PARBOABOA, Jakarta - Generasi Z atau Gen Z di Indonesia, yang lahir antara tahun 1997 dan 2012, tampaknya kurang peduli terhadap isu lingkungan hidup.
Hal ini terungkap dalam penelitian Ina Ratriyana (2021) yang melibatkan beberapa kelompok mahasiswa di berbagai daerah.
Penelitian tersebut menunjukkan bahwa tingkat antusiasme generasi muda ini terhadap isu lingkungan tergolong rendah.
Ada dua faktor utama yang mempengaruhi rendahnya perhatian mereka terhadap isu strategis ini.
Pertama, tekanan untuk sukses. Banyak dari mereka terjebak dalam ambisi pribadi, mulai dari tugas kuliah, memulai bisnis, hingga aktif dalam berbagai organisasi kampus.
Kesibukan ini membuat mereka merasa tidak punya waktu untuk memikirkan atau melakukan hal lain yang tidak terkait langsung dengan pencapaian pribadi mereka.
Isu lingkungan sering kali dilihat sebagai sesuatu yang tidak memberikan manfaat langsung dan dianggap sebagai beban tambahan dalam kehidupan sehari-hari.
Faktor kedua adalah pengaruh lingkungan sosial. Mereka yang tumbuh dalam keluarga yang peduli lingkungan cenderung melakukan kebiasaan positif seperti membuang sampah pada tempatnya atau menggunakan listrik dengan bijak.
Namun, hasil penelitian menunjukkan bahwa perilaku ramah lingkungan sering kali berubah karena tekanan sosial.
Misalnya, ada responden yang menghindari berjalan kaki karena takut dianggap 'pelit' atau khawatir 'kepanasan' setelah diingatkan oleh tetangga.
Ironisnya, situasi ini sangat berbeda dengan tren global. Menurut studi National Geographic, Gen Z secara global justru sangat peduli terhadap isu lingkungan.
Mereka sadar bahwa menjaga lingkungan adalah langkah penting untuk melawan perubahan iklim.
Apalagi, survei Amnesty International mengonfirmasi, perubahan iklim adalah salah satu isu paling mendesak yang dihadapi oleh generasi ini.
Banyak Gen Z di dunia sekarang yang mengubah kebiasaan konsumsi mereka untuk mengurangi dampak terhadap lingkungan dengan memilih produk berkelanjutan, mengurangi penggunaan plastik sekali pakai, dan mengambil langkah nyata melalui berbagai inisiatif.
Mereka tidak hanya menyuarakan keprihatinan mereka tetapi juga bertindak sebagai agen perubahan. Aktivis muda seperti Greta Thunberg merupakan contoh menginspirasi ribuan pemuda di dunia.
Ia mengajak banyak kalangan muda untuk bergabung dalam gerakan Fridays for Future guna mendesak tindakan nyata dari pemerintah dalam menghadapi krisis iklim.
Di Indonesia gerakan yang sama harus mulai diinisiasi mengingat kondisi lingkungan sedang tidak baik-baik saja.
Riset WALHI misalnya menunjukkan, hutan di beberapa daerah terutama di Kalimantan hingga Papua terus mengalami eksploitasi oleh korporasi yang mengalihfungsikan hutan menjadi area industri ekstraktif.
Aktivitas ini tidak hanya mengurangi kemampuan hutan dalam menyerap emisi karbon dioksida, tetapi juga memperparah pemanasan global dan mengancam kehidupan jutaan masyarakat adat.
Data riset memperlihatkan, 159 juta hektar lahan telah diserahkan untuk investasi industri ekstraktif. Korporasi kini menguasai 82,91% wilayah daratan secara legal dan 29,75% wilayah laut.
Laporan Auriga Nusantara juga menyebutkan bahwa selama 20 tahun terakhir, termasuk di era pemerintahan Presiden Jokowi, terjadi deforestasi di Papua seluas 663.443 hektar, dengan 71% terjadi antara tahun 2011-2019.
Deforestasi terbesar dilakukan untuk pembukaan perkebunan sawit, mencapai 339.247 hektar. Namun hanya 194 ribu hektar yang ditanami, sisanya dalam kondisi rusak.
Kerusakan hutan sebesar ini berkorelasi dengan meningkatnya bencana alam. Pada tahun 2020, BNPB mencatat 2.925 kejadian bencana di Indonesia, mulai dari banjir, tanah longsor, hingga kebakaran hutan dan gelombang panas.
Di tengah kondisi tersebut di atas, apa hal mendesak yang harus dilakukan, terutama yang melibatkan paratisipasi Gen Z.
Ina Ratriyana menyarankan beberapa strategi.
Pertama, perlu ada pendidikan kesadaran lingkungan secara formal atapun non formal yang menyasar Gen Z.
Pendidikan kesadaran lingkungan, baik formal maupun non-formal, kata dia, menjadi kunci untuk menarik perhatian Gen Z.
Di ranah formal, pemerintah tegasnya, memang telah mengambil beberapa langkah penting, seperti kesepakatan antara Menteri Negara Lingkungan Hidup dan Menteri Pendidikan Nasional pada 2010 tentang pendidikan lingkungan hidup, serta Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 81A/2013 yang mendorong sekolah berbasis lingkungan.
Namun, program-program ini belum mencapai hasil yang memadai. Seorang siswa dari Cirebon, Jawa Barat, menurut pengakuan Ina, mengungkapkan, pengetahuan lingkungan yang didapatkan hanya sebatas hafalan jenis-jenis polusi dari pelajaran Biologi.
Pengalaman nyata tentang polusi baru ia dapat saat mulai tinggal di Yogyakarta. Teman-teman dia juga mengamini hal tersebut. Hal ini mengindikasikan kurangnya aplikasi nyata dari pembelajaran lingkungan.
Kedua, pendekatan melalui budaya populer.
Ina menjelaskan, Gen Z lebih terhubung dengan isu lingkungan melalui media populer seperti majalah, media sosial, atau film.
Seorang mahasiswa lain dalam penelitiannya mengaku bahwa pemahamannya tentang banjir justru datang dari film Leonardo DiCaprio.
Ini menunjukkan bahwa metode pendidikan konvensional, yang cenderung top-down dan diatur oleh pemerintah atau sekolah tanpa memperhatikan kebutuhan siswa, tidak efektif untuk menjangkau kelompok ini.
Untuk menjangkau Gen Z, kegiatan pro-lingkungan perlu dirancang secara kreatif dan melibatkan mereka secara langsung.
Mereka perlu merasakan bahwa kegiatan tersebut relevan dengan kehidupan mereka. Informasi tentang lingkungan yang disajikan dengan cara yang ringan dan menarik lebih mudah diingat dibandingkan materi yang hanya disampaikan melalui tumpukan buku pelajaran.
Editor: Gregorius Agung