PARBOABOA, Belanda - Kelompok anti-Islam, Patriotic Europeans Against the Islamization of the West (Pegida), melakukan perobekan Al Quran di depan Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) di Belanda.
Mengutip laporan Daily Sabah pada Senin (25/9/2023), pemimpin Pegida, Edwin Wagensveld, merobek salinan kitab suci umat Islam itu di depan beberapa kedutaan besar negara-negara mayoritas Muslim seperti Indonesia, Turki, dan Pakistan di Den Haag pada hari Sabtu (23/9/2023).
Dalam aksi provokatif ini, Wagensveld membuang beberapa halaman Al Quran ke tanah dan menginjak-injaknya.
Ia bahkan mendapatkan pengamanan dari pihak kepolisian Belanda dan mengucapkan terima kasih kepada aparat keamanan yang telah melindunginya selama aksi tersebut.
Sebelumnya, pada 22 Januari 2023, Wagensveld juga melakukan aksi perobekan Al Quran di Belanda dengan pengawalan dari kepolisian.
Ia kembali melakukan aksi serupa pada 13 Februari 2023 di Kota Utrecht, kemudian di depan Kedutaan Besar Turki di Den Haag pada tanggal 18 Agustus 2023.
Aksi Wagensveld merupakan satu dari beberapa tindakan penghinaan terhadap Al Quran yang dilakukan oleh berbagai aktivis anti-Islam dalam beberapa bulan terakhir.
Pada tanggal 21 Januari, politikus sayap kanan asal Swedia, Rasmus Paludan, membakar Al Quran di depan Kedutaan Besar Turki di Stockholm. Ia juga melakukan tindakan serupa di Kedutaan Besar Turki di Copenhagen, Denmark, pada 27 Januari.
Di Stockholm, seorang imigran asal Irak yang bernama Salwan Momika juga mengikuti tindakan Paludan dengan membakar Al Quran di depan masjid terbesar di Stockholm pada tanggal 28 Juni 2023 lalu. Tindakan ini terjadi pada Hari Raya Iduladha bagi umat Islam.
Pada tanggal 3 Agustus 2023, seorang warga Iran bernama Bahrami Marjan juga membakar kitab suci Muslim tersebut di Pantai Angbybadet di Stockholm. Tindakannya saat itu dikawal oleh pihak kepolisian.
Aksi provokatif Wagensveld mendapat kecaman dari persatuan negara-negara Muslim di dunia.
Liga Muslim Dunia (Muslim World League/MWL) menyatakan, tindakan yang dilakukan Wagensveld merupakan planggaran terhadap nilai-nilai komunitas internasional.
Organisasi Kerja Sama Islam (OKI) juga mengutuk keras aksi yang dilakukan kelompok anti-Islam Pegida.
Dalam keterangannya, OKI menyebut aksi tersebut merendahkan kesucian al-Mus'haf ash-Sharif dan bertentangan dengan amanat Pasal 19 dan 20 ICCPR.
Sejarah Kemunculan Pegida
Pegida merupakan gerakan anti-Islam yang pertama kali muncul di Jerman pada Oktober 2014 silam.
Gerakan yang bermula di kota Dresden, negara bagian Sachsen, Jerman Timur ini, diinisiasi oleh seorang pengusaha dan aktivis asal Jerman bernama Lutz Bachmann.
Mengutip Dr.André Haller dalam Populism Observer, Pegida muncul sebagai respons terhadap meningkatnya kekhawatiran di kalangan sebagian masyarakat Jerman terhadap migrasi Muslim dan perasaan ketidakpuasan terhadap kebijakan imigrasi pemerintah.
Pegida pertama kali mengorganisir unjuk rasa di Dresden pada 20 Oktober 2014, dengan hanya beberapa ratus peserta.
Pegida merilis sebuah manifesto yang mengecam Islamisasi Eropa dan menuntut penghentian imigrasi Islam. Mereka juga mengklaim memperjuangkan nilai-nilai Eropa dan Kristen.
Meskipun awalnya dimulai dengan jumlah peserta yang relatif kecil, Pegida dengan cepat menarik perhatian dan mendapatkan popularitas. Unjuk rasa mereka berkembang pesat, menarik ribuan orang dalam beberapa pekan.
Pegida menjadi sangat kontroversial di Jerman dan di seluruh Eropa karena sering kali menghadirkan pidato dan tuntutan yang dianggap rasis dan Islamofobik.
Banyak para pemimpin politik dan kelompok hak asasi manusia mengutuk gerakan ini.
Pemerintah Jerman, termasuk Kanselir Angela Merkel, secara terbuka mengutuk Pegida dan menolak klaim-klaim mereka. Mereka berpendapat bahwa Jerman adalah negara yang pluralis dan terbuka untuk berbagai budaya dan agama.
Meskipun Pegida tumbuh pesat di awal kemunculannya, gerakan ini mengalami perpecahan internal dan perlawanan dari pihak berwenang.
Beberapa pemimpin Pegida mengundurkan diri, dan kelompok tersebut menghadapi tekanan yang mengakibatkan penurunan dalam partisipasi unjuk rasa.
Namun, gerakan serupa yang terinspirasi oleh Pegida mulai menyebar di beberapa negara Eropa, seperti Belanda, Prancis, dan Inggris.
Seiring berjalannya waktu, Pegida kehilangan momentumnya, tetapi tetap menjadi salah satu contoh awal dari gelombang nasionalisme yang meningkat dan perasaan anti-imigrasi yang melanda beberapa negara Eropa pada awal abad ke-21.
Pegida memang tidak lagi memainkan peran sentral dalam perdebatan politik, namun isu-isu yang diperjuangkan oleh gerakan ini terus ada dalam politik dan masyarakat Eropa.
Editor: Andy Tandang