Cosplayer dan Geliat Pekerja Seni di Kota Tua

Pose Ikonik Sahmal dengan kostum Tentara berwarna emas. (Foto: PARBOABOA/Surya Mahmuda)

PARBOABOA, Jakarta - "JELAS! Mereka itu pelacur seni!" geram seorang lelaki di tengah terik matahari bak neraka bocor membakar kulit. Siang itu, Parboaboa menjelajahi suatu tempat bersejarah di Ibukota.

Lokasi yang dulunya merupakan pusat pemerintahan Batavia, kini telah berubah statusnya menjadi objek wisata di Jakarta. Batavia Lama atau Oud Batavia, merupakan sebutan yang populer untuk Kota Tua pada masa lampau.

Tempat yang dulunya masyhur sebagai pusat perdagangan di Asia, kini hanya menyimpan sejarah dan tumpuan hidup bagi orang banyak.

Salah satu hal menarik yang Parboaboa temui di Kota Tua adalah pekerja seni patung manusia atau Cosplayer. Dalam hal ini, para seniman akan berdandan bak pahlawan, tentara, atau Noni Belanda di masa lampau.

Salah satu Cosplayer Tentara Perjuangan, Sahmal (50) yang bekerja sebagai manusia patung sejak 14 yang tahun lalu tepatnya pada 2010. Tujuan utamanya bekerja sebagai cosplayer adalah menghibur masyarakat yang sedang berkunjung ke Museum Sejarah Jakarta.

Sahmal menuturkan, sebagai salah satu ikon foto di Kota Tua selain harus pintar berpose manusia patung juga dituntut untuk kreatif. Semua perlengkapan mulai dari kostum, sepeda hias hingga senjata palsu ia rakit sendiri bahkan bahannya didapatkan dari barang loak.

"Ini hampir semua karya saya sendiri sih, Contohnya senjata ini saya beli di loak dan saya rakit ulang, jadi semuanya homemade. Rasanya kalau bukan karya saya sendiri kurang puas untuk dipajang," tutur Sahmal saat diwawancarai depan Lapangan Museum Fatahillah.

Meski usia terbilang tidak muda lagi, Sahmal tetap semangat dan tidak pernah mengeluh dengan pekerjaannya. Panas terik matahari hingga tak dibayar oleh pengunjung yang ingin berfoto merupakan asam garam kehidupan yang pernah ia alami.

Tetapi ia selalu bersyukur dengan rezeki dan apresiasi yang telah masyarakat berikan. Walaupun penghasilan yang didapatkan per hari tak menentu, hal tersebut tak pernah menjadi persoalan besar bagi dirinya.

"Sejauh ini penghasilan itu cukup sih. Kita kan bekerja untuk menghibur, jadi walaupun masyarakat kasih dua ribu atau lima ribu rupiah saya gak pernah persoalkan karena itu kan apresiasi dari masyarakat," ungkapnya.
Selama pandemi COVID-19, ia sempat beralih profesi menjadi pebisnis karena tidak bisa tampil, dan kawasan wisata Kota Tua sepi pengunjung. Namun, pekerjaan tersebut justru tak dapat ia nikmati karena jiwa seni telah melekat dalam dirinya.

Komunitas Seni Karakter Kota Tua

Potret Sahmal saat sedang berpose dengan pengunjung di Kota Tua (Foto: PARBOABOA/Surya Mahmuda)

Untuk tampil sebagai cosplayer di Kota Tua, syarat adalah harus bergabung dalam komunitas Seni Karakter Kota Tua (SKKT). 

"Kalau saya gak gabung di komunitas, ya gak mungkinlah saya bisa disini," ungkap Sahmal di tengah sesi wawancara. 

Komunitas SKKT merupakan wadah bagi para cosplayer di Kota Tua. Proses pemilihannya pun cukup ketat, dimana para calon cosplayer harus melalui seleksi yang menilai kemampuan dalam menampilkan pose ikonik, kreativitas, kesiapan diri, dan berbagai aspek lainnya sebelum bisa tampil di sana.

Selain itu SKKT terdapat wadah lain yang mencakup seluruh aktivitas di Kota Tua namanya “Yayasan Kota Tua”. Dalam yayasan ini, seluruh elemen Kota Tua mulai dari pedagang, Pekerja seni dan lainnya, berkolaborasi serta mendapat pembinaan khusus dari pemerintah.

"Jadi dengan adanya komunitas ini, kita disini rapi dan udah dapet izin juga dari Satpol-PP. Jadi gak ada tuh kita ditangkep atau ditertibkan.  Untuk anggota yayasan saat ini itu berjumlah 220 orang yang mencakup seluruh elemen di Kota Tua, mulai dari pedagang, pekerja seni dan lainnya,” jelas Sahmal.

Sahmal menambahkan, di balik kegigihannya dalam mendalami seni karakter. Ia justru geram dengan manusia silver yang bertebaran di jalanan. Ia mengungkapkan, telah terjadi degradasi cosplay dari yang sebelumnya merupakan karakter seni menjadi pengamen pinggir jalan.

"Jadi ini sebetulnya telah terjadi degradasi, khususnya dengan adanya manusia silver yang ada di jalan. Sebetulnya mereka itu pelacur seni dan harus ditertibkan. Kalau ingin berkarya sebetulnya kan bisa di taman-taman, di tempat wisata, jangan di jalan. Jadi dari segi pemasukan pun bisa lebih pasti!" Tegas Sahmal di akhir sesi wawancara.

Dirinya berharap, seni cosplay di Indonesia dapat semakin berkembang serta dapat turut berkontribusi memajukan ekonomi lokal melalui seni manusia patung di sejumlah tempat wisata.

Noni Belanda dan Ikon Foto Kota Tua

Farah, cosplayer Noni Belanda. (Foto: PARBOABOA/Surya Mahmuda)

Tak jauh dari tempat Sahmal berada terdapat cosplayer lain yang tak kalah menarik untuk diulik. Arifah (40) atau akrab disapa Farah merupakan salah satu cosplayer ikonik yang berada di Kota Tua. 

Mengenakan kostum bernuansa eropa ala Noni Belanda, Farah tampak mencolok dengan rambut kepang, gaun merah menjuntai dengan sedikit berwarna biru dan payung berwarna putih.

Gadis cantik putih ini sudah menjadi cosplayer di Kota Tua selama 14 tahun. Selain menjadi Noni, ia juga sudah mencoba berbagai karakter seperti hantu, ibu kartini, dan lain sebagainya.

Senada dengan Sahmal, Farah juga mempersiapkan seluruh perlengkapan performnya sendiri. Ia berangkat dari rumah di kawasan Ancol pada pukul delapan kemudian akan mempersiapkan seluruh ornamen foto dan make up pada pukul sembilan.

“Jadi kalau persiapan itu aku semuanya sendiri sih kak, nyusun ornamen, make up, semuanya sendiri. Bahkan untuk perlengkapan seperti bunga-bunga aku juga sendiri hanya topi saja yang beli di e-commerce,” ungkapnya.

Berbeda dengan Sahmal yang merasa cukup dengan menjadi manusia patung di Kota Tua, Farah mengungkapkan penghasilannya tak cukup untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari.

“Kalau dari segi penghasilan sih ga tentu ya kak, karena kan orang ngasih seikhlasnya. Kadang ada orang yang ngasih 100 perak, 500 perak, dalam satu hari ga ada yang ngajak foto juga pernah. Tapi kalau wisatawan lagi banyak, biasanya kita bisa dapet lebih,” ujarnya.

Ditengah kesibukannya sebagai cosplayer ia cukup kesulitan untuk membagi waktu dengan keluarga terutama anak-anaknya. Pagi ia harus mengantarkan anaknya sekolah terlebih dahulu sebelum berangkat ke Kota Tua dan pada saat siang ia harus menitipkan anaknya kepada keluarga terdekat.

Selain berperan sebagai Noni di Kota Tua, Farah menjelaskan bahwa ia dapat melakoni karakter lain seperti Jeng Kelin, Spongebob dan lain sebagainya jika ada panggilan tampil di luar Kota Tua.

Di akhir perbincangan, Farah berharap bahwa seniman di Kota Tua dapat semakin dibina serta dikenal luas oleh masyarakat.

Penulis: Surya Mahmuda

Peserta Program Magang Parboaboa

Editor: Rista
TAG :
Baca Juga
LIPUTAN KHUSUS