JAKARTA, PARBOABOA, - Mahkamah Konstitusi (MK) mengoreksi ketentuan Parliamentary Threshold (ambang batas) 4 persen sebagai syarat masuk parlemen.
MK menilai syarat ambang batas parlemen 4 persen sebagaimana tercantum dalam Pasal 414 ayat (1) UU Nomor 7 tahun 2017 tentang Pemilu, berpotensi melanggar kedaulatan rakyat.
Meski belum berlaku di pemilu 2024 serta formulasi baru Parliamentary Threshold masih menunggu pembahasan Pemerintah bersama DPR, partai-partai gurem mulai unjuk ekor.
Mereka optimis, kendala masuk parlemen yang berbenturan dengan aturan ambang batas selama ini telah mulai dibukakan pintu masuknya oleh MK.
Lantas, mereka mengusulkan dan mendesak agar ambang batas dihapus menjadi 0 persen dan tidak sedikit juga yang mengusulkan agar atauran ini mulai diberlakukan di pemilu 2024.
Namun demikian, keinginan politik ini tidak semulus dengan apa yang dipikirkan. Paling tidak argumentasi partai-partai yang tak lolos parlemen harus melalui persetujuan kekuatan politik partai-partai besar di Senayan.
Apalagi sejauh ini beberapa partai lama, salah satunya NasDem ngotot mempertahankan batas Parliamentary Threshold 4 persen. Bahkan, diusulkan untuk dinaikan demi terwujudnya penyederhanaan partai politik.
Di tengah perdebatan politis ini, bagaimana seharusnya ketentuan Parliamentary Threshold diterapkan? Apakah ketentuan ambang batas dihapus sama sekali atau dipertahankan?
Pengamat Politik Universitas Nasional (Unas), Selamat Ginting menilai, Parliamentary Threshold tetap penting untuk menjaga stabilitas politik.
Soal berapa ketentuan ambang batas, itu nanti tinggal dicarikan kesepakatan (konsensus) bersama antara pemerintah bersama DPR.
Menurut dia, kalau partai terlalu banyak suara rakyat yang terkonversi di partai-partai kecil malah bisa hilang karena tidak terakomodasi dalam bentuk perwakilan kursi di DPR RI.
Karena itu, ketentuan Parliamentary Threshold ini kata dia harus segera dicarikan jalan keluar, apakah memang 4 persen, diturunkan menjadi 3 persen atau malah justru harus dinaikan.
"Barangkali juga perlu ditambah malah bukan 4 persen misalnya, 5 atau 6 persen," kata Selamat kepada PARBOABOA, Senin (4/3/2024).
Memang ada kesan ketidakadilan kalau Parliamentary Threshold tetap diberlakukan, terutama bagi partai-partai gurem. Namun, ia menegaskan untuk apa juga eksis kalau partai hanya menjadi pelengkap penderita di tengah ketidakstabilan politik.
Sementara itu, soal bagaimana nasib partai-partai kecil tidak lolos Parliamentary Threshold, Selamat menyarankan untuk bergabung dengan partai lama yang ideologinya sama.
Misal, partai baru yang condong ke Islam, silakan bergabung dengan partai-partai berideologi Islam yang telah ada.
"Yang cenderung ke nasionalis kiri silakan gabung ke nasionalis tengah begitu juga kelompok religus kanan tengah, religius kanan luar. Jadi biarkan saja itu berjalan," kata Selamat.
Ia juga menyoroti bahwa sistem parliamentary threshold telah berkontribusi pada pengurangan jumlah partai politik yang berlebihan, seperti yang terjadi dalam pemilihan umum tahun 1955 dan 1999.
Saat itu jumlah partai politik lebih dari 48 namun setelah diberlakukan sistem ambang batas hanya menyisahkan sekitar 9 dan paling banyak 10 partai.
"Jadi untuk apa memaksakan diri untuk parlemen dengan menghilangkan parlementary Threashold."
Ia menekankan bahwa keputusan Mahkamah Konstitusi bukanlah untuk menghapus ambang batas parlemen, tetapi untuk mengembalikannya kepada pembuat undang-undang, yaitu pemerintah dan DPR agar menegosiasikan nilai ambang batas yang paling tepat.
"Jadi biarlah hasil pemilu 2024 ini nantinya akan menjadi bahan prolegnas untuk membahas nilai atau titik temu parlementary Threashold itu," tegasnya.
Tetapi, "saya kira dititik nol kan bukan jalan yang bagus," tutupnya.
Editor: Gregorius Agung