Mencari Suaka Air di Ibu Kota

Titin, dua dari kiri, saat memberi keterangan terkait krisis air di rumahnya, pada Jumat 24 Maret 2023 (Foto: Parboaboa/Reka)

PARBOABOA, Jakarta - Warga Jakarta masih menghadapi problematika air bersih, bahkan banyak penduduk sejak 2015 harus berupaya lebih keras dan memiliki uang yang berlimpah untuk bisa menikmatinya. Seperti yang dialami Titin (42) yang bermukim di Muara Baru, Jakarta Utara. 

“Permasalahan di Muara Baru dari dahulu masih sama airnya tidak mengalir, tapi meterannya jalan terus. Masalah ini dari 2015, saya yang dianggap tinggal di tanah abu-abu, dianggap warga ilegal, sering dijadikan alasan,” katarnya saat dijumpai di kantor LBH Jakarta, Jumat (24/03/2023).

Berdasarkan kesaksian Titin, permasalahan air di area pemukimannya tak jauh dari perkara pipa yang tidak bisa masuk ke dalam area pemukiman. Warga diminta untuk menuntaskan pembayaran perpanjangan pipa sebesar Rp217 juta, jika ingin menikmati layanan air bersih. 

“Biaya pipa dan pengaliran air dibebankan pada warga, padahal, hal ini seharusnya ditanggung oleh pihak Palyja, sebagai perusahaan yang sudah ditunjuk sebagai penyuplai air oleh pemerintah DKI Jakarta,” ucap Titin. 

Katanya, Pemerintah DKI memiliki program master meter, yakni subsidi air bersih yang diklaim mampu mengatasi krisis air di Jakarta, program ini bekerjasama dengan Palyja. 

“Yang saya tahu program master meter dari warga untuk warga. Tapi kenyataannya pipa yang mengalirkan air hanya sampai pada jalan besar saja, kalau mau ke pemukiman warga harus ganti biaya pipa dan pemasangan sebesar Rp217 juta,” sambungnya lagi.

Kini Titin bertahan dengan menggunakan air bor, itupun jika air kebetulan bersih. Apabila hujan tiba, dan air menjadi keruh, kuning bahkan berbau, maka ia terpaksa membeli air bersih dari depo. Untuk kebutuhan minum ia memilih membeli air galon. 

Kesaksian Titin tak jauh berbeda dengan Tono (32), dianggap warga ilegal karena tinggal di area abu-abu, akses air bersih pun tak bisa ia nikmati. Anehnya, Marunda Kepu, merupakan wilayah perluasan Jakarta. 

“Kalau di Marunda Kepu, masalah klasik yang dari dulu gak selesai-selesai. Kami dianggap tinggal di wilayah abu-abu, padahal ini adalah wilayah perluasan DKI, karena tata ruang yang tidak jelas, maka klaimnya tidak bisa mengalirkan air bersih ke kampung kami,” tutur Tono.

Diskriminasi air bersih ini sudah berlangsung sejak era Soeharto. Ide-ide swastanisasi air kemudian tetap dilanjutkan oleh Pemerintah Provinsi DKI Jakarta hingga hari ini. LBH Jakarta, melalui Jihan Fauziah Hamdi menegaskan, jika warga sebenarnya sudah melakukan berbagai macam protes dan gugatan kepada Gubernur, namun hal tersebut masih belum ditanggapi. 

Menurut Fauziah, PAM Jaya selaku BUMD justru memperpanjang kontrak swastanisasi air tanpa mengevaluasinya. 

“Pasalnya, alih-alih melakukan proses evaluasi terkait dengan praktik swastanisasi air Jakarta yang telah berlangsung selama 25 tahun dengan Aetra dan Palyja, Pemprov DKI Jakarta dan PAM Jaya justru sudah menandatangani kontrak dengan PT Moya Indonesia pada 14 Oktober 2022 lalu,” kata Hamdi.

Kontrak tersebut menjadi kabar buruk bagi warga Jakarta dan menandai dimulainya babak baru privatisasi air, yang nasib pengelolaannya kedepan akan dilakukan berdasarkan Nota Kesepakatan Kementerian Dalam Negeri, Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat dan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta tertanggal 3 Januari 2022 tentang Sinergi dan Dukungan Penyelenggaraan SPAM, Peraturan Gubernur Provinsi DKI Jakarta No. 7/2022 tentang penugasan kepada Perusahaan Umum Daerah Air Minum Jaya untuk melakukan percepatan cakupan layanan air minum di Provinsi DKI Jakarta yang ditetapkan pada 30 Maret 2022 dan Keputusan Direksi PAM JAYA No. 65/2022 tentang pedoman tata cara kerja sama penyelenggaraan sistem penyediaan air minum.

Editor: RW
TAG :
Baca Juga
LIPUTAN KHUSUS