Perppu Cipta Kerja Disahkan Jadi UU, LBH Medan: DPR RI Tidak Berpihak ke Rakyat

Kantor LBH Medan yang terletak di Jalan Hindu Medan. (Foto: PARBOABOA/Deddy Irawan)

PARBOABOA, Medan – Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Republik Indonesia resmi mengesahkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) No. 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja menjadi Undang-Undang. 

Wakil Direktur Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Medan, Muhammad Alinafiah Matondang turut menyoroti pengesahan Perppu Cipta Kerja. Ia menilai DPRI RI tidak berpihak kepada rakyat. 

"DPR RI menggelar rapat paripurna yang menghasilkan kesepakatan untuk menyetujui Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) No. 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja menjadi Undang-Undang. Dalam rapat tersebut, hanya 2 fraksi yang menolak untuk menyetujui yakni Fraksi Demokrat dan PKS, selebihnya sepakat menyetujui Perppu Cipta Kerja menjadi UU," ucapnya kepada Parboaboa, Rabu (22/03/2023).

LBH Medan menganggap DPR RI tidak mempertimbangkan pemenuhan syarat penetapan Perppu secara objektif.

"LBH Medan memandang DPR RI telah mengkonfirmasi ketidakberpihakan terhadap suara rakyat khususnya kelas pekerja atau buruh dan tidak mempertimbangkan pemenuhan syarat penetapan Perppu secara objektif dan berbasis keilmuan," ujarnya.

LBH Medan memberikan catatan atas keputusan yang diambil oleh DPR RI. 

Pertama, LBH Medan menyebut Presiden memilih jalan pintas untuk memberlakukan kembali Omnibus Law Cipta Kerja sudah dinyatakan inkonstitusional dengan menetapkan Perppu Cipta Kerja yang muatan materinya identik (10 klaster). Jika dilihat dalam penjelasan umum dan Pasal 184 di Perppu Cipta Kerja yang tetap memberlakukan peraturan pelaksana UU Cipta Kerja. 

Selain itu, LBH Medan mengklaim tindakan Presiden tersebut sudah melanggar konstitusi karena telah menghilangkan objek Putusan MK No. 91/PUU-XVIII/2020 yaitu perbaikan terhadap pembentukan UU Cipta Kerja.

Kemudian, Alinafiah menyebut Presiden dan DPR RI mengulang kesalahan dalam menetapkan UU yang cacat formil.

"Hal lain yang paling serius adalah Presiden RI dan DPR RI secara bermufakat mengulang masalah pembentukan UU yang cacat formil dengan tidak memberikan akses kepada masyarakat. Bertentangan dengan asas-asas pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, dan tidak dilaksanakan dengan partisipatif publik yang bermakna pada tahapan (i) pengajuan RUU; (ii) pembahasan bersama antara DPR dan Presiden, serta pembahasan bersama antara DPR, Presiden dan DPD sepanjang terkait dengan Pasal 22D ayat (1) dan (2) UUD NRI 1945; dan (iii) persetujuan bersama antara DPR dan Presiden. Kewajiban konstitusional tersebut, ditegaskan dalam Putusan MK No. 91/PUU-XVIII/2020," sebutnya.

Catatan kedua LBH Medan yakni gagalnya DPR RI untuk menguji pemenuhan syarat dalam hal Presiden menetapkan Perppu Cipta Kerja.

LBH Medan memandang Presiden dan DPR RI bermain-main dengan penafsiran dan pemenuhan syarat objektif 'ikhwal kegentingan yang memaksa' sebagaimana diatur dalam Pasal 22 UUD RI 1945 dan Putusan MK No. 138/PUU-VII/2009 yakni, (i) adanya keadaan yaitu kebutuhan mendesak untuk menyelesaikan masalah hukum secara cepat berdasarkan UU; (ii) UU yang dibutuhkan tersebut belum ada sehingga terjadi kekosongan hukum, atau ada UU, tetapi tidak memadai; (iii) kekosongan hukum tersebut tidak dapat diatasi dengan cara membuat UU secara prosedur biasa karena akan memerlukan waktu yang cukup lama sedangkan keadaan yang mendesak tersebut perlu kepastian untuk diselesaikan.

Lebih lanjut, Putusan MK 91/PUU-XVIII/2020 sudah memberikan jangka waktu yang cukup selama dua tahun bagi pemerintah untuk melakukan perbaikan sejak putusan diucapkan yang akan jatuh pada 23 November 2023. Alasan kekosongan hukum juga tidak terpenuhi karena masih terdapat UU Ketenagakerjaan dan UU Cipta Kerja yang dianggap berlaku pasca dinyatakan inkonstitusional oleh pemerintah, berbeda dengan apa yang diyakini masyarakat. 

"Begitu pula tahap pembentukan UU masih dapat dilakukan secara prosedur biasa, bahkan pemerintah sudah melakukan revisi UU Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan untuk mengakomodir Omnibus Law. Sehingga tidak ada hal yang mampu dijelaskan Pemerintah secara ilmiah atau kegentingan yang memaksa yang berdampak pada tidak berjalannya kehidupan bernegara serta kondisi perekonomian, politik dan sosial di masyarakat yang menuntut pemerintah mengeluarkan Perppu," tambahnya.

Catatan ketiga, LBH Medan mengatakan persetujuan Perppu Cipta Kerja menjadi UU berimplikasi terhadap kehidupan masyarakat luas di lintas sektor, seperti ketenagakerjaan, masyarakat adat dan lingkungan hidup. Praktik-praktik yang melanggar hak rakyat seperti pasar tenaga kerja fleksibel, politik upah murah dan sentralistik, perluasan sistem outsourcing, ancaman lingkungan hidup dan perampasan wilayah adat akan berlanjut dan dilegitimasi melalui tindakan persetujuan Perppu Cipta Kerja oleh DPR RI.

Tak hanya itu, LBH Medan menyebut keputusan pengesahan tersebut merupakan preseden buruk.

"Keputusan DPR RI yang menyetujui Perppu Cipta Kerja menjadi Undang-Undang merupakan preseden buruk dalam menormalisasi status keadaan oleh Presiden di kemudian hari tanpa ada pertanggungjawaban," pungkasnya.

Editor: Aulia Afrianshah
TAG :
Baca Juga
LIPUTAN KHUSUS