10 Kasus Match Fixing Paling Terkenal di Dunia

Ilustrasi Match Fixing (Foto: youthincmag.com)

PARBOABOA – Kecurangan seperti match-fixing di sepak bola hampir bisa ditemui di seluruh dunia, namun mungkin sepuluh kasus ini merupakan yang paling terkenal di dunia.

Match-fixing atau pengaturan skor adalah tindakan curang yang tidak dibenarkan dalam dunia olahraga, termasuk sepak bola.

Oleh karena itu, segala bentuk kecurangan untuk mengatur hasil sebuah pertandingan bisa berakibat hukuman berat dan tak jarang juga di antara mereka yang terlibat harus berurusan dengan penegak hukum.

Berikut ini adalah 10 kasus match-fixing yang paling terkenal di dunia berdasarkan data dari berbagai sumber terpercaya.

Bruce Grobbelaar (1994)

Sangat jarang ditemukan kasus match-fixing di sepak bola Inggris. Itulah yang membuat mantan kiper Liverpool, Bruce Grobbelaar sangat terkenal ketika The Sun menunduhnya menerima suap saat gawangnya dibobol Newcastle United.

Mantan bintang The Reds itu didakwa dengan pengaturan skor dan di bawa ke pengadilan.

Sampai hari ini, ia tetap bersalah dan menyangkal melakukan hal tersebut. Harus ada dua persidangan untuk kasus ini, namun hakim gagal mencapai keputusan yang jelas.

Diyakini bahwa meskipun ia telah menerima suap, ia tidak dengan sengaja membiarkan lawan mencetak gol ke gawangnya.

Kurt Rothlisberger (1997)

Pada 1997, wasit top Swiss dan Piala Dunia, Kurt Rothlisberger mungkin tidak berpikir tindakannya akan mengakibatkan larangan seumur hidup dari dunia olahraga.

Sebelum pertandingan Liga Champions antara Grasshoppers dan Auxerre, Rothlisberger mengatakan kepada ofisial Grasshopper bahwa 70 ribu dollar sudah cukup untuk meyakinkan Vadim Zhuk (wasit yang ditugaskan di laga itu) untuk membuat keputusan yang menguntungkan mereka.

Meskipun Grasshoppers berhasil memenangkan pertandingan, tidak ada bukti bahwa Zhuk menerima suap untuk memastikan kemenangan mereka.

Menurut Rothilsberger, ia bersikap bodoh dalam perbincangan santai dengan manajer Grasshopper saat itu Erich Vogel ketika ia menyebutkan soal suap.

Rothilsberger dihukum seumur hidup, tepat setelah ia memutuskan untuk pensiun dari sepak bola pada tahun 1996.

Standard Liege (1982)

Standard Liege terlibat dalam kasus pengaturan skor yang menghebohkan Belgia beberapa dekade lalu.

Manjaer klub, Raymond Goethals telah memerintahkan para pemain untuk memberikan bonus pertandingan mereka sebagai suap kepada tim lawan.

Ini akan memungkinkan Standard Liege untuk memastikan kemenangan dan meraih trofi, selain juga memungkinak mereka untuk menjaga skuad tetap fit dan tidak cedera untuk pertandingan melawan Barcelona di pentas Eropa.

Setelah kasus itu terungkap ke publik, Goethals dilarang menjadi pelatih di Belgia seumur hidup. 13 pemain Standard Liege juga dinyatakan bersalah dan dilarang beraktivitas di sepak bola Belgia.

Menariknya, Goethals kemudian menjadi pelatih Marseille saat menjuarai Liga Champions 1993, pada tahun yang sama saat klub Prancis itu juga terlibat dalam kasus match-fixing.

Olympique de Marseille (1993)

Marseille sukses memenangkan trofi Liga Champions pada 1993, sekaligus menjuarai Ligue 1 keempat mereka secara berturut-turut.

Mendominasi sepak bola Prancis sekaligus menguatkan reputasi mereka di Eropa terlihat sia-sia karena mereka dinyatakan bersalah dalam kasus pengaturan skor.

Bernard Tapie, mantan pemilik Marseille dan Adidas, diketahui telah menawarkan uang kepada Valenciennes untuk mengalah lawan Marseille.

Niat Tapie rupanya untuk memastikan timnya tidak harus mendapatkan masalah cedera atau dengan kata lin mengondisikan timnya agar tetap prima saat tampil di Liga Champions.

Akibatnya, Marseille terdegradasi ke Ligue 2 dan kehilangan gelar juara Ligue 1 mereka. Tapie sendiri diberikan hukuman larangan beraktivitas dalam dunia sepak bola seumur hidup.

Aib Gijon (Jerman Barat vs Austria pada 1982)

Kasus match-fixing ini terjadi di fase grup Piala Dunia 1982. Itu terlihat jelas sekali bagi siapa pun yang menonton pertandingan, namun baik Jerman Barat maupun Austria tidak dinyatakan bersalah atas kasus tersebut.

FIFA secara resmi mengatakan bahwa tidak ada aturan yang dilanggar!

Kemenangan 1-0 untuk Jerman Barat akan membuat kedua tim lolos ke fase gugur dengan mengorbankan Aljazair.

Jerman mencetak gol yang mereka butuhkan dalam waktu 10 menit. Kedua tim kemudian hanya melakukan operan bola satu sama lain di sisa jalannya pertandingan.

Kecaman pun muncul di seluruh dunia dan meminta FIFA agar menyelidiki mereka, mengusulkan aturan baru bahwa pertandingan terkahir di fase grup harus dimainkan secara bersamaan.

Totonero (1980)

Kasus pengaturan skor lainnya yang terjadi di Italia, yang juga melibatkan nama-nama besar seperti pemenang Piala Dunia, Paolo Rossi yang bahkan sampai diborgol oleh polisi.

Rossi kemudian bergabung kembali dengan Timnas Italia dan memimpin Gli Azzurri memenangkan Piala Dunia pada tahun 1982.

Kasus besar, yang dinamakan Totonero oleh media Italia, terbongkar ketika sebuah surat kabar menemukan jaringan match-fixing yang melibatkan beberapa pemain Lazio.

Pelaku utamanya adalah pemilik restoran di Kota Roma, dengan para pemain Lazio tersebut adalah pelanggan tetapnya.

Milan dan Lazio didegradasi dari Serie A, dan lebih dari 20 pemain, pemilik klub, dan pejabat tinggi klub dijatuhi hukuman penjara.

Sayangnya, ini bukan kali terakhir Italia disebutkan dalam daftar memalukan ini.

Calciopoli (2006)

Italia punya sejarah kelam dalam kasus match-fixing. Salah satu yang paling populer, dijuluki sebagai Calciopoli, terjadi pada 2006. 

Panggilan telepon yang disadap mengungkapkan bahwa beberapa tim telah melakukan kontak dengan organisasi wasit sehingga mereka dapat memilih wasit yang menguntungkan pihak-pihak tertentu. 

Tim yang terlibat dalam kasus ini antara lain Juventus, AC Milan, Fiorentina, Lazio, dan Reggina.

Hukumannya adalah para pemilik klub, wasit, dan pejabat tinggi klub menerima sanksi larangan beraktivitas dalam jangka waktu lama. 

Beberapa di antara mereka, seperti eks pemilik Fiorentina, Andrea Della Valle dan mantan direktur Juventus, Luciano Moggi, dijatuhi hukuman penjara selain larangan beraktivitas. 

Klub juga menerima sanksi berat, dengan Juventus didegradasikan ke Serie B serta dua Scudetto Serie A mereka dicabut.

Pemain seperti Fabio Cannavaro dan Zlatan Ibrahimovic memutuskan untuk meninggalkan Juventus setelah mereka terdegradasi. 

Hampir 35 bintang internasional meninggalkan Serie A setelah skandal itu dan pindah ke liga lain di Eropa.

Cremonese vs Paganese (2010)

Kasus aneh lainnya di Italia, mantan penjaga gawang Cremonese, Marco Paolini dinyatakan bersalah karena meracuni minuman dan botol air rekan-rekan satu timnya dengan obat penenang!

Paolini terlilit utang judi dalam jumlah yang besar sehingga ia rela melakukan match-fixing untuk bisa melunasinya. 

Para pemain Cremonese yang waktu itu di Serie C menjadi lamban dan lemas selama pertandingan, dengan beberapa terlihat susah berjalan. Satu pemain bahkan sampai mengalami kecelakaan mobil saat pulang ke rumah.

Ketika hasil tes medis membuktikan bahwa mereka terkena efek bius, investigasi diluncurkan dan akhirnya menyatakan Paolini sebagai pelaku utama. Mantan kiper itu akhirnya dilarang bermain selama lima tahun.

Choi Sung-kuk (2011)

Sepakbola Korea Selatan dihebohkan kasus yang tak terduga pada 2011 ketika adanya match-fixing terbesar yang melibatkan puluhan pemain aktif dan mantan pemain K-League. 

Terutama, Choi Sung-kuk, mantan pemain depan Korea Selatan, menerima larangan bermain sepakbola seumur hidup di negara itu. 

FIFA kemudian membuat keputusan untuk memperpanjang larangannya di seluruh dunia, yang pada dasarnya mengakhiri kariernya.

Choi dinyatakan bersalah karena mengatur dua pertandingan saat bermain untuk mantan timnya Gwangju Sangmu. 

Skandal itu, yang telah menyebar ke puluhan pesepakbola, membuat Choi menerima hukuman penjara 10 bulan.

Hukuman Choi adalah salah satu hukuman terberat yang diberikan kepada seorang pesepakbola karena kasus match-fixing.

Plateau United Feeders 79-0 Akurba FC & Police Machine 67-0 Babayaro FC (2013)

Ini adalah beberapa skor paling aneh yang pernah Anda lihat di sepakbola. 

Sulit untuk memutuskan apa yang lebih mengejutkan daripada mencetak 79 gol, atau bahwa lawan mereka tidak berhasil mencetak satu gol pun!

79 gol dalam 90 menit berarti ada satu gol dalam setiap 68 detik. Dikatakan bahwa 72 dari gol itu terjadi di babak kedua, yang membuat ini semakin tidak masuk akal!

Plateau United Feeders and Police Machine (dua tim dari kasta bawah Nigeria) mengejar peluang promosi namun terasa sulit karena perbedaan selisih gol yang besar.

Jadi mereka melakukannya dengan cara mereka sendiri yang hampir tidak masuk akal.

Federasi Sepakbola Nigeria (NFF) menjatuhkan sanksi seumur hidup kepada keempat tim dan ofisial pertandingan yang bertugas dalam pertandingan aneh tersebut.
 

Editor: -
TAG :
Baca Juga
LIPUTAN KHUSUS