PARBOABOA, Jakarta - Dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP) dengan Komisi III DPR RI, Jaksa Agung Sanitiar Burhanuddin mengungkapkan kesulitan membongkar tuntas pelaku korupsi tata niaga timah.
Hal itu disebabkan karena para tersangka dan saksi kasus korupsi yang menilep ratusan triliunan uang negara tersebut, tutup mulut atau enggan memberitahu pelaku lain, termasuk para bohir yang diduga terlibat.
Burhanuddin menjelaskan, selama ini memang ada isu keterlibatan si A, B dan si C tetapi tak kunjung diungkap. Padahal, penyidik Kejagung, kata dia, mengharapkan sejumlah tersangka dan saksi menyebut nama-nama itu.
"Saya tadinya mengharapkan ada keterbukaan dari para tersangka atau saksi," kata Burhanuddin di Gedung DPR RI, Rabu (13/11/2024).
Tutup mulutnya para saksi dan tersangka hingga saat ini, lanjut Burhanuddin, membuat taipan besar di belakang kasus ini sulit dibongkar.
"Jadi, mereka itu tutup mulut, tidak ada menyebutkan si A, si B atau si C yang sering disebut-sebut di sejumlah media," pungkasnya.
Kendati demikian, pihaknya berjanji untuk terus berupaya membongkar praktik lancung ini termasuk mengungkap nama-nama yang selama ini santer diperbincangkan.
Sebelumya, Jaksa Agung mengungkapkan bahwa kerugian negara dalam kasus dugaan korupsi tata niaga timah di area Izin Usaha Pertambangan (IUP) PT Timah Tbk untuk periode 2015 hingga 2022 mencapai angka fantastis, yakni sekitar Rp 300,003 triliun.
Angka ini diperoleh dari hasil audit Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP), yang menyebutkan bahwa perkiraan awal sebesar Rp 271 triliun ternyata bertambah signifikan setelah melalui proses audit mendalam.
Ketua Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan atau BPKP, Muhammad Yusuf Ateh, menyerahkan hasil audit ini langsung kepada Jaksa Agung Sanitiar Burhanuddin.
Dalam pelaksanaannya, BPKP menjalankan berbagai prosedur audit dan investigasi, termasuk meminta keterangan dari para ahli guna memperkuat temuan mereka.
Hasil audit ini menyatakan bahwa total kerugian negara akibat dugaan tindak pidana korupsi dalam tata niaga komoditas timah mencapai sekitar Rp 300,003 triliun, seperti disampaikan oleh Jaksa Agung.
Peneliti dari Pusat Kajian AntiKorupsi (Pukat) UGM, Yuris Rezha Kurniawan menilai, kasus korupsi yang melibatkan PT Timah merupakan gambaran jelas dari permasalahan besar dalam sektor pertambangan nasional.
Kasus di atas, tegasnya, merupakan fenomena gunung es yang menunjukkan bahwa penyalahgunaan izin pertambangan bisa jadi masih meluas dan belum seluruhnya terbongkar.
Ada kemungkinan kuat praktik serupa terjadi di berbagai perusahaan tambang lainnya, namun lemahnya pengawasan pemerintah dan kecenderungan penegakan hukum yang memihak pelaku bisnis memperparah kondisi ini.
Dalam kasus PT Timah, Pukat UGM melihat, indikasi kerugian besar negara terjadi akibat prosedur pembelian pasokan timah yang tidak sesuai ketentuan, di mana harga yang dibayar jauh melebihi standar.
Yuris Rezha Kurniawan mencurigai "adanya kolusi dengan pebisnis tambang ilegal, yang seharusnya diawasi ketat dan ditindak tegas, namun justru menjadi mitra dalam eksploitasi sumber daya alam secara melanggar hukum."
Pukat UGM juga mencatat sejumlah modus yang sering muncul dalam kasus korupsi sektor pertambangan, seperti suap untuk meloloskan izin usaha yang tidak sesuai ketentuan, hingga manipulasi data produksi untuk mengurangi penerimaan negara.
Tak hanya itu, kasus ini juga kata mereka memperlihatkan betapa sulitnya pemberantasan korupsi di sektor sumber daya alam, terutama karena adanya pengaruh kuat dari para pebisnis.
Oleh karena itu, dibutuhkan peran aktif pemerintah yang berkomitmen tinggi dalam memperkuat sistem pengawasan, menangani konflik kepentingan di antara pejabat yang terlibat dengan sektor ini, serta memastikan penegakan hukum yang benar-benar independen dan tidak terpengaruh oleh kepentingan bisnis.
Lantas mereka menyarankan kejaksaan untuk memperluas penyelidikan kasus korupsi timah, terutama untuk mengungkap potensi adanya praktik suap atau pembiaran terhadap operasi tambang ilegal.
Apabila ditemukan bukti yang cukup, bukan tidak mungkin akan terbuka keterlibatan aktor lain dalam jaringan tersebut.
Menurut Pukat UGM Kasus PT Timah menjadi pengingat bahwa korupsi di sektor sumber daya alam hanya bisa ditekan melalui pengawasan yang lebih ketat, penanganan konflik kepentingan yang cermat, dan penegakan hukum yang tegas tanpa kompromi.
Saat ini, Kejagung telah menetapkan 22 orang sebagai tersangka dalam kasus korupsi yang melibatkan PT Timah Tbk.
Di antara para tersangka, terdapat nama Toni Tamsil alias Akhi, yang diduga menghalangi proses penyidikan.
Sementara itu, dalam pokok perkara, beberapa nama terlibat sebagai pejabat dan pemilik perusahaan tambang yang beroperasi di Bangka Belitung. Suwito Gunawan dan MB Gunawan, masing-masing menjabat sebagai Komisaris dan Direktur PT SIP, menjadi tersangka utama. Ada juga Tamron alias Aon serta Hasan Tjhie, yang terlibat melalui CV VIP, perusahaan yang diduga menjadi bagian dari skema ini.
Selain dari sektor swasta, sejumlah pejabat publik turut terlibat. Mantan Kepala Dinas ESDM Bangka Belitung, Suranto Wibowo, dan beberapa pejabat ESDM lainnya, seperti Amir Syahbana dan Bambang Gatot Ariyono, mantan Dirjen Minerba Kementerian ESDM periode 2015-2022, juga menjadi tersangka.
Mereka diduga memiliki peran dalam meloloskan izin serta mempermudah operasi perusahaan yang terkait dengan kasus ini.
Nama-nama lain yang ikut diseret adalah crazy rich PIK, Helena Lim yang bekerja sebagai manajer di PT QSE dan Suami pesohor tanah air, Sandra Dewi, yaitu Harvey Moeis yang berperan sebagai perpanjangan tangan dari PT RBT.
Editor: Gregorius Agung