juga harus ditingkatkan.

Banyak dari mereka membutuhkan dukungan psikologis dan sosial untuk dapat pulih dari trauma yang mereka alami.

Editor: Norben Syukur
TAG :
Baca Juga
LIPUTAN KHUSUS