PARBOABOA, Jakarta - Awal abad ke-19 menjadi saksi penting gelombang misionaris Societas Verbi Divini (SVD) yang diutus menjalankan misi di Flores.
Kedatangan mereka membawa dampak positif bagi masyarakat setempat, terutama dalam upaya pelestarian budaya dan pengembangan ilmu pengetahuan, khususnya di bidang arkeologi.
Para misionaris SVD, yang sebagian besar adalah ahli sejarah, bahasa, dan kebudayaan, mengambil inisiatif untuk meneliti dan mengoleksi kekayaan budaya yang tersembunyi di Flores.
Peneliti Komunitas KAHE Maumere, Marianus Nuwa dalam sebuah kesempatan menyebut bahwa diskusi tentang Flores sebagai sebuah wilayah tidak bisa dilepaskan dari peran para misionaris.
"Mereka datang tidak sekedar mewartakan Injil, tetapi juga mengajarkan masyarakat tentang cara mewariskan pengetahuan lokal," ungkap Marianus kepada PARBOABOA, Jumat (17/08/2024).
Marianus menambahkan, masyarakat Flores yang berkembang hari ini merupakan kelompok yang terpengaruh oleh jejak para misionaris, khususnya mereka yang datang sejak tahun 1900-an.
"Dahulu, masyarakat tidak tahu baca dan tulis. Mereka justru mulai tahu itu semua sejak para misionaris datang. Di situ, mereka belajar agama, juga cara baca dan tulis," lanjut pria yang biasa disapa Gee ini.
Inisiatif mengoleksi sejarah lokal tidak hanya bertujuan untuk melestarikan warisan budaya setempat, tetapi juga menjadikannya sumber pembelajaran bagi generasi muda Flores masa kini.
Beberapa misionaris SVD yang berperan penting dalam upaya ini antara lain Paul Arndt SVD, W. Koppers SVD, Theodor Verhoeven SVD, B.A.G. Vroklage SVD, Paul Schebesta SVD, M. Guisinde SVD, dan Jilis Verheijen SVD.
Mereka secara rutin melaporkan hasil penelitian mereka ke Anthropos, sebuah jurnal ilmiah yang didirikan pada 1906 di Modling, Austria oleh Prof. Wilhelm Schmidt SVD.
Schmidt (1868-1954) sendiri merupakan seorang tutor dan guru yang juga menjadi tokoh penting dalam kajian antropologi internasional.
Ia bersama rekannya Fritz Graebner, SVD (1877–1934), dikenal sebagai pencetus teori difusi kebudayaan.
Mereka mengemukakan konsep "kulturkreise" atau lingkaran kebudayaan, yang menggambarkan bagaimana unsur-unsur kebudayaan menyebar secara berkelompok atau satu per satu, meskipun berbeda secara geografis.
Schmidt juga mempopulerkan pandangan bahwa keyakinan masyarakat asli akan adanya Wujud Tertinggi (Urmonotheismus) bukanlah perkembangan baru, melainkan warisan budaya yang sangat tua dan telah ada ketika tingkat kebudayaan manusia masih sederhana.
Pemikiran Schmidt sejalan dengan pandangan Konsili Vatikan II yang lebih terbuka terhadap kekayaan budaya dan pandangan hidup masyarakat.
Alex Jebadu (2009) dalam buku Bukan Berhala menambahkan bahwa mereka yang menerima kesalehan keagamaan asli berpendapat tidak ada pertentangan antara iman Kristen dan penghormatan kepada roh-roh leluhur.
Para misionaris SVD yang menjadi murid perdana Schmidt, seperti W. Koppers SVD, Paul Arndt SVD, dan B.A.G. Vroklage SVD, melanjutkan kerja etnografis yang kemudian menghasilkan karya besar berjudul Der Ursprung der Gottesidee (1926) (Asal Mula Konsep Tentang Tuhan).
Salah satu langkah awal yang spektakuler dalam penemuan kebudayaan purba di Flores dilakukan Dr. Theodor Verhoeven SVD.
Ia awalnya tertarik pada sejarah bahasa-bahasa klasik, namun kemudian beralih fokus ke arkeologi dan penelitian objek-objek kebudayaan purba di Flores.
Karya dan dedikasi para misionaris SVD ini tidak hanya memberikan kontribusi signifikan terhadap pelestarian budaya Flores, tetapi juga membuka wawasan baru dalam kajian antropologi dan sejarah kebudayaan di Indonesia.
Ekskavasi Gua Alam dan Perunggu
Penelitian arkeologis di Flores yang dipelopori P. Verhoeven telah dimulai sejak 1949, dengan fokus utama pada ekskavasi gua-gua alam serta artefak budaya dari berbagai zaman.
Artefak sejarah yang dimaksud, antara lain, paleolitikum (batu tua), neolitikum (batu muda), budaya "flake" dan "blade" dari zaman mesolitikum (batu tengah), budaya Dongson dari zaman perunggu, dan juga bidang geologi.
Ekskavasi tahap pertama dimulai dari laporan masyarakat lokal tentang penemuan gua-gua dan fosil hewan purba.
Merespons laporan tersebut, P. Verhoeven segera membentuk Tim Ekspedisi I yang terdiri dari Th. Verhoeven SVD, W. van Bekkum SVD, dan A. Mommersteeg SVD.
Pada Agustus 1950, mereka memulai perjalanan menuju wilayah Manggarai untuk meneliti gua alam di Liang Bua, Desa Rampasasa, Kabupaten Manggarai, dengan bantuan masyarakat setempat.
Penggalian di Liang Bua menghasilkan temuan berupa pecahan tulang belulang hewan dan peralatan batu, termasuk batu api, yang menunjukkan adanya sekelompok manusia yang pernah mendiami wilayah tersebut.
Penjelajahan ilmiah berikutnya mengarah ke wilayah Labuan Bajo di Flores Barat, di mana mereka menemukan 10 gua alam.
Pada Juli 1951, dengan dukungan penduduk lokal, tim melakukan penggalian sistematis di salah satu gua yang dinamai "Liang Mommer".
Hasilnya, mereka menemukan fosil kerangka manusia, sisa-sisa kebudayaan Megalitikum, serta artefak kebudayaan Tionghoa seperti porselen dan mata uang.
Ekspedisi berlanjut ke wilayah Ruteng dan Reo di Flores Barat, di mana mereka menemukan 15 gua alam lainnya.
Tak berhenti di situ, mereka juga menjelajahi wilayah Riung dan Wangka di Flores Tengah, dan menemukan 6 gua alam di sana.
Pada awal 1952, seorang misionaris SVD bernama A. Mommersteeg secara mandiri menemukan alat-alat dari zaman perunggu di Menge, So’a, Ngada (Flores Tengah).
Sementara itu, anggota tim lainnya menemukan tiga kapak perunggu di Guru/Sikka (Flores Tengah) serta artefak kebudayaan Dongson di Nua Mbiko/Lio (Flores Tengah).
Pada 1954, dengan bantuan masyarakat lokal, Verhoeven dan Tim Ekspedisi I kembali ke Manggarai untuk melakukan ekskavasi di gua alam "Liang Toge" di Lempang Paji, yang kini menjadi bagian dari Kecamatan Elar, Kabupaten Manggarai Timur.
Dari ekskavasi sedalam satu meter, mereka berhasil menemukan fosil kerangka dan tulang belulang manusia.
Penelitian berlanjut pada 1955, saat mereka menjelajahi wilayah Flores Timur. Di sana, mereka menemukan beberapa gua alam di Boru/Hokeng dan Lewoleba.
Temuan-temuan ini memberikan wawasan berharga tentang kehidupan manusia dan peradaban kuno yang pernah berkembang di wilayah Flores, dan menjadi bukti penting dalam sejarah arkeologi Indonesia.
Mengenang Para Misionaris
Keberadaan para misionaris SVD telah memainkan peran yang sangat penting dalam mengembangkan ilmu pengetahuan, khususnya di Flores.
Mendiang P. Alex Beding menuturkan, kerja ekskavasi yang dilakukan para misionaris tidak sekedar menunjukkan minat pada arkeologi, tetapi memberi bias terhadap pengembangan pengetahuan.
"Saya tidak bisa membayangkan kalau mereka tidak ada. Mungkin kita di Flores tidak bisa berkembang seperti sekarang," ungkap Alex dalam sebuah kesempatan wawancara pada pertengahan 2022 lalu.
Melalui berbagai penelitian dan ekskavasi arkeologis yang dimulai pada pertengahan abad ke-20, mereka tidak hanya berhasil melestarikan warisan budaya leluhur tetapi juga mengungkap banyak misteri peradaban kuno yang sebelumnya tersembunyi.
"Kalau mereka tidak buat penggalian seperti itu, kita tidak mungkin tahu sejarah Manusia Flores (Homo Floresiensis) dan banyak penemuan lain," tambah pastor berdarah Lembata itu.
Para misionaris, yang juga merupakan ahli sejarah, bahasa, dan antropologi, mengambil langkah berani dengan meneliti dan mengoleksi artefak-artefak budaya dari berbagai zaman, mulai dari paleolitikum, neolitikum, hingga zaman perunggu.
Penelitian mereka, seperti yang dilakukan di gua Liang Bua dan berbagai situs lainnya, menghasilkan temuan penting seperti fosil manusia purba, peralatan batu, dan artefak budaya lainnya.
Temuan-temuan ini tidak hanya membuka jendela baru terhadap kehidupan masa lalu di Flores, tetapi juga memberikan kontribusi besar terhadap pemahaman global tentang perkembangan peradaban manusia.
Lebih dari sekadar penggalian artefak, para misionaris SVD ini juga berkontribusi dalam penyebaran teori-teori antropologi dan budaya.
Salah satu pencapaian terbesar mereka adalah pengembangan teori difusi kebudayaan oleh Wilhelm Schmidt, SVD, yang memperkaya kajian antropologi dengan konsep "kulturkreise" atau lingkaran kebudayaan.
Teori ini menawarkan pemahaman mendalam tentang bagaimana unsur-unsur kebudayaan dapat menyebar dan berkembang di berbagai wilayah dunia, meskipun dipisahkan oleh jarak geografis yang jauh.
Dengan dedikasi tersebut, para misionaris SVD telah menjadikan Flores sebagai pusat penelitian ilmiah yang tidak hanya bermanfaat bagi komunitas lokal tetapi juga berharga bagi ilmu pengetahuan internasional.
Karya-karya mereka menciptakan fondasi yang kokoh untuk studi-studi selanjutnya dan memastikan bahwa warisan budaya dan sejarah purba Flores akan terus diingat dan dipelajari oleh generasi mendatang.
Sumbangsih mereka tidak hanya menghubungkan masa lalu dengan masa kini, tetapi juga memperkuat hubungan antara ilmu pengetahuan dan kemanusiaan.
Editor: Defri Ngo