PARBOABOA - Pada era Orde Lama hingga Orde Baru, kebebasan berpendapat di Indonesia sangat dibatasi. Barulah setelah reformasi, kita merasakan kebebasan berpendapat yang lebih luas.
Sebelum reformasi, penerbitan buku juga diatur ketat. Buku yang dianggap mengancam posisi pemerintah biasanya langsung dilarang.
Salah satu buku yang terkena pelarangan adalah Wawancara Imajiner dengan Bung Karno. Buku yang diterbitkan pada tahun 1977 ini dicekal setahun kemudian oleh Kejaksaan Agung.
Dalam buku ini, Christian Wibisono menghadirkan wawancara fiktif dengan Soekarno, presiden pertama Republik Indonesia. Soekarno digambarkan memberikan pandangan kritis terhadap situasi Indonesia pada awal pemerintahan Soeharto dan tahun 70-an.
Pada tahun 2012, versi revisi buku ini diterbitkan kembali dan mulai bebas beredar. Tujuannya adalah untuk mengingatkan para pemimpin negara agar belajar dari kejadian di masa lalu.
Dianggap Kontroversial
Wawancara Imajiner dengan Bung Karno adalah buku yang menghadirkan wawancara fiktif dengan Soekarno.
Dalam buku ini, Soekarno memberikan pandangan kritis terhadap berbagai isu sosial dan politik terkini di Indonesia.
Wawancara imajinatif ini bertujuan untuk menggambarkan bagaimana Soekarno mungkin menanggapi situasi modern dengan nada tajam dan penuh kritik. Buku ini mencoba menghidupkan kembali ide-ide dan pandangan Soekarno dalam konteks zaman sekarang.
Namun, interpretasi fiktif ini menimbulkan kontroversi. Banyak yang khawatir bahwa buku ini bisa merusak citra Bung Karno yang selama ini dihormati sebagai pahlawan nasional.
Pemerintah takut bahwa buku ini bisa mengubah persepsi publik tentang Soekarno, terutama jika pandangan kritis yang disajikan bertentangan dengan narasi sejarah yang telah diterima secara luas.
Buku ini menyajikan tafsiran baru terhadap ideologi yang diperkenalkan oleh Soekarno, seperti Pancasila dan sosialisme marhaenisme.
Tafsiran ini berbeda dari pemahaman resmi yang berlaku. Pancasila sebagai dasar negara Indonesia dan sosialisme marhaenisme yang merupakan ideologi politik Soekarno dianggap sebagai elemen penting dalam sejarah dan identitas nasional.
Interpretasi baru dalam buku ini dianggap dapat memicu perdebatan ideologis dan menggoyahkan konsensus nasional mengenai nilai-nilai dasar negara.
Meskipun wawancara dalam buku ini bersifat fiktif, pemerintah khawatir pesan yang disampaikan bisa mempengaruhi opini publik dan menciptakan ketidakstabilan politik. Dengan melarang buku ini, pemerintah berusaha mencegah potensi kerusuhan politik akibat konten kontroversial.
Pelarangan ini juga mencerminkan upaya pemerintah menjaga kendali atas narasi sejarah. Pemerintah berusaha memastikan bahwa pandangan sejarah yang mereka dukung tetap diterima oleh publik.
Mereka hati-hati dalam mengontrol bagaimana sejarah, terutama yang melibatkan tokoh penting seperti Bung Karno, disampaikan kepada masyarakat.
Keputusan ini menunjukkan betapa sensitifnya pemerintah terhadap isu-isu yang bisa mempengaruhi stabilitas sosial.
Buku ini dianggap bisa memicu konflik di kalangan masyarakat, terutama di antara pengagum Bung Karno yang merasa bahwa interpretasi dalam buku ini tidak sesuai dengan pandangan mereka.
Pemerintah merasa perlu untuk mengontrol arus informasi dan memastikan narasi yang mendominasi tetap konsisten dengan agenda mereka.
Di sisi lain, keputusan ini juga memicu perdebatan tentang kekuatan karya sastra dalam membentuk opini publik dan menantang pandangan yang telah mapan.
Wawancara Imajiner dengan Bung Karno menunjukkan bahwa sejarah dan tokoh-tokoh besar selalu bisa ditafsirkan ulang, bahkan dengan cara yang tidak konvensional.
Ini menekankan bahwa sejarah adalah sesuatu yang dinamis dan terbuka untuk ditafsirkan sesuai konteks zaman. Karya sastra memiliki potensi untuk menawarkan pandangan baru dan memperluas pemahaman kita tentang tokoh bersejarah dan ideologi mereka.
Secara keseluruhan, pelarangan buku ini adalah langkah pemerintah untuk menjaga stabilitas sosial dan politik di Indonesia. Namun, keputusan ini juga membuka ruang untuk diskusi lebih dalam tentang bagaimana kita memahami dan memaknai sejarah serta tokoh-tokoh penting di dalamnya.
Hal ini menjadi pengingat bahwa interpretasi sejarah bisa sangat subjektif dan kebebasan berekspresi tetap memiliki peran penting dalam perkembangan pemikiran dan dialog publik.
Penulis: Luna
Editor: Wanovy