Kontroversi Cadar Wanda Hara: Kebebasan Berekspresi atau Pelanggaran Norma Sosial?

Sosok Wanda Harra yang diduga melakukan penistaan terhadap agama Islam (Foto: Instagram/@wanda_haraa)

PARBOABOA, Jakarta – Larangan berekspresi dan berpendapat menjadi fakta yang lumrah dijumpai di Indonesia beberapa tahun terakhir.

Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) mencatat sepanjang tahun 2020-2021, terdapat 44 kasus pelanggaran kebebasan berekspresi dan berpendapat. 

Kasus-kasus ini terdiri dari 29 pengaduan masyarakat dan 15 kasus yang terdeteksi melalui pemantauan media oleh Tim Pemantauan Situasi Kebebasan Berekspresi dan Berpendapat.

Menurut Koordinator Bidang Pemantauan dan Penyelidikan, Endang Sri Melani, kebanyakan kasus terjadi di ruang digital.

"Sebanyak 52 persen dari 44 kasus tersebut terjadi di ruang digital" ungkap Endang dalam Konferensi Pers Situasi Kebebasan dan Berekspresi Tahun 2020-2021 pada Senin (17/01/2022) lalu.

Selain itu, pelanggaran kebebasan berpendapat dan berekspresi juga terjadi pada karya jurnalistik (19%), pendapat di muka umum (17%), diskusi ilmiah (10%), dan kesaksian di pengadilan (2%).

Terbaru, penampilan pengarah gaya (fashion stylist) Wanda Hara yang menghadiri kajian Ustadz Hanan Attaki pada Senin (22/07/2024) juga memicu kritikan pedas dari sejumlah kalangan.  

Wanda yang saat itu mengenakan cadar, hijab dan duduk di saf perempuan dilaporkan pengacara Mohammad Rizki Abdullah dengan tuduhan melakukan penistaan terhadap agama Islam. 

"Saya Mohammad, atas nama pribadi dan mewakili umat Muslim serta tim hukum Muslim, merasa sangat kecewa dan tersinggung dengan tindakan yang diduga dilakukan Saudara Irwansyah alias Wanda Hara, yang kami nilai telah melakukan penistaan terhadap agama Islam," ungkapnya membacakan laporan, Rabu (24/07/2024).

Menurut Mohammad, tindakan tersebut melanggar ketentuan agama karena seharusnya Wanda duduk di saf laki-laki.

"Sebagai seorang laki-laki, dia telah menyalahgunakan wewenangnya. Berdasarkan kajian kami, ini sudah masuk ke ranah pidana terkait dugaan penistaan agama," tegasnya.

Meski Wanda telah menyampaikan permintaan maaf melalui media sosial, Mohammad menegaskan permintaan maaf itu tidak menghapus aspek hukum yang harus tetap ditegakkan.

"Karena tindakannya telah melukai umat Islam. Harus ada sanksi sosial sebagai pembelajaran," lanjutnya.

Mohammad juga menambahkan laporan tersebut menjadi alarm peringatan bagi masyarakat agar tidak melakukan tindakan serupa yang bertendensi norma agama lain.

Wanda diduga melanggar Pasal 156a KUHP terkait Penistaan Agama dan diancam dengan hukuman penjara hingga lima tahun.

Adapun barang bukti yang diajukan termasuk rekaman video dari media sosial dan kesaksian dari saksi.

Laporan ini telah diterima Bareskrim Polri dengan nomor LP/B/247/VII/2024/SPKT/BARESKRIM POLRI pada Rabu (24/07/2024).

Perihal Kebebasan Berekspresi

Di Indonesia, kebebasan berekspresi diatur oleh Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia serta Pasal 28E Ayat (3) UUD 1945, yang menjamin hak setiap individu untuk bebas dari diskriminasi dan memiliki hak yang sama di depan hukum. 

Unsur lain yang termasuk dalam ketentuan UU tersebut adalah hak untuk mengekspresikan diri melalui penampilan pribadi.

Ahli Hukum dan HAM Universitas Indonesia, Sri Rahayu, dalam sebuah keterangan menegaskan bahwa kebebasan berekspresi termasuk dalam hak dasar yang dilindungi UU. 

"Namun, hak ini tidak bersifat mutlak dan harus memperhatikan batasan-batasan tertentu yang diatur untuk menjaga ketertiban umum dan norma sosial," katanya.

Keputusan Wanda untuk mengenakan cadar, lanjut Rahayu adalah bentuk ekspresi pribadi yang sah, tetapi harus diperhatikan dalam konteks norma sosial dan agama yang berlaku.

Ia menyinggung ketentuan Pasal 28J UUD 1945 yang menegaskan bahwa kebebasan berekspresi dapat dibatasi untuk melindungi hak-hak orang lain dan menjaga ketertiban umum. 

Lebih jauh, kontroversi penampilan Wanda mencerminkan ketegangan antara kebebasan individu dan norma sosial. 

Dalam konteks hukum dan sosial, isu ini berhubungan dengan bagaimana hukum mengatur batasan terhadap kebebasan berekspresi dan norma sosial.

Menurut Sosiolog Siti Aminah (2010) dalam modul "Generasi Muda, Generasi Berbhineka Tunggal Ika", kontroversi semacam ini menunjukkan ketegangan antara hak individu untuk mengekspresikan diri dan kebutuhan untuk mempertahankan norma sosial. 

"Mengenakan cadar di acara publik dapat memicu perdebatan tentang apakah ini merupakan penghormatan terhadap norma atau justru tantangan terhadapnya,” ungkap Aminah.

Kasus Wanda juga menyoroti interaksi antara kebebasan berekspresi dengan norma sosial/hukum, di mana keputusan individu seringkali dipengaruhi dan mempengaruhi konteks sosial yang lebih luas. 

Lebih lanjut, persoalan serupa menunjukkan bahwa pemahaman tentang kebebasan berekspresi dan identitas pribadi harus mempertimbangkan, baik aspek hukum maupun norma sosial yang ada.

Apa Dampaknya Bagi Citra Selebriti? 

Dalam dunia hiburan, citra publik sangat penting. Selebriti seperti Wanda seringkali mengelola penampilannya untuk mendukung karier mereka dan berhubungan dengan penggemar. 

Penampilan Wanda dengan cadar bisa dipandang sebagai langkah strategis untuk menarik perhatian, namun dapat pula membawa risiko terhadap reputasinya.

Anggota Yayasan Jurnal Perempuan, Maria Noviyanti Meti menilai bahwa tindakan Wanda tergolong sebagai strategi pencitraan.

“Dalam dunia hiburan, langkah-langkah yang diambil oleh selebriti seringkali terkait dengan strategi pencitraan," ungkapnya kepada PARBOABOA, Rabu (24/07/2024). 

Tindakan Wanda mengenakan cadar bisa dilihat sebagai usaha untuk menciptakan kontroversi yang dapat meningkatkan visibilitasnya. 

Namun demikian, tindakan serupa "juga berisiko merusak citra jika dianggap tidak konsisten dengan brand yang sudah ada,” sambung Maria. 

Di sisi lain, jika Wanda dapat menunjukkan bahwa penampilannya bersifat autentik dan konsisten dengan keyakinan pribadi, maka hal ini memperkuat citra sebagai individu yang berani dan tulus. 

Kasus Wanda membuka diskusi baru mengenai hak berekspresi, dampak terhadap citra publik, dan bagaimana penampilan pribadi berinteraksi dengan norma sosial dan hukum. 

Dengan mempertimbangkan perspektif hukum, dampak citra, dan kontroversi sosial, publik diminta untuk memahami strategi untuk menyeimbangkan kebebasan pribadi dengan tanggung jawab sosial.

"Itu semua agar kita tidak salah kaprah. Lebih dari itu, supaya kita dapat menempatkan diri sebagaimana mestinya sesuai dengan konteks ruang dan waktu," tutupnya.

Editor: Defri Ngo
TAG :
Baca Juga
LIPUTAN KHUSUS