PARBOABOA, Jakarta - Lima Organisasi Profesi Kesehatan menilai pembahasan RUU Kesehatan hanya akan mengulang sejarah buruk proses penyusunan legislasi di Indonesia dengan metode Omnibus Law.
Lima organisasi itu yaitu Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (PB IDI), Persatuan Dokter Gigi Indonesia (PDGI), Persatuan Perawat Nasional Indonesia (PPNI), Ikatan Bidan Indonesia (IBI) dan Ikatan Apoteker Indonesia (IAI).
Ketua Umum Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (IDI), Moh. Adib Khumaidi, mencontohkan pembahasan RUU dengan cara omnibus law pernah dilakukan dalam Undang-Undang Cipta Kerja yang proses hingga substansinya dinilai carut marut.
Saat ini pembahasan RUU Kesehatan di DPR telah masuk pembahasan tingkat I dan akan dilanjutkan ke pembahasan tingkat II.
"Banyak substansi dari beberapa pasal dalam RUU Kesehatan ini berpotensi munculnya banyak pelanggaran hak asasi manusia dan hak konstitusional warga negara yang sejatinya dijamin konstitusi kita," kata Adib di Sekretariat PB IDI, Senin (19/6/2023).
Adib juga khawatir banyak pelanggaran hak asasi manusia (HAM) dan hak konstitusional justru diabaikan dalam pembahasan RUU Kesehatan sehingga berpotensi merugikan masyarakat luas.
Sementara menurut Ketua Ikatan Apoteker Indonesia (IAI), Noffendri, perjuangan penolakan RUU Kesehatan bukan hanya milik organisasi profesi, tapi juga milik tenaga medis dan kesehatan serta rakyat Indonesia.
"Saat ini masih banyak yang menyadari dampak dari RUU Kesehatan ini pada masyarakat," katanya di lokasi yang sama.
Menurutnya, berbagai upaya diskusi telah dilakukan tenaga medis dan kesehatan melalui lima Organisasi Profesi ini, tapi pemerintah dan DPR bersikukuh RUU Kesehatan harus segera disahkan.
"Padahal, tenaga medis dan kesehatan melalui 5 organisasi profesi telah memberikan masukan bahwa untuk penanganan masalah kesehatan yang ada dan mendatang tidak perlu membuat Undang-Undang baru," ungkap Noffendri.
Ia melanjutkan, masih banyak permasalahan kesehatan di Indonesia terlebih di wilayah terpencil yang jauh lebih mendesak ditangani.
Bendahara Ikatan Bidan Indonesia (IBI), Herdiawati menegaskan, permasalahan kesehatan saat ini di Indonesia jauh lebih penting untuk ditangani pemerintah, daripada membuat Undang-Undang baru.
Apalagi, lanjut dia, pelaksanaan UU yang sudah ada saja masih belum maksimal malah memunculkan UU baru.
"UU yang baru mengganti banyak konteks penting dalam kesehatan yang nantinya akan berdampak pada masyarakat luas," ungkapnya.
Sementara itu, Ketua Biro Hukum dan Kerjasama Antar Lembaga PDGI, Paulus Januar Satyawan menyatakan prosedur penyusunan dan pembahasan RUU Kesehatan sejak awal menimbulkan problematika hukum yang panjang di kalangan ahli.
"Mulai dari pelanggaran asas, tidak terjadinya sinkronisasi dan harmonisasi antara naskah akademik dengan RUU sampai ditabraknya pilar pokok meaningfull participation (partisipasi bermakna, red)," kata Paulus.
Menurutnya, hal tersebut cukup kuat sebagai dasar terjadinya proses sesuai prosedur terhadap RUU tersebut.
"Sehingga secara formil jika RUU Kesehatan ini dipaksakan untuk disahkan menjadi UU, tentu menjadi cacat hukum," tegasnya.
Dari dua kajian hukum itu, lima organisasi profesi kesehatan akan mengajukan hak uji materi atas UU Kesehatan tersebut di Mahkamah Konstitusi RI.
Lima organisasi kesehatan juga meminta Presiden Joko Widodo dan DPR tidak segera mengesahkan RUU Kesehatan menjadi UU tanpa memperhatikan segala dinamika yang terjadi di masyarakat.
Organisasi profesi kesehatan ini juga mengapresiasi fraksi di DPR yang menolak RUU Kesehatan ini. Salah satunya Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS).
Fraksi PKS sebelumnya menilai, penyusunan RUU Kesehatan harus dilakukan secara menyeluruh, teliti dan melibatkan pemangku kepentingan terkait, sehingga tidak ada pengaturan yang luput dan kontradiksi agar nantinya tidak menimbulkan kontroversi dan polemik.
Catatan RUU Kesehatan dari Fraksi PKS di antaranya negara berkewajiban memenuhi salah satu hak dasar masyarakat, penyusunan RUU Kesehatan yang dibahas dengan metode omnibus tidak boleh menyebabkan kekosongan peraturan, kontradiksi peraturan, dan juga harus memastikan partisipasi bermakna dalam penyusunan.
Fraksi PKS berpendapat, sangat tidak layak memasukkan klausul Asuransi Kesehatan komersial yang disandingkan dengan Sistem Jaminan Sosial Nasional dan ada kerawanan terkait tenaga medis dan tenaga Kesehatan warga negara asing yang dapat melakukan praktik pada fasilitas pelayanan kesehatan di Indonesia dalam rangka investasi atau non investasi.
Untuk diketahui, penyusunan RUU menggunakan metode omnibus. Diatur dalam pasal 64 ayat 1 UU No. 13/2022 tentang perubahan kedua atas Undang-undang No. 12/2011 tentang pembentukan Peraturan Perundang-Undangan.
RUU Kesehatan akan mencabut dan menyatakan 9 UU tidak berlaku. Di antaranya, UU No. 4/1984 tentang Wabah penyakit menular, UU 29/2004 tentang praktik kedokteran, UU 36/2009 tentang kesehatan, UU 36/2014 tentang Tenaga Kesehatan, UU 38/2014 tentang Keperawatan, UU 4/2019 tentang Kebidanan dan UU 44/2009 tentang Rumah Sakit.
RUU Kesehatan juga akan mengubah, menghapus, dan/atau menetapkan pengaturan baru pada beberapa ketentuan dalam empat Undang-undang di antaranya UU No. 20/2003 tentang Sisdiknas, UU No. 12/2012 tentang Pendidikan Tinggi dan UU No. 40/2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional.