PARBOABOA, Jakarta - Korupsi telah lama menjadi salah satu masalah krusial yang menghambat kemajuan bangsa dan merusak tatanan pemerintahan yang sehat.
Dampak korupsi sangat luas, tidak hanya merugikan negara secara finansial tetapi juga memperburuk kepercayaan publik terhadap institusi pemerintah, menurunkan kualitas layanan publik, dan memperlambat pembangunan ekonomi.
Ketika korupsi merajalela, alokasi sumber daya yang seharusnya digunakan untuk kesejahteraan masyarakat dan pembangunan justru diselewengkan untuk kepentingan pribadi atau kelompok tertentu.
Korupsi merupakan salah satu bentuk kejahatan luar biasa (extraordinary crime) yang membutuhkan penanganan serius karena memiliki dampak sistemik terhadap seluruh aspek kehidupan.
Negara yang didera korupsi cenderung mengalami ketimpangan sosial yang tinggi, lemahnya penegakan hukum, dan ketidakpastian ekonomi.
Selain itu, praktik lancung ini juga memicu krisis kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah dan lembaga negara, menciptakan persepsi bahwa hukum dapat dibeli dan keadilan hanya berlaku bagi kalangan tertentu.
Di Indonesia, selama 10 tahun Pemerintahan Presiden Jokowi, ada begitu banyak kasus korupsi kelas kakap yang berhasil diungkap oleh aparat penegak hukum.
Kasus-kasus ini menggambarkan dua realitas sekaligus: pertama, bahwa korupsi masih menjadi masalah yang serius di berbagai sektor, dan kedua, pemerintah berhasil mengungkap dan penanganannya, terutama yang melibatkan aktor-aktor besar.
Dari sektor kinerja pemerintah, pemerintahan Presiden Jokowi memang mendapat tingkat kepuasan yang cukup tinggi, salah satunya tergambar dari hasil survei nasional Indikator politik Indonesia (IPI).
Peneliti utama IPI, Burhanuddin Muhtadi mengatakan survei ini dilakukan pada 22-29 September 2024 dengan melibatkan 3.540 responden dari seluruh Indonesia.
"Sebanyak 15,04 persen mengatakan sangat puas dan 58,92 persen responden sekitar 3.500 lebih mengatakan cukup puas," Burhanuddin belum lama ini.
Survei tersebut juga mengukur persepsi masyarakat tentang keamanan dan penegakan hukum. Sebanyak 1,4 persen menilai penegakan hukum sangat baik, 24,6 persen menyebutnya baik, dan 31,7 persen merasa kondisinya sedang.
Meski ada kemajuan, hasil ini menunjukkan masyarakat masih mengharapkan peningkatan, terutama di bidang hukum dan keamanan termasuk menindak tegas kasus-kasus korupsi.
Korupsi Kelas Kakap yang Berhasil Dibongkar
Berikut beberapa kasus korupsi besar yang melibatkan pejabat negara dan berhasil diungkap serta ditangani oleh lembaga penegak hukum selama masa pemerintahan Presiden Jokowi.
- Korupsi Jiwasraya
Salah satu kasus korupsi besar yang menyita perhatian publik adalah korupsi di PT Asuransi Jiwasraya, yang ditangani oleh Kejaksaan Agung. Kasus ini, yang merugikan negara hingga Rp16,81 triliun, mencuat pada November 2019.
Saat itu, Kementerian BUMN di bawah pimpinan Erick Thohir melaporkan indikasi kecurangan di Jiwasraya ke Kejaksaan Agung, setelah menemukan laporan keuangan perusahaan yang tidak transparan. Kementerian juga menemukan bahwa Jiwasraya menanam investasi pada saham-saham gorengan, yang menyebabkan gagal bayar klaim nasabah.
Menindaklanjuti temuan tersebut, Jaksa Agung ST Burhanuddin memimpin penyelidikan dan menetapkan sejumlah orang sebagai tersangka. Saat ini, para tersangka telah menjalani hukuman atas keterlibatannya.
Burhanuddin menegaskan bahwa penyidikan dilakukan dengan strategi khusus dan menggunakan pasal hukum yang tepat untuk memastikan para pelaku dapat dijerat dengan maksimal.
Sebagai kejahatan luar biasa, korupsi "harus diungkap dengan strategi khusus dan penjeratan pasal yang tepat," jelasnya pada September lalu.
Dalam kasus ini, Heru Hidayat, mantan Presiden Komisaris PT Trada Alam Minera (TRAM), dan Benny Tjokrosaputro, mantan petinggi PT Hanson International, divonis penjara seumur hidup.
Sementara itu, Hendrisman Rahim, mantan Direktur Utama Jiwasraya, juga mendapat hukuman seumur hidup, meski kemudian dipangkas menjadi 20 tahun penjara di tingkat banding.
Hary Prasetyo, mantan Direktur Keuangan Jiwasraya, awalnya dihukum seumur hidup, namun banding mengurangi hukumannya menjadi 20 tahun. Mantan Kepala Divisi Investasi dan Keuangan, Syahmirwan, juga mendapat vonis serupa, dikurangi menjadi 18 tahun di tingkat banding.
Sementara itu, Direktur PT Maxima Integra, Joko Hartono Tirto, awalnya dihukum seumur hidup, namun vonisnya diringankan menjadi 18 tahun penjara. Namun, Mahkamah Agung kemudian memperberat hukumannya menjadi 20 tahun penjara.
- Korupsi Asabri
Kasus lain adalah korupsi di PT Asuransi Angkatan Bersenjata Indonesia (Asabri) yang merugikan negara hingga Rp22,7 triliun.
Skema korupsi ini melibatkan penyalahgunaan dana Tabungan Hari Tua (THT) dan Akumulasi Iuran Pensiun (AIP) milik anggota TNI, Polri, dan ASN Kementerian Pertahanan, yang diinvestasikan dalam saham dan reksadana. Alih-alih menghasilkan keuntungan, investasi tersebut malah merugi dan menimbulkan kerugian besar.
Presiden Jokowi sempat menyoroti kasus ini dalam Pertemuan Tahunan Industri Jasa Keuangan (PTIJ) bersama OJK, Februari 2023. Ia meminta OJK memperketat pengawasan agar kasus serupa tidak terulang.
"Jangan sampai muncul lagi, semuanya harus dipantau secara detail," kata Jokowi kala itu.
Kejaksaan Agung menangani kasus ini dan membawa para tersangka ke pengadilan. Benny Tjokrosaputro, mantan Direktur Utama PT Hanson International, dijatuhi vonis nihil, karena sebelumnya telah mendapat hukuman seumur hidup dalam kasus Jiwasraya, meski tetap diwajibkan membayar uang pengganti senilai Rp5,7 triliun.
Beberapa tokoh lain yang terlibat juga telah menerima hukuman berat. Mantan Direktur Utama Asabri, Letjen Purn Sonny Widjaja, awalnya divonis 20 tahun penjara, namun diringankan menjadi 18 tahun di tingkat banding, dengan denda Rp750 juta.
Mayjen Purn Adam Rachmat Damiri, yang menjabat Dirut Asabri sebelum Sonny, juga dijatuhi hukuman 15 tahun penjara setelah banding, lebih ringan dari hukuman awal 20 tahun.
Selain itu, Hari Setianto, Direktur Investasi dan Keuangan Asabri, yang semula dihukum 15 tahun penjara, mendapat pengurangan menjadi 12 tahun setelah banding. Mantan Dirut PT Eureka Prima Jakarta Tbk, Lukman Purnomosidi, divonis 13 tahun penjara.
Jimmy Sutopo, Direktur PT Jakarta Emiten Investor Relation, dijatuhi hukuman 15 tahun di tingkat banding.
Sementara itu, Heru Hidayat, mantan Presiden Komisaris PT Trada Alam Minera, menerima vonis nihil karena sudah dijatuhi hukuman seumur hidup dalam kasus Jiwasraya. Terakhir, Bachtiar Effendi, Direktur Investasi dan Keuangan Asabri, divonis 15 tahun penjara atas keterlibatannya.
- Korupsi Izin Ekspor Sawit Mentah
Kejaksaan Agung juga menangani dugaan korupsi terkait pemberian fasilitas ekspor minyak sawit mentah (CPO) dan produk turunannya selama periode 2021-2022, yang menyebabkan kerugian negara mencapai Rp6,47 triliun.
Kasus ini bermula ketika krisis minyak goreng dan lonjakan harga terjadi di awal 2022, memicu keresahan masyarakat.
Saat itu, Direktorat Penyidikan Jaksa Agung Muda Bidang Tindak Pidana Khusus (Jampidsus) menemukan indikasi korupsi yang melibatkan sejumlah pejabat dan pengusaha, yang berkontribusi pada besarnya kerugian negara.
Proses hukum kemudian berlanjut di pengadilan, di mana beberapa terdakwa dijatuhi hukuman penjara. Salah satunya adalah Indrasari Wisnu Wardhana, mantan Direktur Jenderal Perdagangan Luar Negeri Kementerian Perdagangan, yang divonis 3 tahun penjara dengan denda Rp100 juta.
Stanley MA, Senior Manager Corporate Affairs Permata Hijau Group, awalnya divonis 1 tahun penjara, namun hukumannya diperberat menjadi 5 tahun di tingkat kasasi. Master Parulian Tumanggor, Komisaris PT Wilmar Nabati Indonesia, mendapat hukuman 1,5 tahun penjara dengan denda Rp100 juta.
Togar Sitanggang, General Affairs PT Musi Mass Picare, dan Lin Che Wei, anggota Tim Asistensi Menteri Koordinator Perekonomian, juga divonis 1 tahun penjara dengan tambahan denda Rp100 juta subsider 2 bulan kurungan.
- Korupsi Timah
Kasus korupsi timah melibatkan berbagai kalangan, mulai dari pejabat negara, pelaku bisnis, hingga figur publik seperti suami artis dan pengusaha 'crazy rich'.
Dugaan korupsi ini terkait tata niaga komoditas timah dalam wilayah Izin Usaha Pertambangan (IUP) PT Timah Tbk selama periode 2015-2022.
Kasus ini juga tidak hanya merugikan keuangan negara hingga Rp300 triliun, tetapi juga mengakibatkan kerusakan lingkungan. Temuan tersebut diperoleh dari audit Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP).
Dalam proses penegakan hukum, Kejaksaan telah menetapkan sejumlah tersangka. Namun, dari sekian tersangka, baru satu yang divonis, yaitu Toni Tamsil alias Akhi, yang dijatuhi hukuman 3 tahun penjara oleh Pengadilan Negeri Pangkalpinang pada 30 Agustus.
Sementara itu, sejumlah tersangka lain masih menjalani proses penyidikan dan persidangan. Mereka termasuk Suwito Gunawan, Komisaris PT SIP di Pangkalpinang; MB Gunawan, Direktur PT SIP; dan Hasan Tjhie, Direktur Utama CV VIP, bersama Kwang Yung alias Buyung dan Achmad Albani yang terlibat sebagai manajer operasional.
Nama-nama lainnya dalam kasus ini meliputi Robert Indarto, Direktur Utama PT SBS; Rosalina, General Manager PT TIN; serta Suparta dan Reza Andriansyah dari PT RBT. Beberapa mantan pejabat PT Timah seperti Mochtar Riza Pahlevi Tabrani dan Emil Ermindra juga terjerat, bersama mantan Direktur Alwin Akbar.
Selain itu, figur terkenal seperti Helena Lim dan Harvey Moeis juga masuk dalam daftar tersangka, bersama Hendry Lie dan adiknya Fandy Lie. Pejabat pemerintah seperti Suranto Wibowo dan Amir Syahbana dari Dinas ESDM Bangka Belitung serta Bambang Gatot Ariyono, mantan Dirjen Minerba, turut diseret dalam kasus ini.
- Kasus Teddy Minahasa
Kasus peredaran narkoba yang melibatkan mantan Kapolda Sumatera Barat, Irjen Teddy Minahasa, menjadi ujian besar bagi Polri dalam menangani perkara internal.
Kasus ini terungkap saat Polda Metro Jaya menyelidiki jaringan narkoba dan menetapkan tiga orang sipil sebagai tersangka. Dari pengembangan penyidikan, muncul dugaan keterlibatan Teddy dalam skandal tersebut.
Saat masih menjabat sebagai Kapolda Sumbar, Teddy diduga menggelapkan barang bukti berupa sabu dan menjualnya. Ia disebut menginstruksikan AKBP Dody Prawiranegara untuk menukar 5 kilogram sabu dengan tawas agar tidak terdeteksi.
Setelah melalui serangkaian pemeriksaan, pada September 2022, Teddy resmi ditetapkan sebagai tersangka karena terbukti berperan dalam penggelapan barang bukti tersebut. Pengadilan kemudian menjatuhkan vonis penjara seumur hidup kepada Teddy.
Tidak terima dengan hukuman itu, Teddy mengajukan banding hingga tingkat kasasi di Mahkamah Agung (MA). Namun, MA menolak permohonannya dan tetap menjatuhkan hukuman penjara seumur hidup.