Cringe: Rasa Malu yang tidak Langsung

Cringe Mengandung Unsur Rasa Malu yang Bersumber dari Orang Lain, (Foto: Situs Huffpost)

PARBOABOA, Jakartan- Kata cringe belakangan ini sangat populer di kalangan milenial, baik di media sosial maupun dalam kehidupan sehari-hari.

Popularitas arti cringe meningkat karena banyak milenial mencampuradukkan kata tersebut dalam percakapan bahasa Indonesia sehari-hari.

Namun, masih ada yang belum mengetahui arti cringe.

Profesor filsafat Hans-Georg Moeller dalam video terbaru di saluran YouTube-nya menjelaskan bahwa penggunaan kata cringe semakin meningkat sebagai cara untuk menggambarkan bentuk baru dari rasa malu.

Cringe mengandung unsur rasa malu, namun berbeda karena merupakan rasa malu yang "tidak langsung".

Perasaan ini timbul saat Anda melihat seseorang secara tidak sengaja mempermalukan diri mereka melalui tindakan yang mereka lakukan.

Ini adalah jenis rasa malu yang dirasakan karena tindakan orang lain, bukan karena tindakan diri sendiri.

Arti cringe memiliki beberapa makna yang dapat dipahami sesuai dengan konteks yang sedang dibicarakan.

Untuk menghindari kesalahan dalam mengartikan dan menggunakannya, penting untuk mengetahui arti cringe terlebih dahulu.

Menurut laman Britannica, istilah cringe memiliki berbagai makna tergantung pada konteks pembicaraannya.

Cringe dapat berarti menjijikkan, mengerikan, atau merinding.

Sedangkan menurut laman Cambridge Dictionary, arti cringe adalah sebuah ungkapan yang digunakan untuk menggambarkan perasaan tidak nyaman atau malu yang muncul ketika melihat atau mendengar sesuatu yang memalukan, menjijikkan, atau tidak enak.

Selain itu, kata cringe juga sering dipakai untuk menggambarkan rasa geli atau takut.

Secara umum, kata cringe memiliki tiga makna: meringis atau bergidik, perasaan malu atau menjijikkan, dan menekuk wajah karena jijik, geli, kaget, atau takut.

Kata ini sering diasosiasikan dengan ekspresi meringis yang muncul saat melihat sesuatu yang canggung atau tidak menyenangkan.

Istilah ini sebenarnya adalah singkatan dari "cringeworthy," yang juga merujuk pada sesuatu yang sangat canggung atau tidak menyenangkan.

Moeller membandingkan istilah ini dengan istilah Jerman fremdschämen, yang berarti rasa malu terhadap perilaku teman.

Menurut Psychology Today, bentuk rasa malu ini unik karena ada kepuasan yang didapat dari melihat perilaku cringe orang lain, membuat orang yang melihat merasa superior.

Namun, ada juga ketidaknyamanan tersembunyi karena menyadari bahwa kita sendiri pun rentan terhadap hal itu di era digital.

Semakin banyak kita menghabiskan waktu di dunia online dan memposting tentang diri sendiri, semakin besar kemungkinan kita secara tidak sengaja mengunggah konten yang memalukan.

Menurut Moeller, ada risiko merusak "profil diri" yang kita gunakan untuk mengukur dan mengevaluasi konsep diri dan harga diri kita.

Rasa cringe memiliki efek psikologis bawah sadar yang berfungsi sebagai bentuk pendisiplinan, mempengaruhi apa dan bagaimana kita mengunggah konten di internet.

Sikap memalukan di internet menunjukkan apa yang tidak boleh dilakukan, sehingga membentuk parameter tentang apa yang sebaiknya diunggah.

Kesulitannya adalah Anda mungkin tidak tahu apa yang akan memalukan sampai melihat respons di internet.

Di masa lalu, terdapat pemahaman yang lebih jelas tentang apa yang dianggap memalukan di depan umum, seperti bersikap kasar atau sombong.

Namun, di era internet, bahkan tindakan yang dilakukan dengan niat baik bisa menjadi memalukan dan merusak reputasi.

Hal yang tidak memalukan hari ini mungkin akan memalukan besok.

Salah satu dampak potensial dari kekhawatiran akan rasa cringe di dunia maya adalah meningkatnya kecemasan seputar posting dan presentasi diri secara online.

Bagi mereka yang khawatir tentang potensi risiko menimbulkan rasa ngeri, mereka mungkin lebih banyak melakukan kurasi dalam pilihan mereka atau mengikuti posting yang lebih konvensional dan "aman".

Moeller berpendapat bahwa profil dan unggahan daring kita bisa dianggap sebagai "perjudian" atau taruhan dalam pasar pameran sosial.

Keduanya pada dasarnya berisiko, seperti pasar saham, dan dapat berubah serta berfluktuasi berdasarkan tren sosial yang muncul dan tidak diketahui.

Editor: Norben Syukur
TAG :
Baca Juga
LIPUTAN KHUSUS