PARBOABOA — Mochtar Lubis, seorang sastrawan dan jurnalistik hebat yang terkenal karena keberaniannya dalam mengkritisi pemerintah. Ia merupakan anak dari keluarga Batak Mandailing yang taat, dengan ayah yang bekerja sebagai Kepala Distrik Kerinci di masa Pemerintahan Hindia Belanda.
Ia dikenal karena karya dan keberaniannya dalam mengkritik terkait masalah sosial, serta aktivitasnya dalam dunia jurnalistik yang berani dan penuh kontroversi terhadap pemerintahan Orde Lama dan Orde Baru, serta karena perjuangannya untuk kebebasan pers di Indonesia.
Uniknya, Mochtar Lubis tidak sekadar menyajikan kritik mentah. Dia menggunakan narasi yang dalam dan penuh simbolisme, menciptakan gambaran yang tajam dan menohok tanpa harus secara eksplisit menyerang.
Ini menjadikan karya-karyanya sangat berpengaruh, menggugah pemikiran pembaca, dan membuka ruang untuk dialog yang lebih luas tentang peran media dan kebebasan berekspresi di Indonesia.
Latar Belakang Mochtar Lubis
Mochtar Lubis adalah seorang laki-laki berkebangsaan Indonesia yang menjadi seorang aktivis, sastrawan dan juga jurnalis terkemuka di negeri ini.
Ia lahir di Padang, Sumatera Barat pada 7 Maret 1922 dan wafat pada 2 Juli 2004.
Kehidupan keluarga yang penuh disiplin dan nilai-nilai agama mempengaruhi pandangan hidupnya, terutama dalam hal integritas dan kebenaran.
Sebagai seorang anak, Mochtar Lubis menyaksikan secara langsung dilema moral yang dihadapi ayahnya dalam menjalankan tugas sebagai pejabat pemerintahan Belanda, sebuah pengalaman yang kemudian ia tuangkan dalam karya cerpennya berjudul Kuli Kontrak.
Pendidikan Mochtar Lubis dimulai di Hollandsch-Inlandsche School (HIS) Sungai Penuh dan kemudian melanjutkan studi ekonomi di Kayutanam, Sumatera Tengah.
Meskipun memiliki keinginan untuk melanjutkan ke sekolah kedokteran, rencananya terhenti karena larangan sang ayah. Namun, hal ini tidak memupus semangat belajar Mochtar Lubis.
Ia belajar secara otodidak, menguasai beberapa bahasa asing, seperti Inggris, Belanda, dan Jerman, serta memperdalam pemahaman politik dan sosial yang menjadi pondasi pemikirannya sebagai sastrawan dan jurnalis kritis.
Sebagai wartawan, Mochtar Lubis dikenal karena keberaniannya. Ia pernah bekerja di Kantor Berita Antara, Harian Merdeka, dan mendirikan harian Indonesia Raya yang kemudian menjadi simbol kebebasan pers pada masanya.
Sikapnya yang kritis membuatnya berulang kali berhadapan dengan pemerintah, terutama di masa pemerintahan Soekarno dan Orde Baru. Mochtar beberapa kali ditahan akibat kritik tajam yang ia layangkan melalui tulisannya, namun hal ini tidak menyurutkan langkahnya untuk terus bersuara.
Selain itu, Mochtar Lubis selalu percaya bahwa tulisan dapat menjadi alat perubahan sosial yang lebih kuat daripada senjata.
Ia adalah sosok yang mengilhami banyak jurnalis dan penulis untuk tidak takut pada kekuatan rezim otoriter dan tetap memperjuangkan kebenaran, meski dalam kondisi yang sangat sulit.
Semangatnya terbukti dalam seluruh kariernya di jurnalistik, di mana ia kerap kali harus menghadapi represi.
Puncak pengakuan atas kontribusi Mochtar Lubis terhadap kebebasan pers dan sastra datang ketika ia menerima Magsaysay Award untuk Jurnalistik pada tahun 1958.
Penghargaan ini semakin memperkuat statusnya sebagai salah satu jurnalis terkemuka di Asia, meskipun ironisnya ia menerima penghargaan tersebut saat masih berada di penjara.
Karya dan Penghargaan
Karya-karya Mochtar Lubis menggambarkan realitas sosial yang keras, seringkali berlatar revolusi dan perjuangan kemerdekaan.
Novel-novelnya seperti Jalan Tak Ada Ujung, Harimau! Harimau!, dan Senja di Jakarta menyoroti berbagai aspek kehidupan masyarakat Indonesia di masa itu, dengan kritikan tajam terhadap para pemimpin yang dianggap lupa akan amanat perjuangan.
Selain menulis novel, Mochtar juga aktif menulis cerpen dan esai yang banyak diterbitkan di berbagai media.
Karya cerpennya yang terkenal antara lain Si Jamal, Perempuan, dan Kuli Kontrak. Karya-karya Mochtar juga kerap menampilkan humor dan kejutan dalam alur cerita, yang membuatnya sebanding dengan karya penulis internasional seperti Somerset Maugham.
Sebagai pengakuan atas kontribusinya, Mochtar Lubis menerima berbagai penghargaan, baik di dalam negeri maupun internasional. Salah satu penghargaan paling bergengsi yang pernah ia terima adalah Magsaysay Journalism and Literature Award pada tahun 1958.
Selain itu, ia juga dianugerahi Bintang Mahaputera Utama dari Pemerintah Indonesia pada tahun 2004, sebagai bentuk penghargaan atas dedikasinya di dunia sastra dan jurnalisme.
Mengutip dari Esi Kemendikbud, sebagai jurnalis, Mochtar Lubis juga pernah meraih Penghargaan Magsaysay dari Yayasan Magsaysay Filipina pada tahun 1958 dan Penghargaan Pena Emas dari Federasi Editor dan Penerbit Dunia pada tahun 1967 (Pamusuk Eneste [ed.], 2001).
Penulis: Dea Pitriyani