PARBOABOA – Perjumpaan Nyoman Nuarta, empu perpatungan Indonesia, dengan hal-hal yang melampaui daya nalar manusia kerap terjadi. Tidak banyak orang seberuntung dia: bisa melihat hal-hal mistis. Kegaiban itu ternyata mewarnai proses kreatifnya juga.
“Mungkin itulah kelebihan seniman seperti dia,” imbuh Cynthia Laksmi, sang istri, seperti mengamini.
Percaya tidak percaya, sejumlah kejadian aneh sering dijumpai Nyoman. Misalnya, seorang arsitek asal Paris, Perancis, yang sontak lumpuh seusai mengambil sebuah batu di area Taman Budaya Garuda Wisnu Kencana (GWK).
Ceritanya bermula ketika sekumpulan alumni arsitek asal Paris berhimpun mengadakan acara di GWK. Pemilihan lokasi bukan tanpa alasan. Mereka menilai gaya arsitektur karya Nyoman Nuarta itu berbeda dari yang lain. Bali, tetapi tidak terlalu Bali.
Di sebuah titik di taman tergeletak sebuah batu kecil berwarna biru kehijauan. Aslinya dari Flores, Nusa Tenggara Timur, memang bongkahan itu menonjol di antara batu lainnya dan kerap menarik perhatian pengunjung. Akan memancarkan cahaya indah atau glittering jika terkena air, siapa pun pasti akan tergoda untuk memilikinya. Termasuk salah seorang rombongan alumni arsitek asal Perancis.
Saat kembali ke negaranya, tiba-tiba saja si pengambil lumpuh. Keluhan itu ia sampaikan dan dokter yang menangani pun bingung. Soalnya, setelah diperiksa semua organ tubuhnya baik-baik belaka.
Pasien lantas berkonsultasi dengan kenalannya yang ahli soal dunia Timur. Saat ditanyai kunjungan terakhir ke mana, dia jawab Bali. Sang teman kemudian bertanya apa yang telah dia ambil di situ. “Oh... saya mengambil batu.”
Langsung ahli Timur itu minta agar dia segera mengembalikan batu tersebut ke tempat asal. Batu pun lekas dikirim ke Bali.
Paket batu diterima pegawai restoran di GWK. Mereka tak kalah bingung; mengira kiriman itu jimat. Setelah dibuka dan pesan yang disertakan dalam paket dibaca barulah mereka mafhum. Pesannya adalah agar batu yang dikirim segera diletakkan di tempat persis seperti disebutkan dalam surat.
Pegawai di GWK segera meletakkan batu itu di tempat semula.
“Begitu ditaruh di situ...eh yang di sana (Paris) langsung bisa berdiri,” kenang Nyoman Nuarta.
Kejadian serupa juga pernah menimpa seorang perempuan asal Sanur, Bali. Dia ambil batu itu. Begitu sampai di rumah ia merasa laksana lumpuh. Begitu batu dikembalikannya ke tempat semula rasa lumpuhnya pun hilang.
“Dulu pernah kita tulisi peringatan supaya batu jangan diambil. Nggak tahu kalau sekarang masih ada,” kata Nyoman sambil tersenyum kecil.
Tamu
Tatkala Nyoman sedang menyelesaikan GWK, banyak kejadian supranatural yang melingkupi dirinya. Salah satunya adalah munculnya tamu yang mengaku utusan dari Bali. Orang itu mengatakan ia ‘membawa’ leluhur satu keluarga terdiri atas suami, istri, dan dua anak perempuan. Mereka hadir untuk menjaga keluarga Nyoman di Bandung.
“Sekarang [mereka] udah ada di air terjun,” kata sang tamu. Terletak di sebelah rumah, air terjun itu.
Cynthia, sang istri, yang dibesarkan di keluarga dengan tradisi beragama yang moderat dan rasional tentu bertanya-tanya. Begitupun, ia masih menghormati sang tamu. Ia berujar, “Ya terus apa yang harus saya lakukan? Terimakasih kalau memang mereka mau melindungi kami. Tapi, maaf Bu. Kalau saya harus setiap hari bikin canang (sesajen berisi beberapa macam bunga dan dedaunan) saya keberatan karena saya tidak biasa dan kalau saya lupa nanti saya takut dampak akan lebih parah.”
Cynthia ternyata tidak harus menyiapkan sesajen setiap hari. Hanya saja, tamu itu berpesan: saat mereka makan sebaiknya juga menawari leluhur yang menjagai sambil berkata singkat,” eyang, silakan makan.”
Leluhur Menjawab
Proyek GWK menguras energi dan pikiran Nyoman Nuarta. Pengerjaannya memakan waktu lama sekali yaitu sekitar 28 tahun. Saat dirinya sudah merasa kehabisan akal karena selalu ada saja kejadian yang menghambat penyelesaian proyek terkadang ia pun uring-uringan. Marah sehingga mood-nya labil. Bahkan ia sering bicara vulgar melampiaskan kejengkelan. Setengah protes, suatu waktu ia kemudian mengadu kepada leluhurnya.
“Apa saya nggak boleh bikin ini [GWK]” Nyoman berujar saat bersembahyang di pura leluhur. Unek-uneknya ia sampaikan kepada leluhurnya, Arya Kenceng. “Kalau memang aku nggak boleh menyelesaikannya perlihatkan tandanya. Kalau boleh juga tunjukkan.”
Seperti menjawab keluhan itu, tiba-tiba di atas rumput muncul kilatan api serupa fosfor. Seketika ada rasa senang di hati Nyoman. Namun, ia kemudian mengira kilatan fosfor itu berasal dari blitz kamera orang-orang yang ada di sana.
“Pas lihat ke belakang, nggak ada orang,” kenangnya. Saat itu juga ia menyimpulkan bahwa itulah pertanda sang leluhur memberi restu dan proyek GWK pasti akan rampung. “Nah itu ajaib kan.”
Meski ia sudah hijrah ke Bandung tapi ia tetap sebagai orang Bali yang mempercayai roh nenek moyang. Itu sebabnya di setiap rumah atau pura keluarga akan ada tempat bersembahyang dan memanjatkan doa untuk para leluhur yang telah mendahului.
“Nah, itu kita umpamakan dia (nenek moyang) ada di situ. Saat kita hendak mencari ketenangan misalnya, atau mohon restu, kita bisa ngobrol dalam hati dengan mereka.”
Cincin Menghilang
Di masa awal mengerjakan proyek GWK, Nyoman diberi cincin oleh ibu kandungnya. Hingga kini ia juga tidak mengerti dari mana ibu mendapatkan cincin yang berwujud miniatur patung GWK. Sama persis. Mulai dari style dan garis-garis detilnya persis dengan desain patung GWK.
Lulusan senirupa ITB itu masih bertanya-tanya bagaimana mungkin pembuat cincin mengukir disain patung GWK secara detil di atas batu mirah itu.
“Batu mirah dengan gambar ini rasanya nggak mungkin. Kan ini batu, tapi dia bisa ada garis gini, garis gini, terus gini, terus gini. Gimana caranya itu...ajaib.”
Ia sebetulnya tidak suka mengenakan cincin karena saat mematung itu akan mengganggu; sering nyangkut. Keberatan itu pula yang ia sampaikan kepada ibunya. Tapi, perempuan itu mendesak. Alhasil, cincin yang berupa batu mirah itu menempel terus selama hampir 30 tahun di jarinya.
Suatu saat ia merasa si cincin sudah hendak pergi. Saat proyek GWK hampir rampung, seperti biasa suatu waktu ia meletakkan benda itu di sisi tempat tidur. Entah bagaimana cincin itu bergerak-gerak dan bergetar, terrrr, terrrr….cukup lama.
“Saya liatin, kok lama banget geraknya. Kayak ada magnet gitu. Sampai saya berhentikan.”
Si cincin itu juga suka masuk sendiri ke jari tangan Nyoman. Aneh, tapi nyata.
Hingga suatu hari saat mereka sedang menginap di hotel, cincin ia lepas dan masukkan ke dalam tas. Esok paginya saat hendak ia kenakan, ternyata hiasan itu sudah benar-benar pergi.
“Padahal saya enggak ke mana-mana. Di tas saya cek, dia sudah nggak ada. Ada rasa kehilangan juga karena sudah lama menempel di jari tangan; selama hampir 30 tahun. Tapi ada kerelaan juga. Saya rela saja. “Ya memang kamu harus pergi, ya pergi aja deh.”
Sebagai orang Bali, dirinya sudah terbiasa belajar rela.
Ribuan kupu-kupu
Pengerjaan patung proklamator pun ada sisi mistisnya. Saat mendapat tugas khusus dari Presiden Soeharto untuk membuat patung Bung Karno itu pun bukan tanpa tantangan. Pengerjaannya memakan waktu berbulan-bulan. Tidak ada kesepakatan di antara panitia soal wajah Soekarno yang mana yang hendak dibuatkan patung.
“Yang satu bilang sudah selesai, yang lain bilang masih kurang,” kenang Cynthia.
Sampai Presiden Soeharto menyarankan agar Nyoman ziarah ke makam Bung Karno di Blitar, Jawa Timur. “Coba kamu sowan dulu ke sana,” demikian kata Soeharto seperti dituturkan kembali oleh Cynthia.
Dan saran itu dijalankan.
Letnan Jenderal (TNI) Purn. Moerdiono yang kala itu masih menjabat Asisten Menteri Sekretaris Negara Urusan Khusus pun bilang, “Ya, kamu yang sabar aja Man.”
Pembuatan patung Soekarno-Hatta dilakukan di Yogyakarta dan selama pengerjaan patung Nyoman kos di rumah Kartika Affandi, putri maestro lukis Affandi.
Tidak adanya kesepakatan di antara panitia sempat membuat Nyoman kesal. Hingga suatu ketika, saat ada kunjungan panitia yang kesekian kali, tiba-tiba muncul ribuan kupu-kupu kuning menutupi wajah patung Bung Karno. Semula orang mengira itu terjadi karena kesukaan kupu-kupu pada material yang digunakan untuk membuat patung. Anggapan itu gugur karena patung Bung Hatta yang menggunakan bahan sama dan patungnya tergeletak persis di sebelahnya tidak dihinggapi kupu-kupu.
“Sampai akhirnya semua sepakat kalau kupu-kupu itu pertanda bahwa, ‘oh ini berarti tanda sudah selesai. Jadi yang ini saja,” kata Cynthya.
Dan, ternyata menurut Cynthia, kupu-kupu yang sama ada di dalam kamar tidur Nyoman yang saat itu kos di rumah Kartika Affandi. “Jadi kupu-kupu itu hanya ada di kamar tidur Nyoman dan tempat kerja yang ada patung Bung Karno.”
Mahluk Aneh
Suatu hari Nyoman merasa melihat sosok berwujud perempuan datang di kamarnya. Menurut pandangan selintas ia yakin dia berpenampilan keren, menyala, dan seksi. Tapi justru dia tidak berani menoleh lebih jauh karena ada rasa takut.
“Kayaknya dia cantik banget dengan pakaian torsonya yang keren, memakai kristal-kristal. Tapi anehnya aku takut. Terus dia nggak mau lihat istri saya, lihatnya ke saya aja. Saya jadi nggak berani lihat dia, mukanya, nggak diliatin.”
Sang perempuan ini sepertinya bisa membaca hati Nyoman yang cenderung menolak kehadirannya. Ia berdiri kemudian berjalan hendak menggoda Nyoman. Auranya menurut sang pematung membuat dirinya takut.
Nyoman bahkan sempat bilang, ”Maaf aja, saya terus terang. Istri gue udah cantik, ngapain datang.” Tapi mahluk itu terus menggoda selama lima hari berturut-turut.
Hingga akhirnya Nyoman berujar keras, ”Saya nggak pengen jadi orang sakti! Saya hanya pengen jadi pematung hebat.”
Di hari kelima saat sosok itu kembali datang dengan membawa aura kemarahan. Bak adegan di film-film horor, lampu kamar berkedip-kedip. Dia sendiri mewujud sekelebat seperti bendera yang berkibar-kibar kencang.
Tiba-tiba saja dia menghilang di saat bersamaan Nyoman merasakan seperti ada tawon masuk ke lengan tangannya.
“Masuk..bzzz, bzzzz, seperti kesetrum, bergetar dia. Mungkin dia sudah melekat di aku. Jadi saya tuh rasanya kalau mengundang dia bisa gitu loh,” kata Nyoman serius.
Naga Kecil
Di lain kesempatan, Nyoman juga mengalami perjumpaan dengan mahluk berwujud seperti naga kecil.
“Warnanya jelek, cokelat. Nyamber begitu aja. Tapi dia seolah ingin bercanda sama saya. Saya nggak takut sama sekali. Itu kan berbeda dengan mahluk yang sebelumnya pernah saya ceritakan. Tampangnya jelek tapi auranya tidak menakutkan,” kenang Nyoman.
Si mahluk senang bercengkerama dengan Nyoman tapi karena dianggap mengganggu, Nyoman pun bilang,”Udah, udah, capek.. gue mau tidur.”
Ia juga mengaku pernah melihat benda seperti yang banyak divisualkan orang sebaga UFO. Besarnya semangkuk kecil, warnanya biru berkilau indah sekali. Saat itu dia sangat ingin memegang. Tangannya pun bergerak aktif mencoba menangkap benda itu. Gagal beberapa kali ia coba lagi, hingga kemudian tersadar jika sang cucu, Biyan, yang sedang menginap di rumah diam-diam memperhatikannya.
“Aki, Aki…sedang apa,” kata bocah itu dengan polos. Dia tidak bisa melihat apa yang Nyoman saksikan. Benda itu pun kemudian menghilang.
“Tapi ada orang datang bilang ke saya, “Oh, biasa kalau seniman itu didatengin yang gitu-gitu. Saya bilang, “Oh, kalo gua sih nggak sukalah.”
Vision itu jelas
Belum lama ini Nyoman mengaku tersentak saat baru mendarat di Bandar Udara Internasional Yogyakarta yang baru.
“Saya nyampe situ, saya lihat ada pulau di depannya. Pulau saja. Bagus, hijau, banyak pohon kelapa, tapi enggak ada bangunan. Bagus, subur banget,” kenangnya.
Saat itu disampaikan ke sang istri, Cynthia kaget dan menyangkal kalau ada pulau di bandara. “Nggak ada katanya.” (Bersambung)