Kisah Musik Terlarang (Bagian Kelima)
PARBOABOA - Musik bisa membangkitkan semangat perlawanan. Rakyat Indonesia pernah mengalami bagaimana karya komponis seperti WR Supratman, Ismail Marzuki, Cornel Simanjuntak, Kusbini, Liberty Manik dan yang lain menggugah diri dan menggerakkan mereka melawan penjajah.
Tak terpungkiri potensi dahsyat musik tertentu bagi kalangan tertentu di saat tertentu. Itu sebabnya penguasa, dimana pun di belahan bumi ini, selalu awas terhadap musik kaum perlawanan.
Musik kelompok subversif dan separatis, di antaranya. Pemerintah Soeharto pun sejak awal seperti itu: senantiasa alert terhadap musik kelompok resistensi.
Separatisme menjadi salah satu persoalan yang mengusik pemerintah Soeharto sejak Jakarta mengakuisisi Timor Timur tahun 1977. Selain Timor-Timur, Aceh dan Papua turut bergolak menuntut kemerdekaan.
Untuk meredamnya, di samping operasi militer masif, represi kebudayaan juga dilangsungkan Jakarta di tanah bergolak ini.
Yang disasar di antaranya adalah musisi yang dianggap berpihak kepada kelompok separatis. Salah satu contohnya adalah musisi-budayawan Papua, Arnold Clemens Ap.
Tentang dia, Ibe Karyanto, relawan kemanusiaan yang kemudian menjadi Rektor Universitas Sanggar ‘Akar’ menulis di situs Media Kerja Budaya seperti berikut ini.
Arnold Clemens Ap mulai dikenal publik Papua setelah ia, bersama kawan-kawan sekampusnya di Universitas Cendrawasih (Uncen), Jayapura, membentuk band bernama Manyori (Burung Nuri) tahun 1970-an.
Memainkan lagu-lagu umum saja awalnya, ia lalu merambah ke musik gereja dengan mengeksplorasi kemungkinan pribumisasi musik liturgi gereja.
Mendapat tantangan dari gereja awalnya dia sebelum upayanya diapresiasi kalangan luas. Bakat budayanya yang menonjol membuat dia berkesempatan menjadi kepala museum Uncen.
Selain musisi yang handal Arnold juga peneliti budaya yang berbakat. Lebih lima tahun ia meriset musik dan tari Papua.
Bersama kawan-kawan-kawannya hasilnya ia tampilkan dalam sebuah pagelaran 17 Agustus 1978 di kampus Uncen.
Kelompok kolaborasi inilah yang kemudian dikenal sebagai komunitas kerja-seni budaya Mambesak (burung Cendrawasih).
Dipimpin Arnold, mereka giat berkarya. Yang mereka lakukan antara lain merekam-tampilkan lagu dan tari pelbagai daerah di Papua.
Sambutan masyarakat lokal hangat; namun penguasa, khususnya militer, tak happy. Risau mereka menyaksikan hasil misi penyadaran manusia Papua secara kultural itu.
Arnol Clemens Ap kemudian dipercaya sebagai penanggung jawab siaran Pelangi Budaya dan Pancaran Sastra program RRI Jayapura.
Posisi ini ia manfaatkan untuk mendukung misi penyadaran kultural yang dijalankan Mambesak.
Lewat radio, suaranya kian nyaring terdengar mengkritisi rupa-rupa kebijakan pemerintah yang dianggapnya merugikan Papua.
Penyikapan seperti inilah yang membuat menguasa beranggapan bahwa dia bagian dari Organisasi Papua Merdeka (OPM).
Penguasa yang mengkhawatirkan pengaruh Arnold yang terus membesar kemudian bertindak. Pada penghujung 1983 ia diambil pasukan Kopassandha (kini: Kopassus) dari rumahnya.
April 1984 ia pun ditembak mati setelah terlebih dahulu dikondisikan melarikan diri dari tahanan Polda Irian Jaya. Saat itu usianya baru 38 tahun.
Penculikan dan pembantaian bermodus serupa terjadi pada diri tokoh Papua Theys Eluway hampir dua dekade kemudian.
Represi di Papua keras; tapi sebenarnya lebih keras lagi di Aceh. Kalau melihat betapa banyaknya korban sipil selama ini di sana kemungkinan besar ada juga musisi yang kehilangan nyawa atau terluka dianiaya di sana akibat karyanya.
Musisi Tanah Rencong, sebagaimana juga banyak kalangan di sana, praktis kehilangan kebebasan berekspresi selama masa darurat militer (DOM).
Begitu peliknya keadaan sehingga pilihan untuk mereka biasanya hanya dua: bersikap pragmatis dengan menutup mata terhadap realitas di sekitar atau berhenti berkarya.
Begitu Soeharto tumbang tahun 1998, arus deras lagu perlawanan rakyat Aceh mengalir tak terbendung. Pelbagai album dirilis, di antaranya album Free Dom (tahun 1999), yang menampilkan penyanyi Azhar P dan Dessi Miranda.
Lagu di album ini bernada keras dan semuanya karya Bob Rezal. Lalu album Lakee Referendum, dengan penyanyi Saifannur, Rosmawati, Yossi dan Novel Tango. Sebagian besar lagunya karya Novel Tango.
Dua album fenomenal lahir setelah Soeharto tumbang yaitu Nyawoung (tahun 2000) dan World Music from Aceh bertajuk Bungong (2002).
Kedua karya Komunitas Nyawoung Aceh dengan produser Jauhari Samalanga ini bisa disebut musik perlawanan jika melihat pilihan lagu dan semangatnya.
Album Free Dom dan Lakee Referendum segera hilang setelah darurat militer diberlakukan lagi di Aceh di masa Presiden Megawati. Isinya yang keras membuat kedua album ini selalu rawan untuk ditindas penguasa RI.
Sensor Sipil
Setelah Soeharto tumbang kemerdekaan berekspresi sudah jauh lebih baik di segala bidang. Terutama di masa kepresidenan BJ Habibie dan Abdurrahman Wahid.
Mau membawakan lagu apa saja sudah tak masalah lagi kala itu. Dalam sebuah pementasan kanak-kanak di TIM misalnya Genjer-genjer bisa dilantunkan bocah-bocah tanpa masalah.
Lalu para mahasiswa demonstran bisa dengan leluasa menyanyikan plesetan lagu Angkatan Bersenjata Republik Indonesia di depan tentara-polisi yang mengawasi mereka. Bunyinya menjadi:
Angkatan Bersenjata Republik Indonesia
angkatan bersenjata republik Indonesia/ tidak berguna, bubarkan saja/ diganti menwa, ya sama saja/lebih baik diganti pramuka....
Keadaan mulai agak mengetat di masa pemerintahan Megawati. Militer memang diberi ruang gerak lagi; sejumlah jenderal menjadi anggota kabinet.
Di era inilah Harry Roesli sempat diperiksa Polda Metro Jaya karena memelesetkan lagu Garuda Pancasila. Setelah Soesilo Bambang Yudhoyono yang berkuasa keadaan tak jauh berubah.
Pasca Soeharto, seperti telah disebut, represi negara di dunia musik telah jauh berkurang.
Namun di sisi lain represi dari kalangan sipil sendiri yang malah muncul dan menguat. Penindasnya termasuk kalangan musisi sendiri, seperti yang dialami Inul Daratista.
Tahun 2003 Rhoma Irama dan gengnya yang bergabung dalam Persatuan Artis Musik Melayu Indonesia (PAMMI) memprotes keras Inul dan media-media yang menayangkan aksi ngebor-nya.
Selain melayangkan surat teguran ke SCTV, Rhoma juga mengajak para pencipta lagu, penata musik, dan musisi dangdut memboikot Inul.
Inul memang akhirnya diboikot sejumlah kalangan. Tapi ia tak menyerah. Goyang ngebor-nya berlanjut. Gayanya malah ditiru penyanyi lain.
Maka lahirlah pelbagai varian goyang ngebor. Di antaranya ‘goyang patah-patah’, ‘goyang dombret’, ‘goyang ngecor’ atau ‘goyang blender’.
Tamat.Editor: Hasudungan Sirait