PARBOABOA - Di balik gemerlap kota Jakarta yang sibuk dan dinamis, tersimpan berbagai fenomena sosial yang menarik perhatian.
Salah satunya adalah praktik prostitusi, yang meskipun ilegal dan bertentangan dengan norma masyarakat, tetap berlangsung hingga kini.
Ironisnya, di beberapa sudut kota, praktik ini tak hanya terjadi di balik dinding tertutup, tetapi juga merambah ke ruang-ruang terbuka.
Menurut Organisasi Perubahan Sosial Indonesia (OPSI), jumlah pekerja seks perempuan di Indonesia diperkirakan mencapai 230.000 orang, berdasarkan data yang dipresentasikan pada 6 September 2019 di Jakarta.
Angka ini belum mencakup pekerja seks pria dan transgender, sehingga jika digabungkan, jumlah pekerja seks di Indonesia kemungkinan jauh lebih tinggi.
Data ini mengungkap betapa besarnya fenomena prostitusi di Indonesia, meski terus dianggap sebagai masalah tabu oleh masyarakat.
Sejarah prostitusi di Indonesia sudah berlangsung lama. Sejak awal 1800-an, ketika Batavia (sekarang Jakarta) menjadi pusat perdagangan dan koloni Belanda, prostitusi mulai marak.
Kehadiran banyak tentara, pedagang, dan pelaut mendorong terbentuknya lokasi-lokasi prostitusi di sekitar pelabuhan.
Seiring berjalannya waktu, meskipun lokasi-lokasi prostitusi banyak ditutup oleh pemerintah, praktik ini tetap bertahan.
Bahkan kini, dengan kemajuan teknologi, prostitusi lebih mudah dijalankan melalui media sosial dan aplikasi kencan.
Media sosial berfungsi sebagai "jembatan" antara pekerja seks dan pelanggan, memungkinkan mereka untuk bertransaksi tanpa harus bertemu langsung di awal.
Misalnya, aplikasi kencan seringkali disalahgunakan untuk menawarkan layanan seksual secara terselubung.
Di balik profil yang tampaknya mencari pasangan, beberapa pengguna menawarkan jasa prostitusi dengan menyamarkan layanan mereka sebagai "kencan".
Selain itu, platform media sosial seperti Instagram dan Twitter juga digunakan oleh pekerja seks untuk mempromosikan diri mereka secara diam-diam.
Dengan fitur pesan langsung (DM), komunikasi antara pekerja seks dan pelanggan dapat terjadi secara tertutup tanpa diketahui oleh pihak luar.
Selain prostitusi yang dilakukan secara daring, banyak tempat prostitusi tersembunyi yang menjadi rahasia umum bahkan berkedok sebagai tempat pijat.
Pada tahun 2023, misalnya, Satpol PP DKI Jakarta menutup sebuah panti pijat bernama "Flo ls" di Jakarta Barat setelah diketahui membiarkan praktik prostitusi berlangsung.
Hal serupa juga sering terjadi di tempat-tempat lain yang tampak legal di permukaan, tapi digunakan untuk praktik ilegal di balik layar.
Namun, tidak hanya di tempat tertutup, praktik prostitusi juga terjadi di ruang terbuka. Di sepanjang Jalan Tubagus Angke, Jakarta Barat, misalnya, para pekerja seks sering terlihat berkeliaran di bawah pohon mahoni di pinggir jalan, menunggu pelanggan yang melintas.
Mereka menawarkan jasa dengan harga bervariasi, mulai dari Rp75.000 hingga Rp300.000, tergantung di mana transaksi dilakukan.
Beberapa tempat yang digunakan adalah tenda terpal biru yang dipasang di belakang mereka, kos-kosan di sekitar lokasi, atau bahkan hotel-hotel terdekat.
Alasan para pekerja seks terjun ke dunia ini pun sering kali serupa, yaitu tekanan ekonomi. Kondisi ekonomi yang sulit, lapangan pekerjaan yang terbatas, dan rendahnya tingkat pendidikan membuat mereka merasa tidak punya banyak pilihan lain.
Sebut saja Sarti, seorang ibu dari empat anak. Ia mulai bekerja sebagai pekerja seks setelah suaminya meninggal pada tahun 2022.
Sebelumnya, ayah empat anak ini yang bekerja untuk mencukupi kebutuhan keluarga dengan bekerja sebagai satpam. Namun setelah kepergiannya, hidup mereka berubah drastis.
Anaknya yang sulung bahkan terpaksa berhenti sekolah karena tidak ada biaya. "Cari kerja sekarang memang susah, Mas," kata Sarti ketika menceritakan kondisi keluarganya yang serba sulit.
Sarti juga menceritakan bahwa ia kerap merasa tersisih oleh perempuan-perempuan yang lebih muda di sekitarnya.
"Banyak pilihan di luar sana, yang lebih muda dan penampilannya lebih menarik," katanya dengan suara pelan, menundukkan kepala seolah menganggap dirinya tidak lagi pantas bekerja seperti itu.
Namun, hidup harus terus berjalan. Di rumah, empat anaknya selalu menunggu kepulangannya, berharap ia membawa makanan untuk makan malam.
Meskipun sering ada razia polisi di lokasi-lokasi seperti Jalan Tubagus Angke, para pekerja seks, termasuk Sarti, selalu kembali karena desakan ekonomi yang sulit dihindari.
Meskipun polisi sering menggelar razia di lokasi-lokasi seperti Jalan Tubagus Angke, para pekerja seks selalu kembali.
Menurut para pekerja seks, mereka tidak punya banyak pilihan lain untuk mendapatkan penghasilan.
Setelah razia berakhir, mereka biasanya akan kembali ke tempat yang sama dan melanjutkan pekerjaan mereka seperti biasa. Ini menunjukkan betapa sulitnya bagi mereka untuk keluar dari lingkaran prostitusi yang terus berulang.
Pemerintah sebenarnya telah berupaya untuk menanggulangi prostitusi di Jakarta. Penutupan tempat-tempat prostitusi, razia rutin oleh polisi, dan program-program rehabilitasi bagi pekerja seks adalah beberapa langkah yang diambil. Namun, langkah-langkah tersebut seringkali hanya bersifat sementara.
Prostitusi terus bertahan karena akar masalahnya, yaitu kemiskinan, pengangguran, dan ketimpangan sosial, belum sepenuhnya teratasi.
Beberapa organisasi non-pemerintah (LSM) seperti OPSI juga berusaha membantu para pekerja seks untuk keluar dari profesi ini.
Mereka memberikan pelatihan keterampilan dan bantuan finansial, sehingga para pekerja seks bisa mencari pekerjaan lain yang lebih aman dan legal.
Namun, jumlah pekerja seks yang berhasil keluar dari lingkaran prostitusi masih sangat kecil dibandingkan dengan jumlahnya yang ada di Jakarta.
Masalah ini sangat kompleks dan memerlukan pendekatan yang lebih holistik. Bukan hanya dari segi hukum, tetapi juga harus ada peningkatan akses pendidikan, peluang pekerjaan, dan dukungan sosial yang lebih baik bagi kelompok-kelompok rentan.
Prostitusi di Jakarta mungkin akan terus bertahan selama akar masalahnya tidak benar-benar ditangani.
Di tengah kemajuan digital dan semakin terbukanya ruang publik, praktik ini terus beradaptasi, mencari cara baru untuk bertahan di zaman yang terus berubah.
Penulis: Aris Suwandi