Kekang Kebebasan Berekspresi, Organisasi Pers Jakarta Tolak Revisi UU Penyiaran

Organisasi pers di Jakarta tolak revisi UU penyiaran. (Foto: Instagram/@aji.indonesia)

PARBOABOA, Jakarta - Penolakan terhadap revisi undang-undang (UU) penyiaran terus berdatangan.

Di Jakarta, sejumlah organisasi pers, pers mahasiswa dan kelompok pro demokrasi mengultimatum apabila revisi tetap dipaksakan.

Menurut mereka, revisi harus ditolak karena terdapat sejumlah pasal bermasalah. Pasal-pasal tersebut berpotensi membungkam kebebasan berekspresi yang merupakan pilar utama sistem demokrasi.

Adapun kelompok paling rentan adalah pekerja media atau jurnalis. Organisasi pers menilai, UU baru itu nantinya bisa saja digunakan untuk mengontrol dan menghambat kerja jurnalistik. 

Beberapa pasal bahkan mengandung ancaman pidana bagi jurnalis dan media, yang memberitakan hal-hal yang dianggap bertentangan dengan kepentingan pihak tertentu. 

"Ini jelas bertentangan dengan semangat reformasi dan demokrasi yang telah kita perjuangkan bersama," kata mereka dalam keterangan tertulis kepada Parboaboa, Jumat (24/5/2024).

Selain jurnalis, RUU ini juga berpotensi mendiskriminasi kaum marginal dan pekerja-pekerja kreatif di ranah digital.

Organisasi pers mengatakan, pembungkaman dan diskriminasi akan terjadi karena dalam Rancangan Undang-Undang (RUU) baru itu, ada kewenangan berlebihan diberikan kepada KPI untuk mengatur konten media.

Kata mereka, kewenangan besar tersebut dapat saja mengarah pada penyensoran dan pembungkaman kritik terhadap pemerintah dan pihak-pihak berkepentingan.

"Seperti termuat pada draf pasal 8A huruf q, pasal 50B huruf c dan pasal 42 ayat 2," tegas organisasi pers.

Sementara itu, adanya ancaman pidana bagi jurnalis yang melaporkan berita yang dianggap kontroversial merupakan bentuk kriminalisasi terhadap profesi jurnalis.

Independensi media juga bisa terancam, karena UU baru tersebut dapat digunakan untuk menekan media-media agar berpihak kepada pihak-pihak tertentu saja.

Organisasi pers menegaskan, hal ini dapat merusak independensi media dan keberimbangan pemberitaan, seperti termuat dalam draf pasal 51E.

Dampak paling mengkhawatirkan, revisi UU penyiaran berpotensi mengancam keberlangsungan lapangan kerja pekerja kreatif, seperti tim konten Youtube, podcast, pegiat media sosial dan lain sebagainya.

Dibayang-bayangi oleh ancaman tersebut di atas, dan terutama untuk menegakkan kebebasan berekspresi dan kebebasan pers, organisasi pers mendesak agar DPR segera menghentikan pembahasan revisi UU penyiaran dengan pasal-pasalnya yang bermasalah.

Selain itu, mereka juga meminta DPR RI untuk melibatkan organisasi pers, akademisi, dan masyarakat sipil dalam penyusunan kebijakan yang berkaitan dengan kebebasan pers dan kebebasan berekspresi.

"Guna memastikan bahwa setiap regulasi yang dibuat harus sejalan dengan prinsip-prinsip demokrasi dan kebebasan pers."

Organisasi pers juga menyerukan agar seluruh insan pers, pekerja kreatif dan pegiat media sosial di Jakarta untuk bersiap turun ke jalan melakukan aksi protes ke DPR RI.

"Kami akan terus mengawal proses legislasi ini dan siap melakukan aksi massa jika tuntutan kami tidak dipenuhi," kata mereka mengingatkan.

Organisasi pers ini terdiri dari AJI Jakarta, Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Jaya, Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia (IJTI) Jakarta Raya, Pewarta Foto Indonesia (PFI) dan Serikat Pekerja Media dan Industri Kreatif Untuk Demokrasi (SINDIKASI).

Selain itu, LBH Pers Jakarta, LPM Institut UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, LPM Progress Universitas Indraprasta PGRI, LPM KETIK PoliMedia Kreatif Jakarta, LPM Parmagz Paramadina, LPM SUMA Universitas Indonesia, LPM Didaktika Universitas Negeri Jakarta, LPM ASPIRASI - UPN Veteran, Mata IBN Institute Bisnis Nusantara LPM Media Publica, dan LPM Unsika.

Sebelumnya, KPI mendesak DPR merevisi UU penyiaran agar pihaknya bisa mengontrol seluruh jenis penyiaran baik media digital maupun konvensional.

Anggota KPI Pusat, Mimah Susanti menerangkan, revisi sekaligus pengesahan diperlukan lantaran teknologi digital mengalami perkembangan yang sangat pesat.

Ia khawatir jika tidak direvisi bisa berdampak buruk bagi generasi muda bangsa seperti terorisme, radikalisme, dan kekerasan.

Selain itu, menurut dia, saat ini belum ada perlakuan yang sama antara media konvensional dengan media digital.

Media konvensional tegasnya cenderung mendapat kontrol yang kuat dari KPI dan masyarakat sendiri, juga membayar pajak. 

Sementara itu media digital tidak demikian; kejar tayang tapi tak bayar pajak. Lebih bahaya lagi, kontennya membahayakan anak-anak. 

"Seperti narkoba, kriminalitas, ideologi Barat, pergaulan bebas dan lain-lain," kata Mimah.

Sementara itu, anggota DPR RI sekaligus politisi PKS, Abdul Kharis Almasyhari juga menyatakan revisi UU penyiaran semata-mata untuk menciptakan keadilan media digital dan konvensional.

Isu sentralnya, demikian ia menegaskan, "seluruh bentuk penyiaran harus dengan perlakuan hukum yang sama."

Editor: Gregorius Agung
TAG :
Baca Juga
LIPUTAN KHUSUS