Sisi Gelap Pekerja FnB: Jam Kerja Overtime, Gaji Sulit Bukan Main

Pekerja di perusahaan FnB cenderung mengalami eksploitasi karena beban kerja yang besar dan waktu kerja yang panjang (Foto: PARBOABOA/Calvin)

PARBOABOA, Jakarta - Industri Food and Beverage (FnB) menjadi salah satu sektor yang mengalami pertumbuhan pesat dalam beberapa tahun terakhir. 

Industri ini mencakup semua perusahaan yang terlibat dalam pengolahan bahan makanan, pengemasan, distribusi, hingga penyajian makanan dan minuman kepada konsumen. 

Inovasi dan kreativitas yang terus bermunculan menjadikan FnB semakin menarik untuk digeluti oleh berbagai kalangan. 

Di Indonesia, FnB menarik perhatian karena pasar yang besar dan beragam. Peluang usaha di sektor ini sangat menjanjikan, terutama jika dikelola dengan baik.  

Sejak 2019, tren waralaba dan kemitraan FnB semakin marak, terutama untuk minuman seperti kopi kekinian, boba, cheese tea, dan Thai tea. 

Berdasarkan laporan Euromonitor International, industri FnB di Indonesia diperkirakan akan mengalami pertumbuhan sebesar 5% per tahun hingga 2025. 

Meski demikian, FnB tak jarang menyimpan banyak catatan buruk, utamanya soal kerja nasib para pekerja yang tidak diperhatikan dengan sungguh.

Liputan khusus PARBOABOA pada Senin (02/12/2024) menyingkap hal serupa. Berdasarkan wawancara dengan beberapa narasumber, mereka mengeluhkan perlakuan semena-mena dari atasan.

“Biasa itu [perlakuan semena-mena] kalau kerja di FnB. Kalau mental tidak kuat, sebaiknya jangan bekerja di sana,” ujar Roy, salah seorang pekerja di FnB kepada PARBOABOA.

Selain tekanan kerja yang berat, waktu kerja juga terbilang tak masuk akal. Meski menggunakan sistem kerja shift, bekerja lebih dari 10 jam sehari sudah menjadi hal biasa di industri FnB, terutama ketika restoran sedang ramai. 

“Saya pernah mulai kerja jam 10 pagi dan baru pulang jam 4 subuh,” tuturnya.

Yang lebih mengkhawatirkan, tambahan jam kerja sering kali tidak diimbangi dengan upah yang memadai. Banyak pekerja FnB menerima gaji di bawah Upah Minimum Provinsi (UMP) Jakarta. 

Roy yang telah bekerja di berbagai restoran ternama di Jakarta, mengakui bahwa permasalahannya selalu sama: upah yang jauh dari standar UMP. 

Bahkan saat ini, meskipun menjabat sebagai koki kepala, ia hanya menerima gaji sebesar Rp3,5 juta per bulan. Tak terbayangkan betapa kecilnya gaji yang diterima oleh karyawan biasa. 

“Contohnya di tempat ini, aku udah jadi koki kepala, masuk tiap hari, tapi gaji cuma segitu aja per bulan,” keluhnya.

Kondisi serupa dialami Riko (24), yang mulai bekerja di industri FnB pada tahun 2021. Semula, ia sangat menikmati pekerjaannya. Namun, seiring waktu, ia mulai menyadari adanya ketidakberesan. 

Beban kerja yang kian berat dan jam kerja tidak menentu menjadi fenomena yang lumrah. Riko harus membuka restoran pukul 10.00 pagi tanpa kepastian kapan bisa pulang. 

Sering kali, ia baru meninggalkan tempat kerja pukul 21.00 atau 22.00 malam. Lebih parahnya lagi, ada momen di mana ia baru diizinkan pulang pukul 02.00 pagi hanya karena harus melayani kolega pemilik restoran yang datang untuk nongkrong. 

“Jam kerja saya bisa mencapai 11-12 jam sehari. Soal lembur? Jangan berharap ada. Hanya mendapat ucapan terima kasih,” katanya. 

Padahal, menurut Undang-Undang Cipta Kerja dan PP No. 35 Tahun 2021, batas maksimal jam kerja adalah 40 jam per minggu, dengan kewajiban bagi pengusaha untuk membayar upah lembur. 

Bekerja di restoran kecil dengan manajemen yang kurang profesional, Riko sering mendapat tugas di luar tanggung jawabnya. 

“Semua saya lakukan. Melayani pelanggan, jadi kasir, mencuci piring, menyiram dan merawat tanaman restoran, sampai mendesain menu,” ungkapnya. 

Sayangnya, upah yang diterimanya jauh di bawah UMP Jakarta. Riko hanya mendapat gaji harian sebesar Rp50 ribu, ditambah Rp1 juta per bulan. 

Jika dihitung, gaji maksimumnya hanya mencapai Rp2,5 juta per bulan, dengan catatan harus masuk kerja setiap hari. Lantas, mengapa persoalan-persoalan tersebut rentan terjadi?

Apa yang Sebenarnya Terjadi?

Sekretaris Federasi Serikat Pekerja Mandiri (FSPM) Regional Jabodetabek dan Lampung, Muhammad Husni Mubrok, mengkritisi lemahnya pengawasan pemerintah terhadap perusahaan di sektor FnB. 

Ia mengungkapkan bahwa di Jakarta Pusat saja, terdapat sekitar 4.500 perusahaan yang diawasi hanya oleh 3 hingga 5 petugas. 

“Dengan jumlah pengawas yang sangat minim, mustahil untuk memastikan seluruh perusahaan mematuhi aturan ketenagakerjaan,” tegasnya kepada PARBOABOA belum lama.

Husni juga menyoroti praktik kontrak kerja yang beragam di sektor FnB, seperti part-time, magang, dan pegawai harian lepas. 

Menurutnya, perbedaan jenis kontrak sering kali berdampak pada hak-hak pekerja, yang kerap tidak mendapatkan perlindungan atau kompensasi yang memadai. 

“Jarang sekali karyawan di sektor FnB diangkat sebagai pegawai tetap oleh perusahaan,” ujarnya.

Selain itu, ia juga mengkritik fasilitas kerja yang sering kali tidak memadai, terutama di restoran yang berlokasi di mall. 

Salah satu contohnya adalah kurangnya ruang istirahat layak bagi pekerja dengan jam kerja panjang. Kondisi tersebut mencerminkan kelalaian perusahaan dalam mematuhi aturan ketenagakerjaan. 

Hal tersebut jelas bertolak belakang dengan ketentuan dalam UU Ketenagakerjaan dan UU Cipta Kerja yang menekankan pentingnya perhatian pada nasib para pekerja.

Dalam kedua beleid itu, diatur sejumlah hak yang harus dipenuhi perusahaan, antara lain hak atas upah termasuk upah lembur, hak istirahat, hak memperoleh kesehatan dan hak berserikat (berorganisasi). 

Atas persoalan-persoalan tersebut, Husni mendesak pemerintah untuk meningkatkan pengawasan dan penegakkan hukum secara konsisten.

Terpisah, mantan Menteri Ketenagakerjaan (Menaker), Ida Fauziyah, dalam audiensi dengan Perkumpulan Pengusaha Kuliner Indonesia (APKULINDO) menyebut komitmen pemerintah dalam memperhatikan nasib para pekerja di sektor informal. 

Penerapan Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) menjadi salah satu upaya negara dalam memberikan kepastian perlindungan dan meningkatkan kesejahteraan sosial bagi seluruh rakyat. 

“Melalui program ini, kami berharap dapat mencegah pekerja atau buruh dan keluarganya terjerumus menjadi keluarga miskin baru, terutama saat menghadapi kecelakaan kerja, cacat total tetap, pensiun, hingga kematian,” ungkapnya, Jumat (04/08/2024).

Lebih lanjut, Ida menjelaskan bahwa program jaminan sosial tenaga kerja yang diwajibkan bagi pekerja di sektor informal meliputi jaminan kecelakaan kerja dan jaminan kematian. 

Kedua program ini memberikan manfaat signifikan, termasuk biaya perawatan kesehatan akibat kecelakaan kerja, santunan kematian, serta biaya pemakaman bagi keluarga pekerja yang meninggal dunia.

“Saya berharap perlindungan ini dapat meringankan beban keluarga, khususnya dari kalangan pekerja informal,” imbuhnya.

Dengan program jaminan sosial yang menyeluruh, diharapkan kesejahteraan pekerja Indonesia, baik formal maupun informal, semakin terjamin di tengah berbagai tantangan ekonomi.

Editor: Defri Ngo
TAG :
Baca Juga
LIPUTAN KHUSUS