PARBOABO, Jakarta - Indonesia menjadi salah satu bagian dari ASEAN, dengan kelemahannya yakni setiap keputusan harus diambil berdasarkan konteks.
Demikian disampaikan Doktor Ilmu Pertahanan Unhan RI Ke-38, Dr. Theo L. Sambuaga dalam diskusi bertajuk “Catatan Awal Tahun: Menimbang Visi dan Misi Capres dan Evaluasi Tentang Politik Luar Negeri”, Kamis (11/1/2024).
Ia juga memberi contoh kasus Rohingya, di mana Indonesia dan beberapa negara ASEAN memiliki prinsip selalu menerima pengungsi Rohingya.
“Dalam kasus Rohingya, ASEAN tidak pernah bisa mengambil keputusan secara konteks sehingga selama kasus mengenai Rohingya ini menjadi terabaikan,” paparnya.
Contoh lain yakni Laut Cina Selatan (LCS) karena adanya Claim antara negara seperti Vietnam, Filiphina, Malaysia dan China dan Indonesia.
“Terakhir China malah mengklaim sebagian ZEE Indonesia sebagai wilayahnya yang ditentang Indonesia dan juga PBB. Karena masalah saling klaim antar negara, keputusan soal LCS tidak bisa diambil kesepakatan bersama” lanjut Theo.
Sementara itu Peni Hanggarini, dosen Program studi Hubungan Internasional Universitas Paramadina mengamati, diplomasi kebijakan luar negeri Indonesia selama 10 tahun terakhir harus diberi penghargaan, yaitu pencapaian prioritas, penguatan diplomasi ekonomi, diplomasi perlindungan WNI, diplomasi perlindungan, diplomasi Indonesia bagi perdamaian dan stabilitas di kawasan dan dunia, serta peningkatan infrastruktur diplomasi.
Peni berharap pada 10 bulan ke depan hendaknya bisa lebih banyak tekanan grand strategi diplomasi ekonomi dan grand strategi untuk meningkatkan peran strategis, serta peran strategis diaspora Indonesia.
“Tinjauan terhadap Visi Misi para Capres perihal kebijakan luar negeri dan kritik para capres sebenarnya telah disampaikan oleh Menlu Retno Marsudi bahwa Diplomasi Indonesia tidaklah transaksional atau inwardlooking dan Indonesia telah berperan penting di tingkat multilateral” kata Peni.
Seperti pandangan terhadap kebijakan luar negeri indonesia di masa mendatang di mana ada tantangan dari lingkungan eksternal seperti, dampak persaingan di Indo-Pasifik, dampak potensi perang berlarut, tantangan terhadap sentralitas ASEAN dan Peluang kerjasama organisasi antar kawasan.
Sementara dosen Paramadima, Asriana Issa Sofia melihat isu-isu globalisasi, soft power, nation branding, dan diplomasi publik menjadi masalah utama yang dihadapi Indonesia saat ini.
“Soft power sebagai sebuah instrumen suatu negara yang dapat mengelola proses internasionalnya dengan berhubungan di tingkat dunia, dengan menggunakan soft power. Dengan menggunakan instrumen yang berbeda, yaitu pendekatan diplomasi, pertukaran internasional, budaya, kuliner, dan olahraga,” kata Asriana.
Khusus hard power, Asriana melihat national image atau national branding secara otomatis menjadi reputasi yang tercetak di Indonesia dan bisa ditangkap.
“Promosi/iklan tentang profil Indonesia yang harus dilihat oleh negara lain. Di situlah perlunya maksimalisasi soft power selain hard power” kata Asriana.
Ketahanan Pertahanan Siber
Narasumber lainnya, Dosen Ilmu Hubungan Internasional, Riza Widyarsa melihat pengguna internet di Indonesia cukup tinggi, hal tersebut dipengaruhi oleh populasi Indonesia itu sendiri.
“Berdasarkan data BSSN tahun 2022, terdapat 976 juta serangan hacker di Indonesia, dan 14,75 persen kebocoran data secara sangat signifikan. Beberapa paslon juga berdiskusi mengenai serangan cyber yang terjadi di Indonesia” ujar Riza.
Melihatnya, permasalahan yang terjadi adalah SDM memiliki kemampuan untuk membuat sebuah sistem pencegahan keamanan siber, karena data sangat privat dan sensitif.
“Memang benar seperti yang dikatakan oleh salah satu paslon bahwa internet yang dimiliki oleh Indonesia harus bagus, cepat dan stabil. Tetapi harus diimbangi dengan SDM yang mumpuni dalam bidangnya,” ungkapnya.
Tidak hanya soal ketahanan Cyber, data Badan Pusat Statistik, Indonesia juga masih melakukan impor terhadap susu, beras, dan lain sebagainya.
“Hal ini yang membuat Indonesia menempati peringkat ke-63 berdasarkan Global Food Security Indeks berdasarkan data pada tahun 2022. Oleh karena itu, Indonesia sejak jaman Soeharto, SBY dan Jokowi membuat lumbung pangan atau food estate,” tambahnya.
Program ketahanan pangan kita menurutnya, berdampak besar terhadap lingkungan terutama di Kalimantan. Karena membabat hutan lindung sehingga membuat ekosistem menjadi rusak dan bersinggungan dengan tanah adat.
“Ditambah dengan jenis tanaman yang akan ditanam sehingga berdampak pada kerusakan alam,” tutupnya
Editor: Aprilia Rahapit