PARBOABOA, Jakarta - Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) Beijing mengimbau agar masyarakat Indonesia waspada terhadap fenomena ‘pengantin pesanan’ (mail order bride).
Fenomena berkedok pernikahan ini pernah menjadi perbincangan hangat di Indonesia pada 2019 silam karena tergolong Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO).
Kala itu, KBRI Beijing berhasil memulangkan 40 perempuan asal Indonesia yang terjerat kasus serupa.
Duta Besar RI untuk Beijing, Djauhari Oratmangun menerangkan bahwa pemulangan 40 WNI disebabkan karena mereka terindikasi TPPO.
Adapun modus utama 'pengantin pesanan' didasarkan atas keinginan pria berkebangsaan China untuk menikahi perempuan Indonesia melalui perantara ‘mak comblang’ yang dibayar ratusan juta rupiah.
Tugas ‘mak comblang’ adalah mencari perempuan-perempuan Indonesia yang bersedia dinikahi dengan mas kawin yang besar.
Dalam catatan KBRI Beijing, sebagian besar korban berasal dari provinsi Kalimantan Barat, seperti Mempawah, Sambas, Singkawang dan kota-kota lain di Kalbar.
Beberapa tahun terakhir, korban juga berdatangan dari provinsi lain di pulau Jawa, seperti Banten, Jakarta, Jawa Timur, dan Jawa Barat.
Koordinator Fungsi Protokol dan Konsuler KBRI Beijing, Widya Airlangga menyebut, fenomena ini muncul sebagai penyebab dari kebijakan 'satu anak' (one child policy) yang diberlakukan di China selama satu dekade terakhir.
Di samping itu, ketentuan budaya mengharuskan kaum pria di China untuk mengeluarkan biaya yang lebih besar jika ingin menikahi wanita dari negara yang sama.
Sebagai misal, ia harus memenuhi syarat pernikahan berupa san zi yi ben, yaitu kepemilikan harta kekayaan yang meliputi rumah, mobil, pendidikan, dan uang.
Lebih lanjut, Airlangga dalam keterangannya pada Senin (29/04/2024) menyebut bahwa fenomena 'pengantin pesanan' dibangun atas kerja sama antara sindikat agen perjodohan di China dengan sindikat di Indonesia untuk mencari WNI di sejumlah wilayah.
Para WNI diiming-imingi gaji yang besar dan kehidupan yang layak sehingga bisa mengirimkan uang ke keluarga secara rutin.
Di samping itu, mereka juga diperkenankan untuk kembali ke Indonesia jika tidak lagi merasa betah tinggal di China.
Faktanya, ketika sampai di China, mereka justru bekerja sebagai buruh kasar, petani, dan bahkan tidak bekerja sama sekali.
Sebagian mereka harus tinggal di daerah perkebunan atau pegunungan yang jauh dari pusat kota.
Kesulitan Mendeteksi TPPO
Berdasarkan hasil riset yang dibuat Rindi Yuli Elfia Sova dan kawan-kawan (2021), disebutkan bahwa fenomena 'pengantin pesanan' merupakan bentuk lain dari tindak perdagangan orang.
Bagi mereka, unsur perdagangan itu dikarenakan adanya cara kerja yang manipulatif berupa penipuan dan pemalsuan identitas yang menyebabkan perempuan mengalami eksploitasi.
Fenomena ‘pengantin pesanan’, lanjut mereka menjadi bentuk kejahatan transnasional dan tergolong tindak perdagangan orang sebagaimana tertuang dalam ketentuan UU No. 21 Tahun 2007.
Hal senada diungkapkan Airlangga yang menyebut fenomena 'pengantin pesanan' sebagai bentuk eksploitasi manusia, meski kemudian harus dicek unsur-unsur pidananya.
Ia juga menyoal kesulitan perempuan Indonesia saat beradaptasi dengan konteks budaya China yang multikultural sehingga rumah tangga mereka sering didera percekcokan (KDRT).
Namun demikian, lanjut Airlangga, praktik tersebut tampak lazim di China. Pemerintah cenderung memandangnya sebagai persoalan privat karena menyangkut kehidupan rumah tangga suami dan istri.
Mereka justru menilai persoalan tersebut sebagai dinamika yang lazim terjadi sebagai akibat perkawinan lintas negara.
Dalam catatan KBRI Beijing, jumlah kasus ‘pengantin pesanan’ pernah mengalami lonjakan signifikan pada 2019. Belasan korban bahkan harus ditampung di shelter KBRI Beijing untuk memperoleh perlindungan.
Angka kasus sempat mengalami penurunan pada 2020-2022 sebagai risiko dari pembatasan sosial selama pandemi Covid-19. Namun, sejak 2023, kasus kembali mengalami peningkatan.
KBRI Beijing juga mencatat setidaknya 95 WNI yang telah mendaftarkan pernikahannya dengan WN China.
Sementara itu, terdapat 119 Surat Keterangan Belum Menikah (SKBM) yang dikeluarkan KBRI sebagai salah satu syarat pernikahan lintas negara. Terkini, ada 43 WNI yang menikah dengan WN China.
Menurut Airlangga, pihak KBRI telah merespons setiap laporan yang masuk. Sebagai langkah antisipatif, mereka melakukan wawancara intensif dengan WNI terkait legislasi SKBM.
Mereka juga menyampaikan himbauan agar WNI tidak melangsungkan perkawinan bila terindikasi kasus yang sama.
Dalam keterangan terpisah, Menteri Luar Negeri (Menlu), Retno LP Marsudi menyampaikan bahwa pihaknya telah bertemu dengan Menlu Wang Yi dari China untuk membahas persoalan tersebut.
Mereka bersepakat untuk mengontrol kasus serupa guna mencegah kemungkinan terjadinya TPPO.
Sejarah ‘Pengantin Pesanan’
Fenomena 'pengantin pesanan' telah dikenal sejak zaman Perang Dunia II. Mulanya, istilah ini menunjuk pada kebiasaan sekelompok tentara Amerika yang menulis surat korespondensi kepada wanita yang belum pernah mereka temui untuk mengatur pernikahan.
Pada tahun 1980-an, ketika agen perjodohan didirikan, mereka kemudian mengubah praktik penulisan korespondensi kepada penawaran katalog kertas berisi gambar dan biografi singkat perempuan.
Dengan adanya perkembangan teknologi, agen jodoh mulai menawarkan layanan secara online.
Transformasi media perantara untuk mencari 'pengantin pesanan' dari yang konvensional (surat) kepada yang modern (internet) turut meningkatkan pemasaran.
Di samping itu, layanan ini sulit diretas oleh pihak keamanan karena dibangun secara sistematik dan tertutup serta melibatkan sejumlah pemangku kepentingan.
Dalam sejarahnya, fenomena ‘pengantin pesanan’ menjadi tren yang menggambarkan niat para wanita dari negara berkembang untuk menikah dengan pria dari negara maju.
Alasan yang mendasari maraknya fenomena ini adalah ketidakseimbangan rasio gender. Selain itu, beberapa alasan semisal perasaan sepi (loneliness), faktor budaya, dan kebutuhan akan uang (ekonomi) turut berperan penting.
Laporan dari Serikat Buruh Migran Indonesia (SBMI) menyebut, fenomena ‘pengantin pesanan’ di Indonesia bermula dari pengiriman sejumlah WNI perempuan ke Taiwan.
Mereka diperantarai oleh seorang ‘mak comblang’ yang menghubungkan perempuan Indonesia dan WN asing.
'Mak comblang' akan diberikan sejumlah uang untuk mencari, merekrut, dan mengirimkan perempuan Indonesia ke Tiongkok sesuai permintaan.
Selama proses rekrutmen, mereka menjanjikan perempuan Indonesia sejumlah hal, semisal kehidupan yang terjamin karena dinikahi pria dengan status sosial dan ekonomi yang mumpuni.
Seluruh transaksi berlangsung melalui media online untuk memudahkan proses penjaringan.
Unsur-unsur sebagaimana disebutkan di atas, menurut sebagian pengamat hukum di Indonesia telah memenuhi serangkaian tindakan perdagangan orang.