Mata Elang: Dilema Antara Hak dan Tanggung Jawab Konsumen

Fenomena Mata Elang Jadi Momok bagi Konsumen. (Foto: PARBOABOA/Norben Syukur)

PARBOABOA, Jakarta- Fenomena “Mata Elang” atau debt collector di Indonesia telah menjadi momok bagi banyak konsumen yang memiliki tunggakan kredit, terutama kredit kendaraan bermotor.

Praktik penagihan oleh para debt collector ini sering kali menjadi perdebatan karena kerap menimbulkan keresahan di masyarakat, tak jarang hingga melibatkan kekerasan fisik dan psikis.

Dalam banyak kasus, debt collector bertindak seolah berada di atas hukum, mengambil alih kendaraan secara paksa tanpa melalui prosedur hukum yang jelas.

Namun, apakah praktik ini sesuai dengan hukum yang berlaku di Indonesia? Apa saja hak konsumen dalam menghadapi debt collector?

“Mata Elang” merujuk pada agen atau perusahaan debt collector yang ditugaskan oleh lembaga keuangan, seperti bank atau perusahaan leasing, untuk menagih tunggakan kredit dari konsumen.

Tugas utama mereka adalah memastikan pembayaran kredit yang tertunggak bisa dilunasi, atau jika tidak, mengambil alih aset yang menjadi jaminan kredit tersebut, seperti kendaraan bermotor.

Praktik ini sebenarnya bukan hal baru di Indonesia.

Sejak munculnya kredit kendaraan bermotor secara massal pada akhir 1990-an, kehadiran debt collector menjadi solusi bagi perusahaan leasing untuk menekan angka kredit macet.

Namun, cara-cara yang digunakan oleh para debt collector ini sering kali dipertanyakan, terutama ketika mereka melibatkan intimidasi atau kekerasan.

Aturan Hukum

Salah satu hukum yang paling relevan dalam konteks ini adalah Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia.

Fidusia adalah proses pengalihan hak kepemilikan suatu benda kepada pihak lain, namun benda tersebut tetap dikuasai oleh pemiliknya.

UU ini mengatur bahwa setiap perjanjian kredit dengan jaminan fidusia harus didaftarkan dan ketika konsumen gagal melunasi kredit, barang jaminan fidusia bisa diambil alih oleh kreditur setelah mendapatkan eksekusi dari pengadilan.

Namun, dalam praktiknya, banyak perusahaan leasing yang melakukan eksekusi sepihak tanpa melalui proses pengadilan.

Pada 2019, Mahkamah Konstitusi (MK) mengeluarkan putusan penting yang memperkuat hak konsumen dalam menghadapi praktik penagihan oleh debt collector.

Putusan MK No. 18/PUU-XVII/2019  menegaskan bahwa perusahaan leasing atau kreditur tidak boleh menarik secara paksa objek jaminan fidusia tanpa persetujuan debitur atau tanpa melalui proses pengadilan.

Ini berarti bahwa debt collector tidak boleh menarik kendaraan yang dijaminkan tanpa adanya putusan pengadilan yang sah.

Selain itu, Konsumen juga dilindungi oleh, Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen.

UU ini, menyatakan bahwa konsumen memiliki hak untuk mendapatkan informasi yang jelas tentang produk dan layanan yang mereka beli, serta bebas dari ancaman atau tekanan yang tidak pantas.

Dalam konteks penagihan utang, UU Perlindungan Konsumen ini memberikan dasar hukum bagi konsumen untuk menolak segala bentuk intimidasi dari debt collector.

Karena itu, dalam menjalankan tugasnya, debt collector di Indonesia harus tunduk pada aturan hukum yang berlaku.

Hal ini penting untuk memastikan bahwa tindakan mereka tidak melanggar hak-hak konsumen dan menjaga kepercayaan publik.

Debt collector juga harus mengikuti Peraturan Otoritas Jasa Keuangan (POJK) Nomor 35/POJK.05/2018 tentang Penyelenggaraan Usaha Perusahaan Pembiayaan.

Dalam peraturan ini, diatur tentang tata cara penagihan oleh perusahaan pembiayaan, termasuk kewajiban untuk melakukan penagihan secara sopan, tidak boleh menggunakan kekerasan fisik atau verbal, serta harus memberikan informasi yang benar dan jelas kepada debitur.

Penting juga untuk diingat bahwa debt collector tidak diperbolehkan mengambil atau menyita barang milik debitur tanpa proses hukum yang sah.

Hal ini diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata) yang menyatakan bahwa penyitaan barang harus melalui proses pengadilan, kecuali ada kesepakatan lain yang sah antara kedua belah pihak.

Selain itu dalam bertindak,  debt collector dituntut untuk  mematuhi Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.

Dalam undang-undang ini, ditegaskan bahwa setiap orang berhak atas perlindungan dari kekerasan atau perlakuan yang merendahkan martabat manusia.

Oleh karena itu, setiap tindakan debt collector yang melanggar hak asasi manusia, seperti ancaman kekerasan atau pemaksaan, adalah tindakan yang melawan hukum.

Berdasarkan data dari Otoritas Jasa Keuangan (OJK), jumlah pengaduan terkait praktik penagihan oleh debt collector terus meningkat dalam beberapa tahun terakhir.

Pada tahun 2023, OJK mencatat lebih dari 10.000 pengaduan terkait tindakan tidak etis oleh debt collector, dengan sebagian besar kasus melibatkan penarikan kendaraan secara paksa tanpa prosedur hukum yang jelas.

Lebih jauh lagi, survei yang dilakukan oleh Lembaga Perlindungan Konsumen pada tahun yang sama menemukan bahwa 75% dari responden yang pernah berhadapan dengan debt collector merasa tidak dilindungi oleh hukum.

Sebagian besar responden melaporkan bahwa mereka mengalami intimidasi atau ancaman fisik, dan merasa tidak memiliki cukup informasi mengenai hak-hak mereka sebagai konsumen.

Dilema Konsumen

Dalam praktiknya, banyak konsumen yang merasa terjebak dalam situasi sulit ketika berhadapan dengan debt collector

Di satu sisi, mereka mengakui bahwa mereka memiliki kewajiban untuk melunasi utang, tetapi disisi lain, cara-cara intimidatif yang digunakan oleh debt collector membuat mereka merasa tidak adil dan terancam.

Ini menciptakan dilema yang kompleks, di mana konsumen sering kali merasa tidak berdaya menghadapi situasi tersebut.

Namun, penting bagi konsumen untuk mengetahui bahwa mereka memiliki hak hukum yang kuat dalam situasi ini.

Dengan adanya putusan Mahkamah Konstitusi dan perlindungan dari UU Perlindungan Konsumen, konsumen memiliki dasar hukum untuk menolak penarikan aset yang tidak sesuai dengan prosedur.

Konsumen juga memiliki hak untuk melaporkan tindakan intimidasi atau kekerasan yang dilakukan oleh debt collector kepada pihak berwenang.

Untuk menghadapi debt collector, ada beberapa langkah yang bisa diambil oleh konsumen:

Pertama, Mengetahui Hak-Hak Hukum.  Konsumen harus memahami hak-hak mereka berdasarkan UU Perlindungan Konsumen dan UU Jaminan Fidusia.

Mereka tidak boleh tunduk pada intimidasi dan memiliki hak untuk menolak penarikan aset yang tidak sesuai prosedur.

Kedua, Dokumentasikan Interaksi.  Setiap interaksi dengan debt collector sebaiknya didokumentasikan, baik melalui rekaman suara, video, atau catatan tertulis.

Ini akan menjadi bukti penting jika konsumen ingin melaporkan tindakan yang tidak sesuai hukum.

Ketiga, Lapor ke Pihak Berwenang. Jika konsumen merasa diintimidasi atau hak-hak mereka dilanggar, mereka bisa melaporkan kasus tersebut ke polisi, OJK, atau lembaga perlindungan konsumen lainnya.

Keempat, Cari Bantuan Hukum. Jika perlu, konsumen bisa mencari bantuan hukum dari pengacara atau lembaga bantuan hukum untuk memastikan bahwa hak-hak mereka terlindungi.

Melalui pemahaman yang lebih baik tentang hak-hak hukum dan perlindungan yang diberikan oleh undang-undang, konsumen dapat lebih berdaya dalam menghadapi situasi yang menekan ini.

Pada akhirnya, penting bagi semua pihak—baik lembaga keuangan maupun konsumen—untuk berinteraksi dalam kerangka hukum yang adil dan transparan, guna menjaga keseimbangan antara hak dan tanggung jawab.

Editor: Norben Syukur
TAG :
Baca Juga
LIPUTAN KHUSUS