PARBOABOA, Jakarta - Parboaboa baru saja menurunkan laporan khusus bertajuk, Di Balik Dapur Para Pekerja F&B di Jakarta.
Liputan ini merekam cerita pahit para pekerja yang kehilangan sebagian hak-hak mereka di tempat kerja, termasuk para karyawan yang bekerja di Restoran.
Roy, pria usia lanjut yang sudah bekerja selama 25 tahun di salah satu restoran, misalnya, bercerita ihwal tekanan dan beban kerja yang ia rasakan.
Meski sistem kerja shift diberlakukan, Roy mengakui bahwa bekerja lebih dari 10 jam sehari adalah hal yang biasa, terutama ketika restoran sedang ramai.
"Saya pernah masuk jam 10 pagi dan pulang jam 4 subuh," ungkapnya.
Riko, pemuda asal Depok, Jawa Barat yang memulai kariernya di industri makanan dan minuman pada tahun 2021 lalu, punya pengalaman serupa.
Mulanya, Riko sangat menikmati pekerjaan barunya itu. Tapi lama-kelamaan, tekanan dan beban kerja yang tak terhindarkan mulai menghimpit, terutama dengan jam kerja yang tak menentu.
Rutinitasnya setiap hari dimulai dengan membuka restoran pada pukul 10.00 pagi, tetapi waktu pulang sering kali menjadi tanda tanya besar.
Ia baru bisa meninggalkan tempat kerja sekitar pukul 21.00 atau 22.00 malam, bahkan ada hari-hari tertentu yang membuatnya harus bertahan hingga dini hari.
Beberapa kali, Riko bahkan harus tetap berada di restoran hingga pukul 02.00 pagi. Situasi ini biasanya terjadi ketika kolega atau tamu khusus dari pemilik restoran datang untuk berkumpul atau sekadar nongkrong.
Kondisi ini menambah panjang waktu kerjanya yang rata-rata mencapai 11 hingga 12 jam per hari.
Cerita narasumber Parboaboa di atas, hanyalah sebagian kecil dari banyaknya pengabaian terhadap hak-hak mereka sebagai pekerja yang harus dijamin dan dipenuhi.
Salah satunya, terkait upah. Roy, misalnya bercerita, hingga saat ini, dirinya masih menerima upah Rp3,5 juta per bulan, jauh di bawah UPM Jakarta.
Demikian terkait upah lembur. Riko mengalaminya. Harapan untuk mendapatkan kompensasi lembur tampaknya hanya sebatas angan. Yang ia terima hanyalah apresiasi verbal tanpa bentuk penghargaan konkret.
Hak Pekerja Restoran dengan Sistem Shift
Di tengah tingginya beban kerja pekerja restoran dengan sistem shift, memahami hak-hak mereka mutlak untuk diketahui.
Hal ini penting, karena dalam beberapa kasus, ketidaktahuan membuat mereka diperlakukan secara semena-mena oleh atasannya.
Lantas apa saja, hak-hak pekerja restoran dengan sistem Shift?
Sebelum mengetahui hak-hak pekerja restoran dengan sistem shift, perlu diketahui terlebih dahulu bahwa pekerjaan di restoran masuk dalam kategori pekerjaan yang dijalankan secara terus-menerus.
Berdasarkan Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor Kep.233/MEN/2003, beberapa jenis pekerjaan memiliki sifat yang tidak dapat dihentikan, termasuk sektor pariwisata, yang salah satu bagiannya adalah restoran.
Hal ini juga ditegaskan dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2009 tentang Kepariwisataan dan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja.
Sebagai bagian dari sektor yang diatur untuk operasional tanpa henti, restoran kerap beroperasi selama 24 jam.
Pengaturan ini sah dilakukan selama pengusaha tetap memperhatikan hak pekerja dan memastikan sistem kerja yang adil. Biasanya, restoran yang beroperasi sepanjang waktu menggunakan sistem shift, yakni pengaturan kerja bergiliran untuk menjaga pelayanan tetap berjalan.
Shift ini mengacu pada pengaturan kerja pagi, siang, atau malam, sebagaimana didefinisikan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI).
Meski demikian, regulasi tentang jam kerja shift tidak diatur secara spesifik dalam peraturan perundang-undangan seperti UU Ketenagakerjaan atau UU Cipta Kerja.
Idealnya, pemberi kerja mengacu pada ketentuan umum, yaitu maksimal 40 jam kerja per minggu dengan pembagian sistem lima atau enam hari kerja. Apabila pekerja diharuskan bekerja pada hari libur resmi, waktu tersebut harus dihitung sebagai lembur dan diberikan kompensasi sesuai dengan Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun 2021.
Selanjutnya, pekerja restoran memiliki hak yang harus dihormati. Hak atas upah yang layak, termasuk lembur, serta jaminan atas keselamatan dan kesehatan kerja adalah bagian dari perlindungan dasar yang harus diberikan.
Selain itu, pekerja berhak atas cuti, waktu istirahat yang memadai, jaminan sosial seperti BPJS Kesehatan dan BPJS Ketenagakerjaan, hingga hak untuk berserikat demi memperjuangkan kepentingan bersama.
Rival Yunadi, mantan pekerja restoran yang kini menjadi Organiser Nasional Restoran & Fastfood Federasi Serikat Pekerja Mandiri (FSPM), mengakui diabaikannya beberapa hak pekerja disebabkan karena minimnya edukasi.
Kepada Parboaboa ia menerangkan, kurangnya pemahaman regulasi, misalnya, membuat banyak pekerja rentan terhadap eksploitasi.
Rival percaya bahwa solusi jangka panjangnya adalah memasukkan pendidikan hak-hak pekerja ke dalam kurikulum sekolah, terutama di tingkat SMK. Dengan bekal pengetahuan ini, siswa yang langsung terjun ke dunia kerja akan lebih siap melindungi diri dari praktik yang merugikan.
Di sisi lain, kata dia, pengawasan terhadap regulasi pemerintah, termasuk UU Cipta Kerja, masih sangat lemah. Hal ini menyebabkan banyak perusahaan memanfaatkan celah untuk mengakali aturan yang ada.