Melihat Pernikahan Dini dalam Novel Gadis Pantai Karya Pramoedya Ananta Toer

Novel Gadis Pantai karya Pramoedya Ananta Toer, (Foto: Instagram/@kedai-pataba)

PARBOABOA - Pernikahan dini di Indonesia ternyata sudah ada sejak zaman Hindia-Belanda sampai saat ini. Hal ini dituliskan Pram dalam novelnya. 

Pram adalah salah satu sastrawan Indonesia yang telah menghasilkan banyak karya sastra, seperti novel. Salah satunya adalah Gadis Pantai.

Dalam novel gadis pantai, menggambarkan kehidupan masyarakat pribumi terutama kaum perempuan yang selalu dinomorduakan di zaman Hindia-Belanda. 

Pembatasan akses terhadap pendidikan serta perjuangan para pahlawan perempuan menjadi kisah yang sangat berkesan.

Amin Abdullah, dalam jurnalnya yang berjudul Perempuan Indonesia Sampai Awal Abad ke-20 menuliskan bahwa, perempuan mengalami banyak bentuk penindasan. 

Seperti laki-laki bebas menikah dan menceraikan perempuan adalah hal yang sangat tidak menghargai kaum perempuan.

Kejadian ini dikarenakan tidak adanya aturan yang jelas tentang poligami, bahkan pernikahan dini juga diwajibkan meski tanpa persiapan fisik dan psikis. 

Dalam jurnal yang berjudul Belenggu Patriarki pada Peran Laki-Laki Bangsawan Jawa dalam Film Kartini Karya Hanung Bramantyo (Ulmi dan Johan), menyoroti sistem patriarki yang masih kuat. 

Seorang pria bangsawan memiliki kekuasaan lebih dalam hidupnya, seperti bisa memiliki istri lebih dari satu, membuat keputusan, dan mengatur keluarganya sesuai budaya yang berlaku. 

Sementara, perempuan harus menerima keputusan yang dibuat oleh ayah, saudara laki-laki, suami, dan lingkungan.

Tidak sekedar dikenang, kisah-kisah itu berhasil mencuri perhatian Pramoedya Ananta Toer atau Pram untuk dituliskan dalam sebuah novel yang berjudul Gadis Pantai. 

Novel ini terinspirasi dari kisah neneknya yang juga merupakan korban dari pernikahan dini dan sistem patriarki yang kental pada abad ke-20.

Karakter utama dalam novel ini adalah seorang gadis mungil yang berusia 14 tahun, dari Pulau Jawa. Ia adalah Gadis Pantai. 

Dengan usianya yang masih muda, ia terpaksa harus menikah dengan Bondoro (sebutan untuk kelompok bangsawan di pulau Jawa), karena pengaruh adat zaman itu.  

Selain itu, kekayaan dan kekuasaan yang dimiliki oleh Bandoro membuat para orang tua, termasuk orang tua Gadis Pantai, sangat berharap agar anak-anak perempuan mereka dinikahi oleh kaum bangsawan.

Tetapi, hal ini justru membawa gadis pantai ke nasib yang buruk. Ia diceraikan begitu saja oleh Bandoro, karena suatu kewajiban. 

Bagi Bandoro, Gadis Pantai hanyalah bahan percobaan hingga menemukan perempuan yang setara dengan statusnya untuk menggantikannya. 

Tren Pernikahan Dini Saat ini. 

Pernikahan dini menjadi salah satu isu sosial yang terus menjadi perhatian di berbagai negara, termasuk Indonesia. 

Meski berbagai upaya telah dilakukan, angka pernikahan dini masih menunjukkan peningkatan di beberapa daerah, salah satunya Nusa Tenggara Barat (NTB). 

NTB merupakan provinsi dengan angka pernikahan dini tertinggi di Indonesia. Menanggapi hal tersebut, pemerintah segera mengambil langkah-langkah untuk mengatasi tingginya angka pernikahan dini di wilayah tersebut.

Pribudiarta Nur Sitepu Sekretaris Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) mengatakan, Kemen PPPA akan terus memberikan pendampingan dan kunjungan kerja ke NTB sebagai upaya mendukung penurunan angka pernikahan ini.

Data ini dikutip langsung dari website resmi Kemen PPPA pada, 1/11/2024. 

Tidak hanya itu, menurut data dari Pengadilan Agama Pemalang, Jawa Tengah, pada 2023 terdapat 667 permohonan dispensasi nikah untuk pernikahan dini, dan pada Juni 2024 terdapat 300 permohonan. 

Meski mengalami penurunan, tetapi angka ini sangat tidak sedikit.

Dalam konteks masa Hindia-Belanda atau abad ke-20, Pernikahan dini terjadi sebagian besar dipengaruhi oleh tekanan orang tua akibat kondisi sosial dan pengalam pribadi anak perempuan saat itu. 

Namun zaman sudah berbeda, tetapi hal itu masih kurang lebih sama dengan fenomena saat ini. 

Sekarang pernikahan dini terjadi karena berbagai faktor, termasuk tekanan sosial, kondisi ekonomi, dan budaya lokal yang masih menganggap pernikahan di usia muda sebagai hal yang wajar.

Penulis: Maria Manjur

Editor: Rista
TAG :
Baca Juga
LIPUTAN KHUSUS