Jelang Akhir Masa Jabatan, Formappi Keluhkan Kinerja DPR Cenderung Offside

Para peneliti Formappi saat melangsungkan evaluasi kinerja DPR (Foto: PARBOABOA/ Defri)

PARBOABOA, Jakarta - Masa kerja Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI periode 2019-2024 akan berakhir pada 1 Oktober mendatang.

Sebagai lembaga legislatif, DPR telah melewati beberapa masa persidangan untuk memenuhi fungsi legislasi (pembentukan UU), anggaran (penetapan APBN), dan pengawasan (monitoring). 

Dilansir dari laman DPR RI, masa persidangan umumnya dibagi menjadi Masa Sidang (MS) dan Masa Reses (MR). Adapun MS adalah periode dimana DPR bekerja di dalam kantor.

Sedangkan, MR merupakan kesempatan bagi para Anggota Dewan untuk bekerja di luar kantor guna mengunjungi konstituen di daerah masing-masing.

DPR sendiri telah menyelesaikan MS IV pada 4 April 2024 lalu. Berakhirnya MS IV menandakan dimulainya MS V Tahun Sidang 2023-2024. 

Meskipun MS IV telah berakhir, ada banyak catatan terkait kinerja lembaga legislatif tersebut. Sejumlah temuan bahkan menilai DPR tidak menunjukkan perkembangan positif sebagai lembaga penyalur aspirasi masyarakat. 

Peneliti Bidang Legislasi Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi), Lucius Karus dalam kegiatan evaluasi kinerja DPR, Senin (13/05/2024) menilai kerja DPR cenderung offside.

"Misalnya dalam menjalankan fungsi anggaran, kinerja DPR sering offside," ungkapnya tegas.

Menurut Lucius, penggunaan anggaran selama MS IV diduga banyak bertentangan dengan UU, tidak efisien dan efektif, serta akuntabel.

Baginya, salah satu penyebab kemunduran kerja DPR disebabkan karena lembaga tersebut masih terkooptasi oleh kepentingan petinggi partai. 

Selama kepentingan partai masih mendominasi, sambung Lucius, DPR tidak dapat bekerja secara maksimal. Kerja mereka lebih banyak dikomando atau diarahkan dari atas.  

"Karena itu, kami dari Formappi menemukan bahwa di akhir periode jabatan ini, kinerja kerja DPR sesungguhnya masih seperti di awal periode," lanjutnya. 

Maksud Lucius, tidak ada yang berubah atau mengalami perkembangan ke arah yang lebih baik dari kinerja DPR pada MS IV. Semuanya terasa seperti 'tetap di tempat'.

Dalam keterangan terpisah, Wakil Ketua DPR, Rahmad Gobel saat Rapat Paripurna di Kompleks Parlemen, Senin (13/05/2024) menyebut bakal memutuskan nasib 43 Rancangan Revisi UU (RUU) yang belum tuntas.

Ia menjelaskan, nasib 43 RUU tersebut masih berada pada tahap pembicaraan tingkat I. Sementara di lain pihak, masa sidang hanya tersisa dua kali lagi.

Meskipun demikian, Gobel optimis bahwa RUU tersebut dapat disahkan secepat mungkin karena "DPR sudah berkomitmen dengan pemerintah untuk memutuskan pembahasan RUU." 

Empat Keluhan Formappi

Menanggapi kinerja DPR pada MS IV, Formappi mengeluhkan empat hal pokok terkait fungsi DPR yang dinilai 'cacat' dan tidak maksimal.

Keluhan tersebut disampaikan para peneliti Formappi dalam kegiatan bertajuk Evaluasi Kinerja (Evakin) DPR di Jakarta, Senin (13/05/2024). 

Peneliti Bidang Anggaran Formappi, Y. Taryono membacakan hasil temuan yang digarap bersama para peneliti selama beberapa bulan terakhir.

Temuan pertama adalah soal kinerja di bidang legislasi. Menurut Formappi, rencana kerja legislasi selama MS IV tak mengalami perubahan dengan MS III. 

Pembahasan 19 RUU, misalnya masih berada pada tahap Pembicaraan Tingkat I. Itu artinya selama MS IV, DPR dinilai tak membuat kemajuan apapun dalam pelaksanaan fungsi legislasi.

"Jangan-jangan, pencantuman 19 RUU sebagai rencana kerja legislasi MS IV bahkan tak disadari oleh penulis dan pembaca pidato (ketua DPR)," ungkap Taryono membacakan temuan Formappi.

Pihaknya menilai persoalan tersebut diperparah dengan metode kerja DPR yang tak melibatkan partisipasi publik dalam proses pembahasan RUU.

"DPR terkesan memanfaatkan situasi di tengah konsentrasi publik yang membicarakan hasil Pemilu," ujarnya.

Selanjutnya, temuan kedua adalah soal pelaksanaan fungsi anggaran. Riset Formappi menemukan adanya inkonsistensi dan ketidaktaatan beberapa Komisi DPR dalam melaksanakan fungsi anggaran.

Riset tersebut, misalnya memperlihatkan bahwa selama beberapa MS, Komisi I, III, IX, dan XI DPR sama sekali tidak melakukan evaluasi terhadap APBN TA. 2023. 

Bahkan, lanjut Formappi, badan anggaran (banggar) sebagai organ penting DPR juga tidak melakukan evaluasi, tetapi justru mengadakan rapat dengar pendapat umum (RDPU).

Bagi mereka, "seharusnya komisi-komisi lebih fokus pada penggunaan APBN TA 2023 secara efektif, efisien, akuntabel, dan tepat sasaran, serta taat pada peraturan perundangan." 

Sementara itu, temuan ketiga mengungkap soal kerja DPR di bidang pengawasan. Formappi melihat bahwa selama satu periode kerja yang lalu, terdapat ketidaksesuaian antara rencana kegiatan dengan realisasi di lapangan.

Mereka mengangkat contoh soal penggunaan hak angket DPR dalam menyelesaikan prahara Pemilu yang justru tidak menemui titik terang.

"Sekalipun begitu, sampai dengan akhir masa sidang IV TS 2023-2024, penggunaan hak angket ini menguap di tengah jalan alias tidak terlaksana," ungkap Taryono.

Selain masalah Pemilu, Formappi juga menemukan masalah lain terkait mahalnya harga bahan kebutuhan pokok masyarakat, seperti beras, telur, minyak goreng, dan gula.

Terkait masalah ini, DPR dinilai tidak mampu menekan pemerintah untuk menurunkan harga sejumlah kebutuhan pokok tersebut.

Temuan terakhir adalah soal kinerja di bidang kelembagaan. Formappi menilai bahwa DPR selaku lembaga legislatif tampak belum menghasilkan produk UU yang signifikan.

Kenyataan ini dikarenakan DPR lebih mementingkan keinginan partai politik yang mengutusnya dibanding kebutuhan hidup masyarakat luas.    

"Hal tersebut tampak jelas dalam MS IV TS 2023-2024, baik dalam menjalankan fungsi legislasi, anggaran, maupun pengawasan," tegas Taryono.  

Jalan Keluar 

Berkaitan dengan empat keluhan di atas, Formappi mengharapkan keseriusan DPR dalam menjalankan 3 fungsi utamanya, yaitu terkait legislasi, anggaran, dan pengontrolan.

Ketiga fungsi tersebut sesungguhnya menjadi harapan umum masyarakat agar setiap kebijakan yang dihasilkan mampu memberi jalan keluar terhadap ragam persoalan.

"Kami harapkan agar DPR lebih mengutamakan RUU yang benar-benar prioritas dan mendesak terkait kebutuhan hukum di Indonesia," ungkap Taryono.

Pengarusutamaan isu-isu prioritas dalam RUU, dengan kata lain menjadi cara untuk menghentikan kebiasaan DPR yang  bombastis dalam membuat rencana dan mengutak-atik daftar prioritas.

Selain itu, pengelolaan anggaran yang tepat sasar dan pelaksanaan fungsi pengawasan menjadi poin yang perlu dipertimbangkan oleh DPR.

"Kalau DPR sungguh-sungguh menjalankan tiga fungsi tersebut, maka tentu bangsa kita akan berkembang ke arah yang lebih maju," tutup Taryono. 

Editor: Defri Ngo
TAG :
Baca Juga
LIPUTAN KHUSUS