Debt Collector di Ibu Kota: Antara Legalitas dan Label Premanisme

Ilustrasi debt collector. (Foto: Unsplash)

PARBOABOA, Jakarta - Liputan khusus Parboaboa bertajuk Preman-preman Timur di Jantung Ibu Kota, mengulas secara detail ihwal dunia penagih utang atau debt collector di Indonesia.

Pekerjaan yang sering diasosiasikan dengan orang-orang dari Indonesia Timur ini, khususnya dari Ambon dan NTT ternyata melewati serangkaian proses yang tidak mudah.

Sumber Parboaboa misalnya menyebut, untuk menjadi menjadi debt collector, seseorang harus terlebih dahulu berguru pada senior-senior mereka yang sudah memiliki nama besar di perusahaan jasa bidang penagihan itu.

Di sana, nyali mereka diuji terutama ketika berhadapan dengan debitur nakal yang sering menggunakan jasa preman untuk menghalangi kerja-kerja penagihan.

Bahkan, ada semacam pengakuan di kalangan mereka bahwa semakin seseorang sering terlibat dalam bentrokan di jalanan, posisi tawarnya sebagai penagih akan semakin tinggi.

Kondisi inilah yang membentuk karakter mereka dipersepsikan keras bahkan dilabeli sebagai preman. Tidak sedikit pula yang menuding pekerjaan mereka ilegal dan melawan hukum.

Apakah memang demikian adanya? 

Sesungguhnya, tidak semua debt collector beroperasi di luar aturan. Dan, dunia penagihan sendiri mengantongi aspek legalitas yang seringkali tidak dipahami oleh masyarakat.

Memang, tidak ada peraturan khusus yang mengatur profesi debt collector secara eksplisit. Namun, tugas mereka berlandaskan pada pemberian kuasa dari kreditur.

Biasanya kuasa tersebut diterima dari lembaga keuangan atau pembiayaan untuk menagih kewajiban debitur. Perjanjian pemberian kuasa ini telah diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata).

Di sisi lain, sejumlah regulasi juga memberi ruang bagi lembaga keuangan untuk menggunakan jasa pihak ketiga dalam penagihan. 

Beberapa di antaranya adalah PBI 23/2021 dan POJK 35/2018, yang kemudian mengalami perubahan melalui POJK 7/2022 dan POJK 10/2022. Bahkan, SE OJK 19/2023 turut memperkuat pengaturan ini. 

PBI 23/2021 berfokus pada penagihan kartu kredit. Di sana dijelaskan, penyedia jasa pembayaran dengan produk kartu kredit diwajibkan mematuhi etika penagihan. 

Hal ini bertujuan untuk memastikan bahwa proses penagihan tetap berada dalam batas-batas etis, seperti memberikan pemberitahuan kepada pemegang kartu mengenai keterlambatan pembayaran dengan cara yang tidak mengintimidasi.

Berbeda dengan PBI 23/2021, POJK 35/2018 secara spesifik mengatur tata cara penagihan oleh perusahaan pembiayaan terhadap debitur yang mengalami wanprestasi. 

Perusahaan pembiayaan wajib berupaya menagih haknya melalui proses yang dimulai dengan surat peringatan. Surat ini harus memuat informasi mengenai jumlah keterlambatan, pokok dan bunga terutang, serta denda yang berlaku. 

Selain itu, perusahaan pembiayaan diberikan hak untuk bekerja sama dengan pihak lain, dalam hal ini, debt collector untuk membantu proses penagihan.

Selanjutnya, kerja sama tersebut harus dituangkan dalam perjanjian tertulis dengan materai, dan hanya boleh dilakukan dengan pihak yang berbadan hukum dan memiliki izin dari instansi terkait. 

Lebih jauh lagi, perusahaan pembiayaan harus memastikan bahwa sumber daya manusia yang digunakan oleh pihak ketiga telah memperoleh sertifikasi di bidang penagihan dari lembaga sertifikasi profesi. 

Selain itu, perusahaan pembiayaan tetap bertanggung jawab penuh atas dampak yang mungkin timbul dari aktivitas debt collector dan diwajibkan melakukan evaluasi berkala atas kerja sama tersebut.

Pengaturan lebih lanjut terkait penagihan dalam konteks layanan fintech diatur dalam POJK 10/2022 dan SE OJK 19/2023. 

Aturan ini berlaku bagi platform teknologi finansial, seperti pinjaman online (pinjol). Dalam hal penerima pinjaman wanprestasi, fintech wajib memberikan surat peringatan kepada debitur sebagai langkah awal penagihan. 

Sama seperti perusahaan pembiayaan, fintech juga diperbolehkan bekerja sama dengan pihak ketiga untuk fungsi penagihan, tetapi dengan ketentuan yang lebih ketat.

Pihak ketiga yang bekerja dengan fintech harus berbadan hukum, memiliki izin resmi, dan tidak boleh memiliki afiliasi dengan penyelenggara platform atau pemberi dana. 

Selain itu, sumber daya manusia yang terlibat juga harus memiliki sertifikasi dari lembaga yang diakui OJK. 

Sama seperti perusahaan pembiayaan, fintech juga memikul tanggung jawab penuh atas segala tindakan debt collector yang mereka gunakan dan diwajibkan melakukan evaluasi berkala terhadap kerja sama tersebut.

Etika Penagihan

Dalam menjalankan tugasnya, debt collector tidak hanya bertugas menagih kewajiban debitur, tetapi juga harus mematuhi etika penagihan yang telah ditetapkan. 

Ini berlaku baik dalam sektor perbankan, layanan fintech, maupun lembaga pembiayaan. Etika penagihan ini dirancang untuk memastikan bahwa proses penagihan berjalan secara profesional, manusiawi, dan tidak merugikan penerima utang atau debitur.

Bagi penyedia jasa pembayaran seperti penerbit kartu kredit, Bank Indonesia menegaskan bahwa penagihan utang harus mengikuti ketentuan peraturan perundang-undangan dan regulasi yang berlaku. 

Sementara itu, apabila jasa penagihan diserahkan kepada pihak ketiga, penyedia kartu kredit wajib memastikan bahwa kualitas penagihan tetap setara dengan penagihan yang dilakukan secara langsung oleh pihak mereka sendiri. 

Selain diperuntukkan bagi kredit dengan status diragukan atau macet, penggunaan jasa penagihan oleh pihak ketiga harus memenuhi persyaratan tertentu. Organisasi pengatur mandiri (self-regulatory organization) dengan persetujuan Bank Indonesia dapat menetapkan pengaturan teknis tambahan terkait hal itu.

Dalam sektor fintech, regulasi penagihan diterapkan dengan ketat. Prosesnya harus berlandaskan itikad baik dan sesuai norma yang berlaku di masyarakat. Penyelenggara layanan fintech dilarang melakukan penagihan dengan cara intimidasi atau kekerasan, baik secara fisik maupun mental. 

Mereka juga tidak boleh merendahkan martabat penerima pinjaman, baik di dunia nyata maupun digital. Ancaman berupa cyber bullying terhadap debitur, keluarga, atau kontak daruratnya dianggap melanggar etika penagihan.

Penagihan oleh debt collector menuntut kehati-hatian agar tidak menggunakan kata-kata atau tindakan yang menghina, menyentuh isu SARA, atau mempermalukan penerima utang di lingkungannya. 

Selain itu, regulasi OJK melarang penyebarluasan data pribadi debitur tanpa persetujuan tertulis, kecuali jika diizinkan oleh ketentuan perundang-undangan. Perlindungan privasi debitur menjadi salah satu aspek penting dalam praktik penagihan ini.

Debt collector yang bekerja dengan fintech atau lembaga pembiayaan harus mengikuti prosedur tertentu. Tugas penagih hanya boleh difokuskan pada debitur tanpa melibatkan pihak lain.

Proses penagihan juga wajib dilakukan sesuai kesepakatan waktu dan tempat. Biasanya, penagihan berlangsung di alamat rumah atau kantor debitur antara pukul 08.00 hingga 20.00 waktu setempat. 

Apabila penagihan dilakukan di luar waktu atau tempat yang ditentukan, hal ini harus berdasarkan persetujuan atau perjanjian dengan debitur. Penggunaan sarana komunikasi juga dibatasi agar tidak menimbulkan gangguan berlebihan terhadap debitur atau keluarganya.

Keseluruhan aturan ini dirumuskan untuk menjaga profesionalisme dan etika dalam praktik penagihan. Debt collector, meskipun bekerja di bawah tekanan tinggi, dituntut untuk mengutamakan pendekatan yang manusiawi dan menghindari segala bentuk pelanggaran privasi. 

Dengan mengikuti regulasi ini, diharapkan proses penagihan dapat berjalan efektif sekaligus memperbaiki citra profesi debt collector yang selama ini sering dipandang negatif.

Editor: Gregorius Agung
TAG :
Baca Juga
LIPUTAN KHUSUS