PARBOABOA, Jakarta- Laporan Amnesti Internasional “Situasi Hak Asasi Manusia Global” menemukan bahwa di saat para aktivis di berbagai belahan dunia tengah berjuang melawan represi terhadap kritik damai, masyarakat sipil di Indonesia juga mengalami hal serupa. Dalam laporan berjudul "Meredam Suara, Membungkam Kritik: Tergerusnya Kebebasan Sipil di Indonesia," Amnesty International Indonesia menunjukkan bahwa negara terus-menerus menekan suara kritis dan melakukan pembiaran terhadap aktor pelaku non-negara yang rata-rata berakhir dengan impunitas.
Laporan ini memaparkan fakta tentang merebaknya serangan terhadap kebebasan sipil, yang setidaknya meliputi 328 kasus serangan fisik dan serangan digital yang diarahkan pada kebebasan sipil dengan total setidaknya 834 korban sepanjang Januari 2019 hingga Mei 2022.
Serangan dari atas diduga berasal dari aktor-aktor negara yang sayangnya didominasi oleh kepolisian, lembaga yang seharusnya melayani dan melindungi masyarakat dalam mengekspresikan pikiran, pendapat, atau kritik atas kebijakan negara. Sedangkan serangan dari bawah diduga berasal dari para individu dan kelompok non-negara, yang kerap kali turut menyerang orang lain yang kritis terhadap negara.
Laporan “Membungkam Suara, Meredam Kritik: Tergerusnya Kebebasan Sipil di Indonesia” disusun berdasarkan 52 wawancara dengan para aktivis, mahasiswa, advokat, jurnalis, pegawai pemerintah, termasuk bersumber dari berkas resmi perkara. Laporan tersebut mendokumentasikan tergerusnya ruang publik untuk kritik dan protes dalam tiga tahun terakhir akibat gelombang serangan terhadap kebebasan berekspresi, berkumpul secara damai, berserikat, keamanan pribadi, dan kebebasan dari penahanan sewenang-wenang.
“Fenomena ini sangat mengkhawatirkan. Mereka yang kritis, mereka yang memiliki pandangan berbeda, apalagi pandangan politik berbeda seperti yang diekspresikan orang Papua, dipersempit ruangnya,” sebut Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia Usman Hamid.
“Kerja-kerja aktivis, jurnalis dan para pembela HAM menjadi di bawah ancaman. Mereka yang memprotes kebijakan pemerintah diserang dengan narasi anti-pembangunan. Dan sayangnya aparat penegak hukum menjadi aktor penting di balik ini semua.”
Insiden-insiden yang terjadi pada tahun 2022 sayangnya tidak berhenti dan masih berlanjut hingga tahun ini. Pada tanggal 27 Maret 2023, Kejaksaan Negeri Jakarta Timur melimpahkan berkas perkara Koordinator Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) Fatia Maulidiyanti ke Pengadilan Negeri Jakarta Timur. Kasus Fatia berjalan akibat laporan dari Menteri Koordinator Bidang Maritim dan Investasi.
Akhir pekan lalu, Heri Budiawan alias Budi Pego tiba-tiba ditangkap tanpa penjelasan oleh belasan anggota Polresta Banyuwangi dan Kejaksaan Negeri Banyuwangi. Penahanan Budi Pego didasarkan pada putusan kasasi Mahkamah Agung yang menjatuhkan hukuman 4 tahun penjara terhadap dirinya.
Di bulan Maret ini pula, situs media Project Multatuli menjadi korban serangan digital setelah memberitakan ketidakwajaran polisi dalam mengusut kasus kekerasan seksual terhadap dua anak di Kabupaten Baubau, Sulawesi Tenggara.
Akhir Januari lalu, aksi teror kembali menimpa jurnalis Jubi, Victor Mambor. Sebuah bom rakitan dilemparkan dan meledak di dekat rumahnya, di kelurahan Angkasa Pura, Kota Jayapura.
Di bulan yang sama, seorang rohaniawan, Romo Chrisanctus Paschalis Saturnus Esong alias Romo Paschal, sempat dilaporkan ke polisi oleh pejabat Badan Intelijen Negara (BIN) di Kepulauan Riau dengan tuduhan pencemaran nama baik. Romo Paschal sebelumnya melaporkan dugaan sindikat perdagangan orang di wilayah itu. Alih-alih menindaklanjuti laporan Romo Paschal, polisi sebagai aparat penegak hukum justru mengkriminalisasi pelapor.
“Dalam berbagai forum internasional, pemerintah selalu mengklaim Indonesia berkomitmen untuk menghormati HAM. Nyatanya, pemerintah selalu bersikap defensif tiap kali kritik mengenai situasi HAM dilontarkan, tanpa melakukan evaluasi terlebih dahulu,” tegas Usman.
“Apalagi jika kritik itu disampaikan oleh komunitas internasional, pemerintah Indonesia selalu berdalih apa yang terjadi adalah urusan domestik yang tidak bisa dicampuri pihak luar. Padahal, hak asasi manusia adalah persoalan yang universal,” lanjut Usman.
Pengesahan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) pada bulan Desember 2022 menjadi contoh yang mendapat banyak kritikan dari berbagai pihak dan menjadi sorotan tajam media asing. Kantor PBB di Indonesia bahkan menyebut KUHP baru mengancam kebebasan sipil.
Kritik itu kemudian ditanggapi pemerintah Indonesia dengan memanggil pejabat tinggi lembaga antar negara tersebut. Juru Bicara Kementerian Luar Negeri mengatakan perwakilan PBB seharusnya berkonsultasi dengan Indonesia sebelum mengeluarkan pernyataan.
“Sungguh ironis. Pihak lain diminta berkonsultasi sementara pemerintah sendiri seringkali mengabaikan proses konsultasi bermakna dalam pembuatan kebijakan yang menyangkut kepentingan publik,” kata Usman.
Editor: Bina Karos