PARBOABOA, Jakarta - Air merupakan kebutuhan dasar manusia. Karenanya, hak atas air ini mutlak harus dipenuhi. Hak atas air dinyatakan dalam hukum HAM Internasional sebagai HAM sekaligus "Hak Hukum".
Akibatnya, hak atas air mengandung substansi hukum bahwa setiap orang berhak air yang cukup, aman, bisa diakses secara fisik, dan terjangkau secara ekonomi.
Dikutip dari academia, pada Sidang Umum PBB Resolusi No. 64/292 secara eksplisit mengakui hak atas air dan sanitasi adalah HAM.
Sementara dalam Pasal 14, ayat (2) huruf h, The Convention on the Elimination all of Forms Discrimination Against Women (CEDAW 1979) menegaskan bahwa negara pihak harus mengambil langkah-langkah yang terukur untuk menghapuskan berbagai bentuk diskriminasi terhadap perempuan, khususnya menjamin hak-hak perempuan untuk menikmati standar kehidupan yang layak atas sanitasi dan air minum yang sehat.
Kemudian, dalam Pasal 24, The Convention on The Right of The Child (CRC 1989) juga menyatakan bahwa dalam upaya mencegah malnutrisi dan penyebaran penyakit, maka setiap anak memiliki hak atas air minum yang bersih.
Di Indonesia, hak atas air ditempatkan sebagai cabang produksi penting dan mencakup hajat hidup bagi orang banyak yang dikuasai oleh negara untuk dipergunakan bagi sebesar-besar kemakmuran rakyat.
Hal ini sesuai dengan amanat Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia pasal 33 ayat 3, bahwa bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan digunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.
Meskipun sudah ada keputusan lembaga-lembaga internasional maupun penjaminan dalam UUD yang mengatur terkait hak atas air, namun nyatanya, hingga saat ini, masih banyak sekali masyarakat yang kesulitan untuk mengakses air bersih.
Warga Kampung Susun Bayam dan Muara Baru Jakarta, misalnya, sampai hari ini masih mengalami diskriminasi akses atas air (water apartheid). Mereka mengalami kesulitan untuk mengakses air dari pipa-pipa utama yang disediakan oleh pemerintah.
Hal ini menyebabkan masyarakat terpaksa bergantung pada mekanisme alternatif, yang lebih eksploitatif dan mahal, seperti Master Meter dan Kios Air.
Siti Komariah, warga Muara Baru, menjelaskan, mekanisme master meter yang diterapkan adalah tiap rumah tangga mengakses air dari satu pemilik yang bukan saluran utama.
“Warga harus membayar uang kurang lebih 500 ribu per bulan agar bisa mengakses air bersih,” jelas Siti melalui rilis yang diterima PARBOABOA, Jumat (22/03/2024).
Padahal, kata Siti, mayoritas masyarakat di sana merupakan masyarakat yang berpenghasilan rendah.
Kondisi lebih memprihatinkan lagi dialami oleh masyarakat yang tergabung dalam Kelompok Tani Kampung Bayam Madani, Kampung Susun Bayam, Papanggo, Tanjung Priok, Jakarta Utara. Mereka yang sedang berjuang memperoleh hak tinggal di sana, tidak diberikan akses air dan listrik.
Karena itu, mereka harus menggali sumur sendiri dan menyuling air dari sumur tersebut agar layak digunakan untuk mandi dan mencuci.
Ketua Kelompok Tani Kampung tersebut, Muhammad Furkon, mengatakan, kurang lebih satu tahun, warga yang tinggal di sana menggunakan air sulingan dari sumur ataupun got. Akibatnya, anak-anak sering merasakan gatal-gatal di kulit mereka.
"Terpaksa kami gunakan air seadanya ini, sebab air dan listrik yang disediakan di Gedung Kampung Susun Bayam ini diputus oleh PT. Jakarta Propertindo (Jakpro)," ungkapnya.
Menurut Furkon, PT. Jakpro menganggap kami warga ilegal. "Padahal kami sudah memegang SK Penempatan Unit masing-masing," tuturnya.
Tindakan PT. Jakpro ini, kata Furkon, sudah diketahui Pemprov DKI Jakarta. Namun, nampaknya Pemprov juga mengabaikan tindakan PT. Jakpro tersebut.
Selain itu, kepada Pemerintah Provinsi DKI Jakarta, mereka menuntut hal-hal berikut:
- Pertama, secepatnya memberi ruang dialog bersama antara warga Kelompok Tani Kampung Bayam Madani KSB dengan pihak PT. Jakpro dan Pj. Gubernur DKI Jakarta.
- Kedua, secepatnya membuka akses air dan listrik bagi warga Kelompok Tani Kampung Bayam Madani KSB.
- Ketiga, menyediakan akses layanan air dan sanitasi yang cukup, aman, bisa diakses secara fisik, dan terjangkau bagi warga Muara Baru.
- Keempat, melibatkan rakyat DKI Jakarta dalam setiap pengambilan keputusan terkait hajat hidup rakyat, khususnya dalam penyediaan dan pengelolaan layanan air.
Untuk diketahui, berdasarkan data World Economic Forum, hampir 771 juta orang di dunia kekurangan akses ke air bersih. Bahkan, tiap tahun, sanitasi yang buruk dan air yang kotor juga membunuh jutaan orang.
Di Indonesia sendiri, menurut kajian pemerintah, Pulau Jawa akan kehilangan hampir seluruh sumber air bersih pada tahun 2040.
Hari Air Sedunia
Peringatan Hari Air Sedunia (World Water Day) pertama kali dicetuskan saat Konferensi Bumi, atau United Nations Conference on Environment and Development (UNCED), pada 22 Desember 1992 di Rio de Janeiro, Brasil.
Berdasarkan Litbang Kemenkes RI, melalui konferensi ini, Majelis Umum PBB menetapkan tanggal 22 Maret 1993 sebagai perayaan pertama Hari Air Sedunia, yang diresmikan melalui Resolusi Nomor 147/1993.
UN Water, sejak awal perayaannya, mendapatkan tanggung jawab terhadap pelaksanaan Hari Air Sedunia.
PBB, lewat kampanye global ini, ingin mengenalkan konservasi air secara luas melalui kegiatan nyata. Melalui kampanye ini juga, masyarakat di berbagai belahan dunia dilibatkan untuk lebih peduli terhadap masalah air.
Termasuk negara-negara anggota PBB, Lembaga Swadaya Masyarakat, dan organisasi non pemerintah agar fokus perhatian publik terhadap isu-isu kritis air semakin didengar.
Disadur dari laman United Nations Economic Commission for Europe (UNECE), Hari Air Sedunia 2024 mengusung tema “Leveraging Water for Peace” atau “Memanfaatkan Air untuk Perdamaian”.
Seirama dengan tema tersebut, PBB bertujuan untuk menyorot peran penting atas kerja sama air lintas batas demi mendorong perdamaian dan pembangunan berkelanjutan.
Hal ini dikarenakan perairan lintas batas menyumbang 60 persen aliran air tawar. Namun, kenyataannya, hanya 24 dari 153 negara yang berbagi perairan lintas batas dan tercakup dalam perjanjian kerja sama.
Editor: Norben Syukur