PARBOABOA, Jakarta – Rasisme terhadap orang asli Papua (OAP) semakin sering terjadi di Indonesia beberapa tahun terakhir.
Berdasarkan survei Komnas HAM bersama Litbang Kompas pada 2022 lalu, sekitar 27,8% responden melaporkan pernah mengalami, mendengar, atau menyaksikan diskriminasi.
Jika dikalkulasikan dengan jumlah penduduk Indonesia sebanyak 275,5 juta pada 2022, maka setidaknya terdapat 76.589.000 orang yang pernah mengalami diskriminasi.
Dari jumlah tersebut, OAP tergolong sebagai komunitas yang paling rentan mengalami diskriminasi, diikuti masyarakat Indonesia Timur lainnya.
Diskriminasi sendiri adalah tindakan yang secara sengaja membedakan perlakuan terhadap kelompok tertentu yang memiliki kepentingan khusus.
Lebih lanjut, laporan Human Right Watch (HRW) menyebut, berbagai pelanggaran HAM masih dialami OAP pasca serangan terhadap asrama mahasiswa Papua pada 2019 lalu.
Laporan tersebut mencatat bahwa antara Juni 2023 hingga Mei 2024, HRW melakukan 49 wawancara mendalam dengan aktivis Papua yang ditangkap dan dituntut setelah gerakan “Papuan Lives Matter”.
Dalam gerakan tersebut, pihak aparat berhasil menahan sedikitnya 400 orang terkait demonstrasi yang berujung kerusuhan di Kota Jayapura, Papua, pada akhir Agustus 2019.
"Selama beberapa dekade, rasisme dan diskriminasi terhadap OAP akhirnya mendapat perhatian pemerintah setelah protes besar-besaran pada tahun 2019," kata peneliti senior HRW, Andreas Harsono.
Ia menegaskan pentingnya langkah konkret dari pemerintah dalam menindaklanjuti berbagai rekomendasi yang dikeluarkan PBB guna menghentikan pelanggaran HAM di Papua Barat.
"Juga mengizinkan pemantau internasional serta wartawan asing untuk mengunjungi wilayah tersebut [wilayah terdampak konflik],” lanjut Harsono.
Seorang mahasiswa Universitas Cendrawasih bernama Alfa Hisage (29) memberikan kesaksian nyata mengenai perlakuan aparat yang sangat diskriminatif.
“Mereka tekan kepala saya ke meja dengan kasar. Mereka menarik rambut saya sampai berdarah. Dari 16 rambut gimbal saya hanya ada satu yang tersisa di kepala,” ujar Alfa seperti ditulis HRW.
Selain kekerasan fisik dan pelanggaran hak dasar masyarakat, laporan tersebut juga menyoroti diskriminasi dalam akses layanan kesehatan dan pendidikan.
Dokter Maria Louisa Rumateray dari Rumah Sakit Umum Wamena mengungkapkan sulitnya tenaga medis lokal Papua untuk bekerja. Alasannya karena mereka tersandung administrasi yang ketat.
“Tenaga medis lokal yang telah menempuh pendidikan mengalami kesulitan bekerja di Wamena karena mereka harus mengambil sertifikasi standar baik di Jayapura atau Makassar,” ungkap Maria.
Diskriminasi juga terlihat dalam konteks penempatan kerja di pemerintahan, di mana pendatang lebih diutamakan dibandingkan orang asli Papua.
Sejumlah pengamat menilai, diskriminasi terhadap OAP akan sulit terselesaikan karena dikotomi yang kuat antara ideologi Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dan Separatis.
OAP tak jarang kerap dituduh sebagai komunitas masyarakat yang separatis dan berkeinginan untuk memisahkan diri dari NKRI. Tuduhan ini tak beralasan.
Sebab, dalam banyak kasus, mereka justru menjadi korban dari kebijakan pemerintah yang cenderung sentralistis atau mengutamakan perhatian ke wilayah tengah Indonesia.
Desakan HRW
Peneliti Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Cahyo Pamungkas menerangkan bahwa tindakan diskriminasi terhadap OAP tidak terlepas dari berbagai kebijakan pemerintahan Jokowi terhadap Papua.
Penyebabnya, lanjut Pamungkas, Presiden Jokowi lebih cenderung menggunakan pendekatan keamanan dalam menangani isu di Papua.
Kebijakan ini, alih-alih bermaksud menciptakan ketertiban, justru dinilai membatasi kebebasan berekspresi dan menekan ruang gerak masyarakat Papua.
Selain itu, eksploitasi sumber daya alam di wilayah tersebut tercatat semakin intensif, sehingga memperburuk situasi sosial dan ekonomi di Papua.
Pamungkas menilai bahwa kebijakan-kebijakan Presiden Jokowi justru memperkuat marginalisasi terhadap masyarakat Papua, khususnya diskriminasi dan rasisme terhadap mereka.
"Rasisme semakin meningkat, karena pemerintah lebih sering mengambil tindakan represif ketimbang mengedepankan dialog sebagai solusi konflik," jelasnya.
Berhadapan dengan kenyataan tersebut, HRW mendesak pemerintah Indonesia untuk segera meninjau kebijakan yang berlaku di Papua, terkhusus di wilayah Papua Barat.
Mereka juga mendesak pemerintah untuk mengakui dan mengakhiri sejarah rasisme sistematis terhadap OAP, serta meminta pertanggungjawaban mereka yang terlibat sebagai pelanggar HAM.
“Pihak berwenang perlu merespons tuntutan para aktivis Papua dan mengatasi rasisme sistematis terhadap orang asli Papua,” pungkas Andreas Harsono.
Dengan transisi pemerintahan yang akan dipimpin oleh Prabowo Subianto pada Oktober 2024 mendatang, HRW berharap reformasi HAM di Papua dapat segera terealisasi.
“Pemerintah Indonesia seharusnya mengakui bahwa hukum hak asasi manusia internasional berlaku di Papua Barat dan memenuhi kewajibannya terhadap masyarakat di sana,” tutup Harsono.