PARBOABOA, Jakarta - Menteri Koordinator Bidang Hukum dan HAM, Yusril Ihza Mahendra menyampaikan pandangan kontroversial terkait pelanggaran HAM berat di masa lalu.
Yusril menyebut, pelanggaran HAM berat tidak pernah terjadi di Indonesia, termasuk peristiwa kerusuhan 1998 bukanlah persoalan yang tergolong masalah HAM.
"Selama beberapa tahun terakhir tidak terjadi pelanggaran HAM berat," ungkap Yusril pasca pelantikan para menteri di Istana Kepresidenan pada Senin (21/10/2024).
Menurut Yusril, pelanggaran HAM berat justru meliputi tindakan seperti genosida, pembunuhan massal, dan pembersihan etnis yang sesungguhnya tidak terjadi dalam beberapa dekade terakhir.
"Peristiwa-peristiwa semacam itu mungkin lebih sering terjadi pada masa kolonial atau di awal perang kemerdekaan," ujar Yusril.
Pernyataan kontroversial ini melahirkan kritik luas, mengingat kerusuhan 13-15 Mei 1998 dikenal publik sebagai salah satu tragedi paling memilukan dalam sejarah Indonesia.
Peristiwa tersebut mencederai martabat bangsa dan negara, serta menyisakan luka mendalam bagi banyak pihak, khususnya para aktivis dan anggota keluarga korban.
Seperti dilaporkan, Presiden B.J. Habibie telah membentuk Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) pada 23 Juli 1998 yang terdiri dari unsur pemerintah, Komnas HAM, dan berbagai organisasi masyarakat.
Setelah tiga bulan mengumpulkan data dan bukti, TGPF merilis laporan pada 23 Oktober 1998. Namun, TGPF menyatakan bahwa sulit menemukan angka pasti terkait jumlah korban kerusuhan.
Dalam laporan tersebut, berbagai data tentang korban jiwa dan kerugian dipaparkan dari beberapa sumber, entah yang berasal dari Jakarta maupun luar Jakarta.
Tercatat, korban meninggal di Jakarta mencapai setidaknya 1.217 jiwa, termasuk 1.190 orang yang tewas akibat terbakar. Di luar Jakarta, 30 orang meninggal dunia, 131 orang luka-luka, dan 27 orang luka bakar.
Sementara itu, Polda Metro Jaya menunjukkan 451 orang meninggal di Jakarta. Di luar Jakarta teridentifikasi sebanyak 30 orang meninggal dunia, 131 orang mengalami luka-luka, dan 27 orang mengalami luka bakar.
Laporan TGPF juga memuat data kekerasan seksual yang terjadi selama kerusuhan, dengan 52 orang menjadi korban perkosaan, 14 orang mengalami perkosaan disertai penganiayaan, serta korban lain yang mengalami serangan seksual.
Sebagian besar korban berasal dari komunitas Tionghoa yang oleh aktivis perempuan dan kemanusiaan, Ita Fatia Nadia 'cenderung dinegasikan' atau luput dari pandangan umum.
Laporan TGPF menghasilkan delapan rekomendasi, salah satunya adalah pembentukan Tim Penyelidikan Pro-Justicia oleh Komnas HAM untuk menyelidiki dugaan pelanggaran HAM berat dalam Tragedi Mei 1998.
Pada 2003, Komnas HAM menyimpulkan bahwa terdapat cukup bukti adanya kejahatan terhadap kemanusiaan dalam peristiwa tersebut, sesuai Pasal 9 UU tentang Pengadilan HAM.
Tanggapan Amnesty International
Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia, Usman Hamid, menyatakan bahwa pejabat pemerintah seharusnya tidak mengeluarkan pernyataan yang tidak tepat mengenai HAM.
Baginya, pernyataan Yusril tidak mencerminkan pemahaman yang benar tentang HAM, khususnya terkait definisi pelanggaran HAM berat dalam Pasal 104 UU HAM dan Pasal 7 UU No. 26/2000 tentang Pengadilan HAM.
"Pejabat pemerintah seharusnya tidak mengeluarkan pernyataan yang keliru terkait hak asasi manusia, terutama jika ia bertanggung jawab dalam bidang legislasi HAM," ungkap Usman dalam pernyataan tertulis, Senin (21/10/2024).
Usman juga menyoroti bahwa pernyataan Yusril mengabaikan laporan resmi dari TGPF dan Komnas HAM yang mengindikasikan adanya kejahatan terhadap kemanusiaan dalam Tragedi Mei 1998.
"Pernyataan tersebut juga mengabaikan laporan-laporan resmi dari tim pencari fakta bentukan pemerintah serta penyelidikan pro-justisia Komnas HAM," lanjut Usman.
Laporan yang disebut Usman menyimpulkan adanya pelanggaran HAM berat dalam bentuk kejahatan terhadap kemanusiaan atau crimes against humanity.
Menurut ketentuan hukum internasional, terdapat empat kejahatan serius HAM, yaitu genosida, kejahatan kemanusiaan, kejahatan perang, dan kejahatan agresi, sebagaimana diatur dalam Pasal 51 Statuta Roma.
Hasil penyelidikan Komnas HAM mengenai Tragedi Mei 1998 telah diserahkan kepada Kejaksaan Agung. Namun, hingga kini belum ada pengadilan ad hoc yang dibentuk untuk memproses kasus tersebut.
Lebih lanjut, Usman menegaskan penentuan apakah suatu peristiwa tergolong pelanggaran HAM berat bukan kewenangan presiden atau menteri, melainkan pengadilan HAM.
Oleh karena itu, "Komnas HAM perlu merespons pernyataan Yusril dan mendorong penyelesaian kasus-kasus pelanggaran HAM masa lalu, termasuk Tragedi Mei 1998, hingga tuntas."
Pernyataan Yusril dianggap tidak hanya bersifat non accurate secara hukum dan sejarah, tetapi juga kurang berempati terhadap korban Tragedi Mei 1998.
Pernyataan tersebut juga dianggap sebagai sinyal bahwa pemerintah baru cenderung mengabaikan tanggung jawab dalam menyelesaikan kasus-kasus pelanggaran HAM masa lalu.