PARBOABOA, Toba - Lingga dengan cekatan menepikan perahu ke tepi daratan di Desa Haranggaol, Simalungun, Sumatra Utara. Pagi itu, Jumat (24/11/2023), ia baru saja kembali dari mencari ikan di Danau Toba.
Sebuah perangkap ikan yang sedari tadi berada di perahu lantas dipindahkannya ke tanah. Belasan ikan tampak menggelepar di dalam benda berbentuk kotak tersebut.
Mayoritas di antaranya tampak mencolok dengan warna orange. Jenis ikan itu punya nama latin amphilophus labiatus, biasa dikenal umum sebagai iblis merah atau red devil fish.
Nelayan di Haranggaol lebih akrab menyebutnya dengan "louhan". Meski tergolong ikan hias, red devil merupakan momok bagi nelayan seperti Lingga.
"Kalau sederhananya, dari semua hasil tangkapan saya sekitar satu ikan nila, 10 ikan red devil," kata pria yang sudah 20 tahun menggantungkan hidupnya sebagai nelayan ini.
Keberadaan ikan red devil di Danau Toba bikin kepala nelayan pening. "Louhan" punya karakter yang invasif karena memangsa ikan lain.
Populasinya yang kian masif di perairan Toba justru merusak keseimbangan ekosistem. Eksistensi ikan endemik Danau Toba yang biasa jadi tangkapan penduduk makin terdesak.
Red devil, berdasarkan penuturan Lingga, cepat berkembang biak. Ikan ini juga kerap menyerang ikan yang masih kecil, selain juga suka memakan telur ikan-ikan lain.
Lingga pernah meletakkan perangkap di dasar danau pada kedalaman 30 meter. Harapannya, agar bisa menghindari red devil masuk ke perangkap.
Namun yang terjadi tidak sesuai harapan. Begitu perangkap diangkat, tetap banyak red devil yang ditemukan.
Lingga menyimpulkan bahwa red devil mampu menjelajah hingga dasar danau. Sulit bagi nelayan menghindarinya.
Padahal ikan seperti nila dan mujair, yang jadi sasaran tangkapan nelayan, hanya bisa hidup 20 meter di bawah permukaan.
Nelayan di Toba harus berhati-hati ketika berurusan dengan red devil. Ikan ini punya sirip tajam yang bisa membuat benang jaring kusut. Jika tidak dilepas dengan hati-hati, jaring nelayan akan rusak.
Tidak ada yang tahu pasti bagaimana ikan yang habitat aslinya di Amerika Tengah itu bisa hidup di Danau Toba. Para nelayan baru menyadari keberadaan hewan tersebut antara periode 2015-2016.
Sejak itu, dampak kehadiran red devil langsung dirasakan nelayan. Hasil tangkapan ikan berkurang drastis.
Lingga bercerita bagaimana kesulitan yang dihadapinya bersama nelayan lain. Dulu, dia bisa mengantongi Rp 150 ribu dari uang menjual ikan tangkapan.
"Sekarang, mendapatkan Rp50 ribu per hari pun rasanya sulit," ungkapnya.
Lingga biasa menangkap ikan mas, nila, dan mujair. Ikan tangkapan akan dia simpan terlebih dulu.
Setelah terkumpul, baru dia jual ke pasar, biasanya sekali dalam sepekan. Harga jual ikan di pasar bisa mencapai Rp20-25 ribu per kilogram.
Yang menjadi masalah, jumlah tangkapan itu kini menyusut. Sementara nelayan kini lebih banyak mendapat red devil tiap kali menangkap ikan.
Ikan red devil Danau Toba tidak punya nilai ekonomis. Kalaupun laku di pasar, harganya paling Rp10 ribu per kilogram.
Itu pun, kata Lingga, hanya ikan iblis merah berukuran besar yang bisa dijual. Minimal besarnya setelapak tangan orang dewasa.
"Kalau yang kecil-kecil tidak laku," ucap Lingga.
Harga yang relatif murah, menurut Lingga, disebabkan keengganan orang mengonsumsi ikan red devil. Ia pernah mencicipi daging red devil.
Rasanya, kata dia, tak seenak ikan lain. Ikan iblis merah cuma bisa dimakan ketika dalam kondisi panas.
"Kalau sudah dingin sudah tidak enak," ujar Lingga.
Di daerah Parapat, Simalungun, daging ikan red devil sering kali hanya dijadikan pakan ternak. Biasanya untuk ternak babi ataupun anjing.
Tak cuma Lingga yang kesal dengan kehadiran red devil di Danau Toba. Keluhan serupa sudah sering didengar Karmel Sitanggang dari para anggotanya.
Wakil Ketua Himpunan Nelayan Seluruh Indonesia Danau Toba itu bilang, dari total tangkapan nelayan 60 persen di antaranya adalah red devil.
Karmel memberikan ilustrasi, dari 10 kilogram ikan yang ditangkap nelayan, 6 kilogram adalah red devil. Artinya, hanya 4 kilogram ikan yang bisa dijual nelayan.
"Itu kalau bisa kami dapat 10 kilogram, kalau tidak dapat bagaimana? Tentunya lebih sedikit lagi keuntungannya," ia melanjutkan.
Karmel memperkirakan populasi terbanyak red devil berada di Sibaganding, Parapat, Sipolha, Tigaras, dan Haranggaol.
Ikan iblis merah benar-benar bikin susah orang-orang yang menggantungkan hidup dari hasil alam perairan Danau Toba.
Sebab, tak cuma menekan populasi ikan endemik, hewan ini juga mengganggu penyebaran lobster. Red devil senang memakan telur lobster.
"Saat ini di Parapat lobster sangat sulit dijumpai," kata Karmel.
Nelayan telah berulang kali mengeluhkan keberadaan ikan red devil ke pemerintah daerah. Namun saat ini belum ada tindakan yang benar-benar ampuh menekan populasinya.
Karmel berharap pemerintah mencari solusi permanen masalah red devil. Peran pemerintah dianggap penting, salah satunya oleh Prima Gandhi, pakar manajemen agrobisnis dari Institut Pertanian Bogor.
Ia pernah melakukan penelitian di Haranggaol mengenai peternak ikan keramba jaring apung. Berdasarkan temuannya di lapangan, mortalitas budidaya ikan di Haranggaol mencapai 56,8 persen.
Salah satu faktor penyebab angka tersebut tinggi adalah red devil yang menyerang ikan mereka. Kematian ikan budidaya bahkan sudah terjadi sejak penebaran bibit.
"Ukuran benih ikan yang masih kecil-kecil ini menjadi mangsa red devil," ungkap Prima.
Ia berharap pemerintah konsisten menangani persoalan ekosistem di Danau Toba. Hal itu sejalan dengan arah pengembangan Danau Toba sebagai destinasi super prioritas di Indonesia.
Bagi Prima, tak cuma infrastruktur yang perlu menjadi perhatian. Aspek kerusakan ekosistem akibat hama di Danau Toba juga tidak boleh dilupakan.
Kekayaan fauna perlu menjadi bagian tak terpisahkan dari paket destinasi wisata. Di Danau Toba terdapat ikan endemik yang langka. Penduduk di sana menyebutnya sebagai ihan batak (Neolissochillus thienemanni).
Jenis ikan ini berdasarkan kriteria International Union for the Conservation of Nature sudah terancam punah. Saat Prima melakukan penelitian di Haranggaol, ia bertemu dengan beberapa nelayan yang membudidayakan ihan batak.
Namun upaya mereka kerap terganggu kehadiran red devil. Itu sebabnya, Prima menilai pengendalian populasi ikan red devil di Danau Toba sudah mendesak.
Reporter: Patrick Damanik