PARBOABOA, Jakarta - Femisida atau pembunuhan terhadap perempuan menjadi isu serius yang perlu mendapat perhatian di Indonesia.
Pasalnya, dalam beberapa tahun terakhir terjadi peningkatan kasus pembunuhan yang dilakukan terhadap perempuan.
Belum lama ini, jagad media dikagetkan dengan pembunuhan seorang wanita berinisial RM (49) oleh Ahmad Arif RIdwan Nuwloh (29) di Cikarang, Kabupaten Bekasi.
Korban ditemukan meninggal mengenaskan di dalam sebuah koper di Jalan Inspeksi Kalimalang, Sukadanau, Cikarang Barat pada Kamis (25/04/2024).
Beberapa kasus lain seperti 'mutilasi perempuan' di Ciamis dan pembunuhan yang terjadi akibat 'mengigau' di Minahasa Selatan menjadi contoh femisida yang memprihatinkan.
Femisida adalah tindakan pembunuhan terhadap perempuan yang dilatarbelakangi jenis kelamin atau gender, dan dinilai sebagai puncak dari kekerasan berbasis gender yang lebih luas.
Beberapa penelitian menunjukkan bahwa femisida sering kali dipicu oleh faktor-faktor seperti kekerasan domestik, budaya patriarki, hingga ketidakmampuan sistem hukum melindungi perempuan dari ancaman.
Meski kasus ini tidak selalu berdampak luas, dampaknya sangat merusak tatanan sosial, terutama dalam menciptakan ketakutan dan rasa tidak aman bagi perempuan.
Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) mendorong semua pihak untuk menyebut kasus pembunuhan terhadap perempuan dengan istilah femisida.
Mereka juga membantu pembentukan mekanisme pengawasan femisida oleh pemerintah untuk mengenali, mencegah, serta menangani masalah tersebut, termasuk memberikan dukungan kepada keluarga korban.
Anggota Komisioner Komnas Perempuan, Retty Ratnawati, mengungkapkan bahwa pihaknya telah melakukan pemantauan terhadap pemberitaan di media online untuk mengatasi kekurangan data nasional tentang femisida.
Hasil pantauan tersebut disajikan dalam Laporan Catatan Tahunan (CATAHU) dan Laporan Femisida yang dirilis setiap 25 November.
Tujuannya adalah meningkatkan pemahaman tentang femisida dan mendorong para pemangku kepentingan untuk mengambil langkah-langkah yang diperlukan untuk mendokumentasikan, mencegah, serta mendukung pemulihan keluarga korban.
“Namun, pemantauan ini memiliki batasan, karena femisida sering kali tidak teridentifikasi dengan tepat melalui kata kunci, perbedaan waktu antara pemberitaan dan kejadian, serta tidak mendapatkan gambaran lengkap dari kasus,” ungkapnya dalam rilis pers Komnas Perempuan, Selasa (07/09/2024 ) lalu.
Oleh karena itu, ia berharap agar pemerintah dapat bekerja sama untuk mengumpulkan daftar kasus yang terjadi guna membentuk pengawasan.
“Penting bagi pemerintah untuk segera mengumpulkan, menganalisis, dan mempublikasikan data statistik tentang femisida sesuai Rekomendasi Umum Komite CEDAW No. 35 tahun 2017, termasuk dengan membentuk mekanisme pengawasan femisida,” jelas Retty.
Data menunjukkan bahwa indikasi femisida meningkat dari 95 kasus pada 2020, menjadi 237 pada 2021, 307 pada 2022, dan 159 pada 2023.
Femisida intim dalam praktik pembunuhan oleh pasangan, mantan pasangan, atau orang terdekat merupakan jenis femisida yang paling sering terjadi.
Komisioner Komnas Perempuan, Rainy Hutabarat menambahkan bahwa selain femisida intim, kelompok rentan lainnya seperti perempuan disabilitas, pekerja seks, transpuan, dan perempuan dengan orientasi seksual minoritas juga berisiko menjadi korban.
Femisida intim ditandai dengan peningkatan intensitas kekerasan fisik dan psikis, termasuk ancaman pembunuhan, penelantaran ekonomi, dan kurangnya dukungan lingkungan bagi korban.
“Perbedaan utama antara femisida dan pembunuhan biasa terletak pada motivasi gender yang mendasarinya," jelas Rainy.
Baginya, sebagian besar femisida memiliki lebih dari satu motif, seperti kecemburuan, krisis maskulinitas, penolakan untuk bertanggung jawab, dan kekerasan seksual.
"Motif-motif ini menunjukkan adanya dominasi dan hegemoni dari laki-laki serta ketidaksetaraan dalam hubungan kekuasaan antar gender," tambahnya.
Mengingat tingginya angka femisida intim, Komisioner Siti Aminah Tardi mengingatkan bahwa hubungan perkawinan dan pacaran sering kali menjadi zona berbahaya bagi perempuan.
Negara diharapkan segera membangun mekanisme pencegahan agar kekerasan dalam relasi pribadi tidak berujung pada kematian.
Secara hukum, penanganan femisida harus merujuk pada ketentuan penghilangan nyawa, sehingga pihak kepolisian, kejaksaan, dan pengadilan dapat melakukan pendataan yang terperinci berdasarkan jenis kelamin dan motif.
Indonesia sendiri sudah memiliki sejumlah undang-undang yang melindungi perempuan dari kekerasan, seperti UU Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga (PKDRT), namun penerapannya seringkali belum maksimal.
Pengawasan yang ketat dalam menindak pelaku kekerasan perlu dilakukan agar kasus tidak berkembang menjadi feminisida.
"Sangat penting untuk meningkatkan kapasitas aparat penegak hukum dan petugas layanan korban dalam mengenali femisida serta menilai tingkat risiko kekerasan terhadap perempuan," jelas Siti.
Identifikasi korban, lanjutnya, harus melibatkan analisis terkait relasi kekuasaan, riwayat KDRT, ancaman, dan upaya manipulasi dari pelaku.
"Oleh karena itu, dalam penerapan hukum yang berlaku, sanksi bagi pelaku femisida dapat ditingkatkan," tambahnya.
Selain itu, pendidikan tentang kesetaraan gender juga harus ditanamkan sejak dini.
Masyarakat yang memahami pentingnya menghargai perempuan dan mencegah kekerasan berbasis gender memiliki peran besar dalam mengurangi potensi feminisida.
Tidak hanya itu, dukungan bagi perempuan korban kekerasan seperti rumah aman dan akses terhadap konseling harus ditingkatkan agar korban bisa mendapatkan bantuan lebih cepat.
Terlepas dari hal-hal tersebut, partisipasi masyarakat dalam melaporkan kekerasan juga menjadi kunci dalam pencegahan feminisida.
Seringkali, kasus kekerasan tidak terungkap karena lingkungan sekitar memilih untuk diam. Padahal, dukungan masyarakat dan pelaporan dini bisa menyelamatkan nyawa banyak perempuan.
Kesadaran akan bahaya feminisida dan model pencegahan yang benar harus terus digaungkan agar perempuan di Indonesia bisa hidup dengan aman dan mengakui.