Mengenal Obat Golongan G dan Regulasinya di Indonesia

Penggunaan Obat Golongan G di Indonesia tengah menjadi Sorotan. (Foto:Parboaboa/Ahmad Ghozali)

PARBOABOA, Jakarta - Obat G kini jadi perbincangan hangat di dunia kesehatan. Banyak yang menyebutnya sebagai solusi ajaib untuk berbagai keluhan. Namun, pertanyaannya, seberapa efektif dan amankah obat ini?

Beberapa ahli memperingatkan adanya potensi efek samping tak terduga yang perlu diwaspadai.

Menurut anggota Kedeputian Bidang Penindakan Badan POM RI, Robby Nuzly, kandungan obat daftar G itu yang menyebabkan saraf pusat otak terganggu.

Selain menyebabkan halusinasi, mengonsumsi obat daftar G mendorong anak untuk melakukan tindakan negatif.

Di Indonesia, obat-obatan dikelompokkan berdasarkan aturan hukum dan risiko yang ditimbulkan.

Obat G masuk dalam golongan obat keras dan psikotropika Golongan IV. Ini berarti penggunaannya harus diawasi ketat.

Dalam liputan khusus Parboaboa bertajuk "Melacak Rantai Pasok Peredaran Obat Keras Ilegal di Jabodetabek," Senin, (9/09/2024) berbagai obat golongan G, seperti tramadol, triheksifenidil, dan dekstrometorfan, diklasifikasikan sebagai obat keras yang perlu perhatian ekstra.

Obat-obatan ini biasanya ditandai dengan lingkaran merah, garis tepi hitam, dan huruf "K" di tengah.

Sesuai dengan Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 02396/A/SK/VIII/1989, obat-obatan golongan ini hanya boleh digunakan dengan resep dokter.

Meski efektif untuk mengobati penyakit tertentu, pengawasan medis tetap menjadi kunci utama.

Obat Golongan G

Obat Golongan G terdiri dari berbagai jenis yang dirancang untuk menangani masalah kesehatan yang lebih serius.

Antibiotik

Antibiotik merupakan salah satu contoh obat keras yang paling umum. Antibiotik digunakan untuk mengatasi infeksi bakteri.

Namun, penggunaannya harus tepat karena bisa menimbulkan resistensi jika tidak digunakan sesuai anjuran dokter.

Obat Antidepresan

Obat ini digunakan untuk menangani gangguan mental seperti depresi dan kecemasan.

Antidepresan harus diawasi secara ketat karena dapat menyebabkan efek samping serius jika tidak digunakan sesuai dosis yang tepat.

Obat Kardiovaskular

Ini adalah obat yang digunakan untuk mengobati penyakit jantung dan pembuluh darah.

Obat ini termasuk obat keras karena salah penggunaan atau overdosis dapat menyebabkan komplikasi yang serius.

Obat Hormonal

Contoh obat hormonal termasuk kontrasepsi hormonal dan terapi pengganti hormon.

Penggunaan obat ini memerlukan pengawasan dokter karena memiliki risiko efek samping, seperti gangguan hormon atau peningkatan risiko kanker.

Dasar Hukum

Penggunaan dan peredaran obat Golongan G diatur secara ketat oleh pemerintah Indonesia melalui undang-undang dan peraturan khusus.

Salah satu aturan utama adalah, Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan.

Undang-undang ini menjelaskan kewajiban masyarakat dalam memperoleh obat yang aman dan berkualitas, serta hak pasien untuk mendapatkan penjelasan tentang obat yang diresepkan.

Selain itu, ada Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 949/MENKES/PER/VI/2000 yang mengatur tentang persyaratan penyimpanan, pengedaran, dan penggunaan obat keras, termasuk Golongan G.

Dalam peraturan ini disebutkan bahwa apotek atau sarana kesehatan yang tidak memenuhi standar penyimpanan atau pengelolaan obat keras bisa dikenakan sanksi administratif atau pencabutan izin usaha.

Penggunaan dan peredaran obat Golongan G tanpa resep atau pengawasan dokter merupakan pelanggaran serius di Indonesia.

Berdasarkan UU Nomor 36 Tahun 2009, ada beberapa sanksi yang bisa dikenakan bagi pelanggar, baik itu individu maupun institusi.

Pengedaran obat keras tanpa izin atau resep dokter dapat dikenai sanksi pidana.

Dalam Pasal 197 UU Nomor 36 Tahun 2009 disebutkan bahwa pelaku yang menjual obat tanpa izin dapat dijatuhi hukuman penjara maksimal 15 tahun dan denda maksimal Rp1,5 miliar.

Selain hukuman pidana, pelanggaran juga bisa dikenai sanksi administratif.

Ini termasuk pencabutan izin usaha bagi apotek atau fasilitas kesehatan yang terlibat dalam pengedaran obat keras tanpa prosedur yang benar.

Berdasarkan Pasal 198 UU Kesehatan, ada juga ancaman denda administratif bagi pelanggar regulasi.

Penyalahgunaan obat Golongan G sering kali terjadi akibat kurangnya pemahaman tentang bahaya obat tersebut.

Untuk mengatasi masalah ini, diperlukan langkah-langkah preventif dan edukasi kepada masyarakat.

Petama, Peningkatan Edukasi Kesehatan.

Pemerintah dan tenaga medis perlu aktif memberikan edukasi tentang bahaya penyalahgunaan obat Golongan G.

Kampanye kesehatan yang menginformasikan risiko efek samping, pentingnya resep dokter, dan cara menggunakan obat dengan benar bisa membantu mengurangi angka penyalahgunaan.

Kedua, Penguatan Pengawasan.

Pengawasan terhadap apotek dan fasilitas kesehatan harus diperkuat.

Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) bertanggung jawab untuk memastikan bahwa obat-obatan yang beredar di pasaran sesuai dengan regulasi yang ada.

Pengawasan rutin dan inspeksi dadakan bisa membantu mendeteksi potensi pelanggaran.

Ketiga, Penegakan Hukum yang Tegas.

Hukuman yang tegas bagi pelanggar peredaran obat keras harus diterapkan untuk memberikan efek jera.

Selain itu, aparat hukum perlu dilatih untuk mengenali dan menangani kasus penyalahgunaan obat keras dengan cepat dan efisien.

Keempat, Penyediaan Layanan Konsultasi.

Banyak kasus penyalahgunaan obat terjadi karena kurangnya akses masyarakat terhadap informasi yang benar.

Penyediaan layanan konsultasi di apotek atau klinik kesehatan, dimana pasien bisa bertanya mengenai obat yang mereka gunakan, sangat penting untuk mencegah penggunaan yang salah.

Meskipun regulasi sudah ada, penerapannya di lapangan seringkali masih menemui hambatan.

Salah satu tantangan terbesar adalah kurangnya edukasi di masyarakat mengenai bahaya penyalahgunaan obat Golongan G.

Banyak orang tidak menyadari potensi risiko yang ditimbulkan oleh obat ini ketika digunakan tanpa pengawasan, terutama karena rendahnya literasi kesehatan di berbagai kalangan.

Selain itu, distribusi ilegal obat keras juga menjadi masalah yang sulit diatasi.

Peredaran obat secara ilegal, baik melalui toko-toko obat tak berizin maupun secara daring, masih marak terjadi.

Pengawasan yang kurang optimal dari pihak berwenang turut memperburuk situasi ini.

Keterbatasan jumlah tenaga pengawas di BPOM dan instansi terkait lainnya membuat pengawasan terhadap penyalahgunaan obat menjadi tidak maksimal.

Akibatnya, banyak pelanggaran yang tidak terdeteksi, sehingga masalah penyalahgunaan obat Golongan G tetap menjadi ancaman serius di Indonesia.

Editor: Norben Syukur
TAG :
Baca Juga
LIPUTAN KHUSUS