PARBOABOA, Jakarta - Demonstrasi massa di Bangladesh yang berlangsung sejak Juli lalu berujung pada pengunduran diri Perdana Menteri Sheikh Hasina setelah 20 tahun berkuasa.
Unjuk rasa yang dimotori mahasiswa ini telah menyebabkan lebih dari 300 orang tewas.
Aksi ini mungkin merupakan ujian terbesar bagi Sheikh Hasina (76).
Ia harus mengundurkan diri dan meninggalkan Ganabhaban, kediaman megah Perdana Menteri Bangladesh, saat para pengunjuk rasa menyerbu tempat itu.
Setidaknya 98 orang tewas dan ratusan lainnya luka-luka ketika kerusuhan pecah kembali pada (4/08/2024).
Untuk meredakan kerusuhan, polisi menggunakan gas air mata dan peluru karet guna membubarkan puluhan ribu orang yang menuntut pengunduran diri Perdana Menteri Bangladesh tersebut.
Kekerasan tersebut menjadi salah satu hari paling kelam dalam sejarah kerusuhan sipil di Bangladesh.
Jumlah korban tewas ini lebih besar dari 67 orang yang dilaporkan pada 19 Juli, ketika mahasiswa memprotes sistem kuota untuk pegawai negeri sipil.
Mengenal Sosok Sheikh Hasina
Sheikh Hasina lahir pada 28 September 1947 di Tungipara, yang dulu merupakan bagian dari Pakistan Timur dan kini dikenal sebagai Bangladesh.
Dia adalah putri dari Sheikh Mujibur Rahman, yang dikenal sebagai Bapak Pendiri Bangladesh.
Mengutip britannica, Hasina sudah bergaul dengan politik sejak usia muda.
Bahkan saat menempuh studi di Universitas Dhaka pada akhir 1960-an, ia aktif berpartisipasi dalam gerakan politik.
Berkat ketekunannya, ia seringkali berperan sebagai penghubung politik bagi ayahnya yang saat itu sering dipenjara oleh pemerintah Pakistan.
Pengalamannya ini menjadi landasan yang kuat bagi karier politiknya di masa depan.
Pada 1968, ia memutuskan menikah dengan M.A. Wazed Miah.
Suaminya tersebut merupakan seorang ilmuwan Bengali yang dihormati dan terus mendukung perjuangan politik ayahnya.
Ujian harus ia lalui ketika tragedi besar melanda hidupnya pada 15 Agustus 1975.
Saat itu, ayahnya, ibu, dan tiga saudara laki-lakinya dibunuh oleh sekelompok perwira militer di rumah mereka.
Saat peristiwa itu berlangsung, ia sedang berada di luar negeri sehingga ia selamat.
Walau begitu, ia harus menerima kenyataan menjalani kehidupan dalam kesedihan mendalam dan pengasingan.
Ia berusaha kuat dan terus merawat semangatnya dalam dunia politik.
Alhasil, selama enam tahun dalam pengasingan, ia tetap terpilih untuk memimpin Liga Awami, partai politik yang didirikan oleh ayahnya.
Partai ini kemudian berkembang menjadi organisasi politik terbesar di Bangladesh.
Pada 1981, Hasina kembali ke Bangladesh dan berhasil memperoleh kursi di parlemen sebagai pemimpin oposisi.
Kemudian, pemimpin militer terakhir Bangladesh, Letnan Jenderal Hussain Mohammad Ershad, mengundurkan diri pada Desember 1990.
Langkah ini sebagai respons terhadap ultimatum yang dikeluarkan oleh Hasina dan didukung oleh rakyat Bangladesh.
Peristiwa ini menandai awal babak baru dalam karir politiknya.
Pada tahun 1991, Bangladesh mengadakan pemilihan umum bebas pertama dalam 16 tahun, namun Hasina gagal mendapatkan dukungan mayoritas.
Liga Awami yang dipimpin Hasina kemudian menuduh adanya kecurangan pemilu dan melakukan boikot.
Gerakan Hasina ini menyebabkan ketidakstabilan politik yang meluas.
Di tengah situasi yang penuh gejolak, Hasina terus menekuni bidang politik hingga menjadi perdana menteri pada Juni 1996.
Hasina pun menjadi perdana menteri pertama dalam sejarah Bangladesh yang berhasil memimpin hingga selama lima tahun.
Namun, ia kalah dalam pemilu berikutnya pada tahun 2001 dari Khaleda Zia, yang sekali lagi membawa negara tersebut ke dalam kekacauan politik.
Pasca periode ketidakstabilan politik tersebut, termasuk upaya pembunuhan dan penangkapan atas tuduhan pemerasan pada tahun 2007, Hasina memutuskan kembali ke panggung politik setahun kemudian.
Pemilihan umum yang diadakan pada Desember 2008 menghasilkan kemenangan besar bagi Hasina dan Liga Awami, memungkinkan Hasina untuk kembali menjabat sebagai perdana menteri pada Januari 2009.
Diketahui, selama masa jabatannya, Hasina fokus pada stabilitas, penguatan ekonomi, dan infrastruktur Bangladesh sambil menangani krisis energi di negara tersebut.
Pada masa pemerintahannya juga, ia mendirikan pengadilan untuk mengadili kejahatan perang dari Perang Kemerdekaan 1971.
Kepemimpinan Hasina juga ditandai dengan penanganan krisis Rohingya pada 2017, ketika lebih dari 700.000 pengungsi Rohingya melarikan diri ke Bangladesh dari Myanmar.
Hasina membuat banyak keputusan kontroversial selama masa jabatannya sebagai perdana menteri.
Pemerintahannya sering kali dituduh menekan oposisi dan masyarakat kehilangan kebebasan berbicara.
Dominasi Liga Awami semakin kuat dalam pemilu 2014 dan 2018, yang keduanya dibayangi oleh tuduhan kecurangan pemilu dan penindasan terhadap partai-partai oposisi.
Sehingga menjelang pemilihan umum 2024, tuduhan-tuduhan ini akhirnya pecah.
Meskipun demikian, Hasina tetap mendesak rakyat agar memberikan suara dan menjanjikan pemilu yang adil.
Hasilnya adalah kemenangan telak bagi Liga Awami.
Tetapi ketiadaan oposisi yang kredibel dalam kontestasi itu menjadi alasan banyak pihak untuk menilai Bangladesh sebagai negara satu partai di bawah kepemimpinan Hasina.
Ketidakpuasan ini kemudian memuncak terhadap pemerintahan Hasina yang berujung pada aksi protes massal pada Juli 2024.
Protes diinisiasi oleh mahasiswa yang menuntut adanya perbaikan akan sistem seleksi kerja pemerintah yang berbasis meritokrasi.
Tuntutan ini didukung rakyat Bangladesh dan dengan cepat berkembang menjadi gerakan pembangkangan sipil massal.
Gelombang protes kemudian mencapai puncaknya pada 4 Agustus 2024.
Hal itu ditandai dengan terjadinya bentrokan antara pengunjuk rasa dan pasukan pemerintah.
Sehari setelahnya, Hasina memutuskan mengundurkan diri. Bahkan ia dilaporkan meninggalkan negara tersebut menuju India, kemudian dikabarkan ke Eropa.
Keputusan besar ini menjadi tanda akhir dari sebuah era dalam politik Bangladesh.
Ia pun menutup karier politiknya yang panjang dan penuh gejolak.
Editor: Norben Syukur