PARBOABOA, Jakarta – Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia mencatat 61 kasus kekerasan terhadap jurnalis dan organisasi media sepanjang 2022. Angka ini meningkat dibanding tahun sebelumnya sebanyak 43 kasus.
Ketua Bidang Advokasi AJI Indonesia, Erick Tanjung mengatakan dari 61 kasus tersebut terdapat 97 korban dari jurnalis dan pekerja media, serta 14 organisasi media. Kriminalisasi yang diterima dari berbagai serangan, mulai serangan fisik hingga laporan pidana.
Dia merinci, serangan digital ada 15 kasus, kekerasan fisik dan perusakan alat kerja 20 kasus, kekerasan verbal (intimidasi, ancaman, teror) 10 kasus, kekerasan berbasis gender 3 kasus, penangkapan dan pelaporan pidana 5 kasus, serta penyensoran ada 8 kasus.
“Pelakunya 24 kasus melibatkan aktor negara yang terdiri dari polisi 15 kasus, aparat pemerintah 7 kasus, dan anggota TNI 2 kasus,” kata Erick dalam Diseminasi yang digelar secara virtual pada Senin (16/01/2023).
Selain itu, sambung Erick, kekerasan terhadap jurnalis dan organisasi media juga datang dari aktor non-negara 20 kasus, yakni ormas 4 kasus, partai politik 6 kasus, dan warga 9 kasus.
“Sisanya, 17 kasus belum teridentifikasi pelakunya atau dilakukan orang yang tidak dikenal,” jelas Erick.
Erick juga mengungkapkan DKI Jakarta menempati peringkat pertama kasus kekerasan kepada jurnalis terjadi, mencapai 14 kasus, disusul Nusa Tenggara Barat (NTB) 6 kasus, Sumatra Utara 5 kasus, Sulawesi Selatan 4 kasus dan Sumatra Selatan 3 kasus.
Negara Belum Berpihak
Ketua Umum AJI Indonesia, Sasmito menambahkan, meningkatnya serangan kepada jurnalis diikuti adanya undang-undang dan regulasi. Pada 2022, pemerintah dan DPR RI mengesahkan UU Pelindungan Data Pribadi yang memuat empal pasal bermasalah, Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) dengan 17 pasal berbahaya, dan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Cipta Kerja.
Di sisi lain, keamanan jurnalis masih terancam dengan pasal-pasal bermasalah di UU Informasi dan Transaksi Elektronik, UU No 1 tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana serta Peraturan Menteri Kominfo 5/2020 tentang Penyelenggara Sistem Elektronik Privat.
“Situasi keamanan jurnalis tersebut terkait erat dengan menguatnya otoritarianisme pemerintah Indonesia. Terbitnya beberapa undang-undang yang tidak melibatkan partisipasi publik, meningkatnya serangan dan keterlibatan pelaku kekerasan dari aktor negara, bertujuan untuk membatasi kebebasan sipil dan kebebasan pers,” kata Sasmito.
Sasmito melanjutkan, dari 61 kasus serangan ke jurnalis dan organisasi media pada 2022, terdapat 16 kasus yang dilaporkan secara resmi ke institusi kepolisian. Hingga akhir 2022, baru empat kasus yang pelakunya telah ditangkap. Satu kasus divonis tindak pidana ringan (tipiring) oleh Majelis Hakim Pengadilan Negeri Soasio, Kota Tidore Kepulauan. Vonis ringan ini merupakan bentuk pengabaian terhadap Pasal 18 UU Pers.
“Selain itu, kasus-kasus yang melibatkan pelaku aktor negara, terutama anggota polisi, selama ini cenderung tanpa proses hukum dan berakhir dengan impunitas,” jelas Sasmito.
AJI mencatat pelaku kekerasan terhadap jurnalis yang melibatkan anggota polisi pada tahun 2018 sebanyak 14 kasus, 2019 (32 kasus), 2020 (55 kasus), 2021 (12 kasus), dan 2022 (15 kasus).
“Pada 2021, hanya satu kasus dengan pelaku dua polisi yang berhasil dibawa ke pengadilan,” sebutnya.
Menurut Sasmito, dengan melihat bahwa polisi menjadi pelaku kekerasan terbanyak pada jurnalis, pelanggengan impunitas sebenarnya menunjukkan kegagalan negara melakukan reformasi di tubuh kepolisian.
Kata Sasmito, kegagalan reformasi Polri ini memungkinkan kultur kekerasan yang menguat di tubuh kepolisian, sehingga melahirkan siklus kekerasan berikutnya yang terus mengikis kebebasan berekspresi dan kebebasan pers.
“Impunitas membuat jurnalis dapat diserang dan dibungkam, membuat personel polisi lainnya berani untuk melakukan serangan serupa,” ucapnya.
Ketua AJI Indonesia meminta Presiden Jokowi dan Kapolri mengevaluasi penggunaan kekuatan yang berlebihan dan pengamanan demonstrasi yang tidak sesuai dengan prinsip hak asasi manusia (HAM).
“Evaluasi tersebut harus diikuti dengan menindak dan memproses secara hukum anggota polisi yang telah melakukan kekerasan pada jurnalis,” kata Sasmito.
Keamanan Ekonomi
Di tengah serangan dan hambatan regulasi tersebut, secara internal, situasi ekonomi jurnalis di Indonesia juga makin rentan. Hal itu ditunjukkan dengan masih berlanjutnya pemutusan hubungan ketenagakerjaan pada 2022.
AJI Indonesia menerima tiga pengaduan PHK sepihak yang dialami oleh sekitar 200-an pekerja media BeritaSatu TV, 20 pekerja media Viva.co.id, dan 12 pekerja media Lampung Post.
Survei AJI Indonesia menunjukkan belum seluruh jurnalis terlindungi oleh jaminan sosial. Tercatat dari 144 jurnalis di seluruh Indonesia, terdapat 112 jurnalis (78,3 persen) yang sudah terdaftar sebagai peserta BPJS Kesehatan dan 31 jurnalis (21,7 persen) lainnya belum terdaftar.
Masih menurut survei, sebagian besar (55 persen) jurnalis yang memiliki BPJS Kesehatan karena mendaftar mandiri dan 44 persen didaftarkan oleh perusahaan. Sedangkan untuk BPJS Ketenagakerjaan, sebanyak 55,6 persen responden belum terdaftar dan 44,4 persen sudah terdaftar.
Ketimpangan gender masih dialami oleh jurnalis perempuan di redaksi. Survei AJI Indonesia dan PR2Media terhadap 405 jurnalis perempuan di 34 provinsi menemukan 68 jurnalis perempuan (16,8 persen) dari total responden mengakui adanya diskriminasi dalam pemberian remunerasi di tempat mereka bekerja.
Remunerasi itu termasuk gaji pokok, bonus dan tunjangan. Sebanyak 58% responden menyatakan jurnalis perempuan tidak bisa mendapatkan tunjangan asuransi kesehatan untuk seluruh anggota keluarga mereka.
Dalam survei tersebut, 11,6 persen jurnalis perempuan mengatakan tempat mereka bekerja tidak memberikan hak cuti melahirkan bagi jurnalis perempuan dan 67,9% jurnalis perempuan mengatakan bahwa tempat mereka bekerja tidak memberikan cuti haid.
Editor: -