PARBOABOA, Jakarta - Kamis 6 Agustus 2024, Warga Dairi, Sumatra Utara kembali menggeruduk Mahkamah Agung (MA).
Mereka mendesak Mahkamah menegakkan keadilan bagi warga dengan membatalkan izin operasi proyek pertambangan seng dan timbal milik PT Dairi Prima Mineral (DPM) yang beroperasi di wilayah itu.
Aspirasi dan desakan ini diserukan dengan aksi budaya teatrikal dan mangandung.
Bagi warga Dairi, proyek tambang seng dan timbal tidak hanya mengancam lingkungan, tetapi juga mata pencaharian mereka sebagai petani, yang mencapai 83% dari total populasi.
Ancaman terhadap sumber mata air dan ruang hidup adalah kekhawatiran utama yang mendorong mereka untuk terus berjuang.
Aksi ini merupakan lanjutan dari perjalanan panjang warga dalam mencari keadilan. Pada 14 Februari 2024, mereka telah mengajukan gugatan kasasi ke Mahkamah Agung setelah Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara (PTTUN) Jakarta, pada 22 November 2023, menyatakan Persetujuan Lingkungan PT DPM sah.
Persetujuan ini diterbitkan oleh Kementerian KLHK melalui SK No. 854/Menteri LHK/SETJEN/PLA.4/8/2022 tentang Kelayakan Lingkungan Hidup PT DPM.
Ironisnya, sebelum putusan PTTUN keluar, Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta sempat memutuskan bahwa Persetujuan Lingkungan PT DPM tidak sah dan memerintahkan KLHK untuk mencabut izin tersebut pada 24 Juli 2023.
Warga mencium adanya ketidakberesan dalam proses hukum ini, terutama setelah hakim PTTUN memberikan keputusan yang bertolak belakang. Kecurangan diduga terjadi dalam rantai proses hukum tersebut, dan hakim terkait kini telah dilaporkan.
Barisman Hasugian, salah satu penggugat mendesak majelis hakim bersedia mendengarkan permohonan masyarakat yang merasa hak hidup mereka dirampas oleh kehadiran tambang PT DPM.
"Membatalkan putusan PTTUN Jakarta dan menguatkan putusan PTUN Jakarta yang menyatakan Persetujuan Lingkungan PT DPM tidak sah," ungkap Barisman di depan Gedung MA.
Baginya, perjuangan ini bukan sekadar pertarungan legalitas, melainkan usaha mempertahankan ruang pertanian yang menjadi sumber kehidupan warga.
"Kami tidak butuh tambang. Sekali tambang datang, ruang pertanian kami hilang, hidup kami pun lenyap," tambanhnya.
Di tengah kerumunan aksi, Mentoria Situmorang, salah satu perwakilan warga Dairi, tampil sebagai pangandung dalam aksi teatrikal.
Ia menjelaskan bahwa aksi teatrikal ini bertujuan untuk menceritakan kehidupan warga Dairi yang dulunya bahagia karena melimpah hasil pertanian.
Namun, kedatangan PT DPM membawa serangkaian persoalan, seperti pembangunan mulut terowongan tambang, gudang bahan peledak, dan bendungan limbah yang dekat dengan rumah mereka.
Kekhawatiran juga muncul karena PT DPM membangun fasilitas bendungan limbah seluas 34 hektar, dengan tinggi 30 meter yang terletak di hulu desa, di atas tanah yang tidak stabil.
"Bagaimana jika bendungan tersebut jebol dan mengubur kampung kami yang ada di hilir?" tukas Barisman.
Rohani Manalu, perwakilan dari Yayasan Diakonia Pelangi Kasih (YDPK), menambahkan bahwa sebelum memutuskan untuk mengajukan gugatan kasasi, warga Dairi telah menempuh berbagai upaya dan mendapatkan perhatian dari berbagai pihak.
Ia mengingatkan pemantauan langsung yang dilakukan oleh Komnas Perempuan dan Komnas HAM pada tahun 2023, yang menghasilkan rekomendasi kepada KLHK dan Kementerian ESDM untuk membatalkan proyek PT DPM. Proyek ini dianggap memicu konflik sumber daya alam dan tata ruang serta melanggar hak asasi manusia.
Rohani menegaskan bahwa konstitusi Indonesia telah menjamin perlindungan dan pemenuhan hak asasi manusia, termasuk hak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak, hak atas lingkungan yang baik dan sehat, sebagaimana tertuang dalam pasal 27 dan 28 H UUD 1945.
"Semoga ini menjadi perhatian Majelis Hakim Mahkamah Agung," katanya penuh harap.
Judianto Simanjuntak, kuasa hukum warga Dairi yang juga mewakili Sekretariat Bersama Tolak Tambang, juga menyoroti ancaman serius yang dihadapi warga akibat aktivitas tambang seng dan timah hitam PT DPM.
Menurut dia, Kabupaten Dairi merupakan kawasan rawan gempa karena dilalui oleh tiga jalur patahan gempa, yaitu Toru, Renun, dan Angkola.
Kondisi ini membuat wilayah tersebut tidak cocok untuk kegiatan pertambangan.
Apalagi, Steve Emerman, seorang ahli hidrologi internasional, kata Judianto, pernah menyebutkan bahwa rencana pertambangan PT DPM berada di tanah yang tidak stabil dan di salah satu lokasi gempa tertinggi di dunia.
"Ini bisa berujung pada bencana jika tambang diizinkan beroperasi," ujarnya.
Sementara itu, Meike Inda Erlina dari Koalisi Bersihkan Indonesia menyatakan bahwa konflik ini menunjukkan bahwa pemerintah masih mengutamakan ekonomi ekstraktif yang dikuasai perusahaan besar dan tidak melibatkan warga dalam pengambilan keputusan.
"Pemerintah harus beralih ke ekonomi inklusif yang lebih adil dan berkelanjutan," tegasnya.
Sebagai informasi, gugatan kasasi warga Dairi terdaftar dengan nomor perkara 277K/TUN/LH/2024 dan saat ini dalam tahap pemeriksaan di Mahkamah Agung.
Majelis Hakim yang menangani kasus ini adalah Prof. Dr. H. Yulius (Ketua Majelis), Hj. Lulik Tri Cahyaningrum (Anggota Majelis 1) dan Dr. H. Yosran (Anggota Majelis 2).
Selama aksi, warga menyerahkan dokumen dukungan seperti surat solidaritas dari berbagai lembaga dan komunitas, termasuk Amicus Curiae dari Wahana Lingkungan Hidup (WALHI) kepada Mahkamah Agung untuk memperkuat perjuangan mereka.